Minggu, 11 September 2016

Idul Adha Sebagai Sarana Untuk Kembali Pulang Menemui Allah

Setiap manusia yang dilahirkan diatas dunia ini, membawa sifat dasar yang disebut dengan sifat fithrah. Salah satu sifat fithrah tersebut adalah hasrat atau keinginan yang kuat untuk kembali ke tempat dimana ia berasal. Ketika kita bertanya ke dalam diri, dari manakah aku berasal ? Maka kita diperintahkan untuk mengenal diri, Siapakah aku ini ? Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Wa fil ardhi aayaatul lil muuqiniin. Wa fi anfusikum afala tubshiruun.
"Dan di bumi terdapat tanda-tanda bagi orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan ?" ( QS Adz Dzariyat 51 : 20-21 )
Barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya ( Al Hadits )
Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dengan berpasang-pasangan. Misalnya adalah alam lahir dan alam bathin, lelaki dan perempuan, siang dan malam, baik dan buruk, negatif dan positif dan sebagainya.
Wa min kulli syai-in kholaqnaa zaujaini la’allakum tadzakkarun
"Dan Kami ciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan supaya kamu mendapat pengajaran". ( QS Adz Dzariyat 51 : 49 )
Dalam ajaran Islam, diri kita dibagi menjadi minimal dua bangunan utama yaitu bangunan jasmani dan bagunan rohani. Hasil interaksi antara jasmani dan rohani akan menimbulkan gejala kejiwaan. Dengan kata lain, dari hasil perkawinan antara rohani dan jasmani maka lahirlah “ anak” yang bernama jiwa atau nafsani. Jika dilihat dari asalnya, maka jasmani berasal dari bapak ibu kandungnya, yang juga berasal dari garis keturunannya sampai ke asal nenek moyang manusia yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa. Sedangkan rohani manusia berasal dari Allah dan Nabi Muhammad.

Tsumma sawwaahu wa nafakho fiihi ruhihi wa ja’ala lakumus sam’a wal abshooro wal af idata qoliilam maa tasykuruun

Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan kepadanya Roh-Nya dan Dia menjadikan untuk kamu pendengaran, penglihatan dan hati. Sedikit sekali kamu bersyukur (QS. As Sajadah 32 : 9).
Anna minnallohi wal mu’minu minni
Aku adalah yang dijadikan pertama kali oleh Allah dan seluruh orang mu’min itu dijadikan dari padaku. (Al-Hadits)
Awalu ma kholaqollohu ta’ala nuuri
Pertama-tama yang dijadikan Allah adalah Cahayaku. (Al Hadits)
Dalam diri jasmani dan rohani, masing-masing mempunyai hasrat atau keinginan yang kuat untuk kembali menemui asalnya masing-masing. Tetapi keinginan yang kuat untuk kembali menemui asal tersebut tidak semuanya terpenuhi dengan baik dan benar. Oleh karena itu agama Islam memberikan tuntunan bagaimana keinginan atau hasrat untuk kembali menemui asal kita dapat terpenuhi dengan cara yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, yaitu dengan diperintahkannya umat Islam untuk merayakan dua hari raya besar, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha lengkap dengan ritual keagamaan yang mendahuluinya, sesuai dengan hadits Nabi :
Jabir ra. Berkata: Rasulullah saw datang ke Madinah, sedangkan bagi penduduk Madinah ada dua hari yang mereka bermain-main padanya dan merayakannya dengan berbagai permainan. Maka Rasulullah saw bertanya : Apakah hari yang dua ini? Penduduk Madinah menjawab adalah kami di masa jahiliah bergemberi ria padanya. Kemudian Rasulullah bersabda : Allah telah menukar dua hari ini dengan yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fithri. (HR. Abu Dawud).
Sebelum merayakan hari raya Idul Fithri, umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan yang ke sembilan yaitu Ramadhan dan pada tanggal 1 syawal kita merayakan hari raya Idul Fithri dengan penuh kegembiraan. Di negara kita hari raya Idul Fithri dirayakan dengan tradisi mudik atau pulang kembali ke asalnya masing-masing untuk bertemu dengan bapak dan ibunya di tempat tinggalnya masing-masing. Dan saat bertemu dengan bapak dan ibunya tersebut kita melaksanakan tradisi sungkem atau salim atau salaman untuk memohon ampunan atas segala dosa yang kita perbuat. Dalam tradisi tersebut, kita melihat bahwa umat Islam di Indonesia telah mempunyai tradisi untuk memenuhi hasrat atau keinginan setiap manusia untuk kembali ke asal jasmaninya, yaitu untuk kembali menemui kedua orang tuanya dan bersalim kepada keduanya.
Untuk memenuhi hasrat atau keinginan rohani untuk kembali kepada asalnya, Allah memerintahkan setiap umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji. Pada hakikatnya proses ritual ibadah haji merupakan proses perjalanan setiap manusia untuk pulang kembali ke asalnya baik secara jasmani maupun secara rohani. Jasmani manusia jika ditelusuri asalnya, semuanya berasal dari nenek moyang yang satu yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa, sedangkan semua rohani manusia berasal dari Allah. Dalam ritual ibadah haji yang menjadi puncaknya adalah wuquf di padang Arafah yang merupakan tempat pertemuan antara Nabi Adam dan Siti Hawa ketika diturunkan di atas dunia. Dari pertemuan itu maka lahirlah keturunan dari mereka berdua, yang sekarang jumlahnya telah mencapai kurang lebih 5 milyar. Setiap umat Islam mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat untuk kembali menapaktilasi atau menulusuri asalnya yaitu dengan berkunjung ke padang Arafah untuk merenungkan proses terjadinya pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa tepatnya di Jabal Rahmah.
Sedangkan secara rohani setiap manusia juga mempunyai hasrat atau keinginan untuk kembali kepada asalnya yaitu Allah SWT. Keinginan ini disalurkan melalui proses ibadah haji dengan cara Wuquf di padang Arafah untuk mengenal dan bertemu dengan Allah. ( wuquf = menghentikan. Sedang arafah = mengenal. Jadi hakekat wuquf dipadang arafah adalah proses ritual untuk menghentikan aktifitas jasmani untuk mengenal dan bertemu dengan Asal kita yaitu Allah SWT ). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an :
Wa adzdzin fin naasi bil hajji ya’tuuka rijaalaw wa ‘alaa kulli dhaamiriy ya’tiina min kulli fajjin ‘amiiq
Dan serulah manusia untuk melaksanakan haji, niscaya mereka datang kepada engkau dengan berjalan kaki dan mengendarai unta-unta yang kurus yang datang dari segala penjuru yang jauh. (QS Al-Hajj 22 : 27).
Secara jasmani tujuan melaksanakan ibadah haji, adalah melaksanakan rukun haji dengan sempurna, yang merupakan simbol dari gerak kembali ke asal-usul kejadian jasmani kita. Sedangkan secara rohani bertujuan untuk kembali menemui asalnya yaitu Allah. Hal ini berarti bahwa setiap umat Islam yang melakukan ibadah haji harus kembali menemui asal rohaninya yaitu Allah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an :
Wa aniibuu ilaa robbikum wa aslimuu lahu min qobli ay ya’tiyakumul ‘adzaabu tsumma la tunshoruun
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang kepadamu azab kemudian kamu tidak dapat ditolong lagi. (QS Az-Zumar 39 : 54)
Maka segeralah kamu kembali menghadap kepada Allah , sesungguhnya aku pemberi peringatan yang terang dari Allah kepada kamu “. ( QS Adz Dzariyat 51 : 50 )
Yaa ayyuhal insaanu innaka kaadihun illa robbika kadhan fa mulaaqiih
"Hai manusia, sesungguhnya engkau harus berusaha dengan usaha yang keras untuk menemui Tuhan dikau, sampai engkau bertemu dengannya". (QS Al-Insyiqaq 84 : 6)
Qul innamaa a’izhukum bi waahidatin an taquumuu lillahi matsnaawa furoodaa tsuma tatafakkaru maa bi shoohibikum min jinnatin in huwa illa nadziirul lakum baina yadai ‘adzaabin syadiid
Katakanlah : sesungguhnya aku hanya mengajarkan kepada kamu satu ajaran saja yaitu bahwa kamu menghadap Allah, berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian hendaklah kamu pikirkan tiadalah sahabat kamu itu gila, dia tiada lain hanyalah pemberi peringatan kepada kamu sebelum datang azab yang sangat keras ( QS Saba 34 : 46 )
Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan manusia untuk mengadakan pertemuan atau perjumpaan dengan Allah sewaktu masih hidup di dunia, dengan melaksanakan ibadah haji. Jadi Idul Adha merupakan sarana untuk merayakan kembalinya seorang manusia yang berhasil bertemu dengan Tuhannya. Kata Id berasal dari bahasa Arab, yang artinya kembali, sedangkan kata Adha seakar dengan kata Dhuha yang artinya Terangnya Cahaya Siang, sehingga Idul Adha dapat diartikan sebagai proses kembalinya seorang manusia yang pulang ke asalnya yaitu Cahaya Allah Yang Terang Benderang dengan melakukan prosesi Wuquf di padang Arafah. Wukuf artinya berhenti atau menghentikan segala aktifitas jasmani dan inderawi dalam rangka mengenal (Arafah) Allah Yang Padang (Terang), sesuai dengan hadits Nabi SAW : “Al Hajju arofah” = Bukti itu adalah mengenal. Mengenal siapa ? tentunya adalah Allah yang Pepadang/Terang di Padang Arafah.
Wukuf adalah puncak tertinggi dari ibadah haji yang dilakukan disebuah tempat/padang yang luas yang kita sebut sebagai "ARAFAH". Apakah Wuquf itu ? Apakah Arafah itu ? Mengapa tempat itu menjadi sebuah yang amat penting ?
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa wukuf berasal dari kata waqofa yaqifu, yang artinya berhenti atau diam sejenak. Arafah berasal dari kata ‘arafa, ya'rifu, yang berarti mengetahui, mengenal, atau memahami.
Ditempat itu (padang 'arafah) saat ibadah wukuf atau saat jamaah mewakafkan diri mereka. Diharapkan mereka mengenal dan memahami tentang dirinya, sipa, untuk apa dan kemana tujuannya, dosa-dosanya, langkah-langkahnyanya, dan sebagainya. 'Arafa juga diyakini sebagai tempat pertemuan Adam dan Hawa. Di dalam Al-Quran, kata 'arafa dipakai saat Ibrahim memahami ('arafa) bahwa benar mimpi itu datang dari Allah. Begitupun saat Adam dan Hawa mengetahui ('arafa) dosa-dosanya lalu mereka bertaubat kepada Allah. Kita mengenal satu ungkapan : "Man 'arafa nafsahu, faqod 'arafa rabbahu.."
(Siapa yang mengenal/memahami dirinya, maka dia akan mengenal/memahami Tuhan-nya)
'Arafa (mengenali, memahami) adalah sebuah ranah/padang/zona yang amat luas. Apanya yang dikenali ? Tentu mengenal Af'al-Nya, Nama-Nya, sifat-Nya, dzat-Nya.
Itulah gambaran dari hakikat 'Arafa, termasuk puasa 'arafa juga bertujuan untuk "Memahami". Di 'Arafa itulah Ibrahim memahami mimpi/petunjuknya. Di 'Arafa itu Ismail memahami apa yang disampaikan bapaknya. Di 'Arafa itu Adam dan hawa bertemu. Di 'Arafah itulah diri bertemu dengan Tuhan-nya. Wukuf secara syar'i adalah puncak dari sekian banyak rangkaian ibadah haji. Karena itu, Rasulullah saw memberikan sinyal tentang penisbatan wukuf kepada ibadah haji itu sendiri. Haji itu adalah wukuf di Arafah. Mengapa ia menjadi puncak dari ibadah haji ?
Sesuai dengan namanya bahwa wukuf adalah berdiam, berkontemplasi, bertafakkur, dan bertadabbur. Maka berdiam di sini bertujuan untuk mengenal dan membaca diri.
Mengenal diri dalam hal ini mengandung arti bahwa ibadah haji itu bermakna juga mengenal Allah atau ma'rifatullah. Tidak ada hal yang lebih tinggi dari mengenal Allah. Jika ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang paling tinggi derajatnya, maka wukuf menempati derajat yang paling tinggi dari sekian banyak aktifitas ibadah haji.
Setelah sebelumnya memakai pakaian ihram yang bermakna mengharamkan diri dari segala yang dilarang dalam aturan-aturan ihram, maka wukuf adalah perjalanan selanjutnya dari proses pengharaman diri itu. Artinya, cara untuk mengenal Allah hanya dapat dicapai semata-mata dengan menjaga diri dari segala sesuatu yang dilarang (oleh Allah).
Pelarangan-pelarangan ketika berihram adalah simbolisasi tentang sebuah pencapaian keadaan fithrah, yakni keadaan asli dimana Allah swt sendiri menjadi Pengambil ikrar akan sebuah kesaksian. Kesaksian awal tentang sebuah pengakuan hamba dan pernyataan Tuhan yang berhulu di alam arwah dan terus mengalir di alam rahim. Pernyataan Allah Swt itu adalah :
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : "Bukankah aku ini Tuhan kalian?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami telah menyaksikannya". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan :
"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (al-A’raf (7) : 172)
Tapi sayangnya pengalaman bersaksi itu kerap hilang di alam dunia. Untuk mendapatkan kembali pengalaman bersaksi itu, kita harus kembali mengulang kesaksian tersebut dengan cara wukuf.
Mengapa Tuhan mesti dikenali melalui wukuf ? Wukuf di padang Arafah merupakan simbolisasi dari zona ruhani. Sebuah pola untuk berma’rifat. Tak akan ada sebuah pencapaian tanpa memberhentikan gerak kehidupan terlebih dahulu. Dan gerak kehidupan itu bertitik pusat pada akal pikiran. Memberhentikannya dalam gerak kehidupan bermakna mengembalikannya pada kondisi awal. Dari sinilah, seorang yang menjalankan wukuf memulai untuk bertaraqqi kepada alam asalnya.
Jendela terhadap dunia penampakan yang bertitik pusat pada akal pikiran itu terletak pada panca indera. Indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba, semuanya berpusat pada akal. Partikel-partikel dunia masuk melalui panca indera tersebut. Partikel-partikel dunia itulah yang membuat segala macam keramaian di dunia. Ia harus dikembalikan pada fitrahnya dengan cara menutup semua lobang panca indera melalui wukuf. Akal pikiran dimurnikan kembali sehingga ia tidak bergeser terlalu jauh. Menghentikan gerak akal sementara waktu bertujuan untuk menenangkannya. Akal yang tenang akan tunduk pada jiwa yang tenang. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang bisa kembali kepada Tuhannya. Ke arah sanalah agama mengajarkan para pemeluknya agar senantiasa mencapai satu titik ketenangan yang bisa membawa dirinya kepada hakekat kejadian awal. Kejadian awal manusia adalah ikrarnya dalam mengenal Tuhan.
"Alastu birabbikum, qooluu balaa syahidnaa", bukankah Aku ini Tuhan kalian, mereka berkata; "ya kami telah bersaksi".
Akal yang tenang akan selalu tunduk pada jiwa yang tenang. Akal yang tenang akan mendapatkan suntikan energi, sehingga daya tampungnya menjadi lebih luas. Pandangannya tajam terhadap tanda-tanda alam. Kepekaan kecerdasannya akan selalu membawa kemaslahatan bagi lingkungan dan alam semesta.
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku". (QS Al-Fajr : 27-30).
Gerak akal yang muncul dari panca indera, menjadikannya terbebani oleh persoalan-persoalan dunia. Dunia telah menarik fungsi akal dan mengikat kuat manusia sehingga ia menjadi bodoh, lemah dan terpuruk. Belenggu dunia telah membawa akal sehingga ia tidak mampu berpikir untuk soal-soal yang sangat sederhana. Akal telah terpenjara oleh penampakan panca indera. Sifat-sifat buruk yang muncul dan menjadi penyakit hati berasal dari dunia penampakan yang masuk dari panca indera. Kebencian, kedengkian, iri hati, sombong, riya, sum'ah, buruk sangka, sakit hati, dan penyakit-penyakit lainnya telah menjerumuskan manusia menjadi makhluk yang sangat kerdil dan terhina. Saat itulah manusia telah menjadi bodoh. Belenggu dunia yang mengikat kuat akal pikiran manusia adalah berhala yang nyata. Ia bukan berada di luar diri, tetapi di dalam diri. Ia membentuk sebuah gambar yang membuat manusia menjadi senang ataupun susah. Gambar-gambar yang muncul di dalam bayangan akal pikiran telah membelenggu dan menjadi penghalang bagi manusia untuk menuju pertemuan dengan Tuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar