Minggu, 28 Februari 2016

Menyikapi Perbedaan Dengan Bijaksana

Dalam agama Islam yang sangat mulia ini, sebenarnya ikhtilaf bukanlah suatu hal yang baru, bahkan sejak terjadi sejak di masa hayatnya Baginda Rasulullah Shalala hu Alaihi Wasallam. Hanya pada masa itu, apabila ada terjadi perbedaan faham diantara para sahabat, mereka dapat merujuk langusung kepada Baginda Rasul.Ambil contoh ketika Sayidina Umar dan beberapa sahabat sedang dalam perjalanan ke negeri Syam. Di tengah perjalanan mereka mendengar bahwa di negeri Syam ketika itu sedang berjangkit penyakit menular yang berbahaya. Maka Sayidina Umar dan beberapa orang sahabat membatalkan perjalanan itu, dan ingin kembali ke Madinah, sementara amir penjalan ketika itu berkeras untuk meneruskan perjalanan.

Sang amir bertanya, ”Hai Umar, apakah engkau mau lari dari takdir Allah?”. pertanyaan itu dijawab dengan tegas oleh Sayidina Umar, ”Ya, saya lari dari takdir Allah yang tidak baik, kepada takdir Allah yang baik!”. Akhirnya, seluruh rombongan sahabat yang menuju Syam wafat, sedangkan yang kembali ke Madinah semuanya hidup.

Dan, ketika hal ini dipertanyakan kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, maka baginda tidak menyalahkan kedua rombongan yang berangkat itu. Kedua-duanya dibenarkan saja oleh Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam.

Demikianlah keadaan di masa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Segala perbedaan faham dan pandangan dapat dengan mudah terselesaikan.

Pada zaman sahabar Rasul juga muncul perbedaan-perbedaan faham dan pendapat, dan sebagian besar perbedaan itu masih dapat diselesaikan oleh mereka. Meskipun ada beberapa permasalahan yang sampai menimbulkan peperangan, namun tidaklah berakibat sangat fatal, sebab masih banyak sekali sahabat Nabi yang hidup di masa itu.

Sekarang ini, Islam telah berkembang di seluruh dunia dan telah dianut oleh lebih dari satu miliar umat. Perbedaan faham dalam bidang tauhid, fiqih dan lain-lain sudah tak terhitung lagi banyaknya. Masing-masing kelompok memiliki hujjab untuk mempertahankan pendirian dan faham mereka.

Di bidang tauhid ada kelompok Ahlus Sunnah, Syi’ab, mu’tazilah, Murji’ah, Mujashimah, Qodariah, Jabbariah dan lain-lain. Masing-masing kelompok berbeda faham dan semuanya mengklaim sebagai faham yang paling benar.

Dalam kelompok yang mengaku Ahlus Sunnah Wal jama’ah pun terjadi pula perbedaan faham di dalamnya. Ambil contoh pihak Suny Asy’aryah dengan kelompok salafy. kedua kelompok ini mengaku sebagai kelompok Ahlus Sunnah Wal Jama`ah.

Ada beberapa perbedaan faham antara keduanya dalam bidang Tauhid. Kami ingin gambarkan secara berjajar dalam di samping agar mudah dibandingkan :

Asy’ariyah
Salafiyah
1. Allah tidak bertempat, sebab mustahil Allah itu ditempatkan kepada suatu benda. Allah Khaliq sedangkan tempat makhluk. Bagaimana menempatkan Allah ke dalam sebuah makhluk?
1. Allah bertempat di Arasy. Tarkadang di langit. Boleh ditunjuk dengan jari tangan manusia. Mengklaim kafir kelompok yang mengatakan Allah tidak bertempat, sebab itu berarti sama dengan Allah tidak ada.
2. Allah menguasai Arasy. Bukan bertempat di Arasy.
2. Allah duduk di Arasy. Hanya cara duduknya tidak diketahui.
3. Meminta kepada Allah dengan berwasilah kepada Nabi dan orang shalih sunnat hukumnya.
3. Meminta kepada Allah dengan berwashilah kepada Nabi dan orang shalih yang sudah syirik hukumnya.
4. Ziarah dan berdo’a di kubur sunnat hukumnya.
4. Ziarah dan berdo’a di kubur terlarang.
5. Orang mati masih mendengar dengan izin Allah. Percaya bahwa mereka masih mendengar, tidak syirik.
5. Orang mati tidak bisa mendengar lagi. Percaya bahwa mereka masih bisa mendengar, khurafat hukum.

6. Nabi dan para wali terkadang dapat melihat yang ghaib dengan izin Allah.
6. Yang mengetahui semua yang ghaib hanya Allah saja, tidak ada yang lain.

7. Nabi dan orang mati syahid hidup di dalam kubur mereka.
7. Nabi dan siapa pun semuanya mati di dalam kubur.
8. Dan lain-lain.
8. Dan lain-lain.

Demikian antara lain perbedaan faham di dalam bidang Tauhid.

Sebenarnya, jika masing-masing pihak memahami bahwa tempat berpijak mereka memang berbeda, maka tidaklah akan menyebar rasa permusuhan diantara sesamanya. Akan tetapi sayanya, selalu saja ada dijumpai oknum-oknum dari kelompok tertentu yang selalu agresif bahkan berani mengjafirkan kelompok lain.

Dalam bidang Fiqih juga terjadi perbedaan faham yang cukup banyak. Di satu pihak suatu amalan dihitung wajib namun di pihak lain dianggap haram, di satu pihak dianggap sunnat namun dipihak lain dianggap bi’dah. Berikut ini kami buatkan tabel antara keduanya :

Asy’ariyah
Salafiyah
1. Membaca Al Fatihah bagi ma’mum dalam shalat berjam’ah hukumnya wajib.
1. Membaca Al Fatihah bagi ma’mum dalam sahalat berjam’ah hukumnya bid’ah.
2. Berdzikir dengan suara jahar hukumnya sunnat.
2. Berdizikir dengan suara jahar bi’dah hukumnya.
3. Membaca surat Al Ikhlas secara berulang-ulang (mewiridkannya) sunnat.
3. Mewiridkan surat Al Ikhlas bid’ah.
4. Qunut suhubuh sunnat.
4. Qunut shubuh bid’ah
5. Air musta’aml tidak dapat dipakai menghilangkan najis dan berwudhu.
5. Air musta’mal tidak ada.
6. Dan lain-lain
6. Dan lain-lain.


Hal seperti di atas ini terjadi adalah karena berbeda tempat berpijak untuk memandang sesuatu. Sebenarnya hal seperti ini lumrah adanya, kalau saja masing-masing pihak mau ber-mudzakarab dan saling bertoleransi. Sayannya, hal seperti itulah yang sangat mahal hargnya di masa ini. Padahal tempta berpijak seseorang dan cara dia memandang sesuatu akan memberi hasil yang berbeda dengan orang lain yang berdiri pada tempat berpijak yang berbeda, dengan cara pandang yang berbeda pula.

Angka 6 akan dibaca enam kalau dipandang dari sebelah bawah. Namun, angka 6 akan dibaca sembilan, kalau dinaca dari sebelah atas.

Kelompok madzab Syafi’i mengakui bahwa sesuatu pekerjaan itu boleh dibuat selama tidak dilarang Nabi. Sementara kelompok Salafy menganggap bahwa semua perbuatan yang boleh dibuat hanyalah yang pernah dicontohkan oleh Nabi saja. Selain itu semuanya bid’ah. Karena cara pandang yang berbeda inilah maka kemudian lahir beberapa perbedaan pula dalam kefahaman agama masing-masing pihak.

Patut disayangkan juga, bahwa tidak terhitung pula banyaknya orang-orang dari kelompok garis keras yang tidak pernah mau berlembut hati mengakui adanya berbedaan itu. Dalih mereka adalah bahwa agama ini sudah jelas dan nyata, sehingga tidak mungkin berbeda pandanga lagi.

Anehnya, mereka masih tetap mengakui pula bahwa ilmu Allah itu sangat luas dan tersangat luas, sehingga jika seluruh air laut jadi tintanya sekalipun, tidak akan cukup untuk menjabarkan keluaran ilmu Allah tersebut. Satu pendapat yang terasa kontradiksi.

Agar lebih meyakinkan pembaca bahwa keluaran ilmu Islam memungkinkan bagi munculnya ikhtilaf antara sesama kaum muslimin, meskipun sumber dasarnya tetap terpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah.

Beriku ini kami ingin menunjukkan bahwa antara ulama-ulama Salafy pun terdapat juga ikhtilaf.

Asy’ariyah
Salafiyah
1. Taqlin mayyit tidak mengapa dan mayyit masih dapat manfaat dari talqin yang dilakukan orang yang hidup. (Ibnu Taimiyah, Al Fatwa Al Kubra Jilid I halaman 229)
1. Talqin mayyit Bid’ah. (A. Hassan Terjemahan Bulughul Maram, dan juga Syaikh Muhammad Nasib Ar Rifa’i dalam kitab Mukhtasar Ibnu Katsir).

2. Mayyit di dalam kubur masih dapat mendengar dan berbicara, serta mengenal orang yang ziarah kepadanya. (Syaikh Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra halam 229-230)
2. Dan mayyit sama sekali tidak dapat mendengar di dalam kuburnya, mempercayai masih mampu mendengar dalam kubur adalah khurafat. (Syaikh M. Nasib Ar Rifa’i Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir Surat Ar Rum ayat 52-53)
3. Mayyit di dalam kubur masih mendapat hadiah pahala dari orang yang hidup. Syaikh Nashiruddin al Albani, Ikhtishar Sunan Abu Dauwud).
3. Mayyit tidak dapat memperoleh pahala apapun dari yang hidup. (A. Hassan, Terjemahan Bulugbul Maram).
4. Membaca Al-Fatihah wajib hukumnya bari iman dan ma’mumnya dalam shalat berjam’ah. (Syaikh Utsaimin dan Syaikh Abdullah Bin baz, dalam Brosur Shalat Cara Rasullulah)
4. Ma’mum tidak wajib membaca Al-Fatihah dalam shalat berjama’ah dalam shalat jahar bersama imam. (Syaikh Nashiruddin al Albani, dalam buku ”Shalat Bersama Rasulullah”)
5. Ma’mum bertanggung jawab atas bacaan fatihahnya di dalam shalatnya baik ketika berimam maupun sendirian (Syaikh Utsaimin dan Syaikh Abdullah Bin Baz, dalam Brosur Shalat Cara Rasulullah).
5. Bacaan ma’mum ditanggung imam, bila berjama’ah secara jahar. Sehingga ma’mum tidak perlu membaca fatihah ataupun perlu membaca fatihah ataupun surat. (Syaikh Nashiruddin al Albani, dalam buku Shalat Bersama Rasulullah).
6. Berdoa ketika tasyahhud akhir sebelum salam, hukumnya sunnat. (Syaikh Utsaimin dan Syaikh Abdullah Bin Baz, dalam Brosur Shalat Cara Rasulullah).
6. Berdoa ketika tasyahhud akhir sebelum salam, hukumnya wajib 9Syaikh nashiruddin al Albani, dalam buku Shalat Bersama Rasulullah).



7. Bacaan-bacaan ruku’ dalam shalat yang berasal dari Nabi boleh dibaca bergabung dalam satu ruku’, dalam satu shalat (Syaikh nashiruddin Al Albani, Sifat Shalat Nabi, yang dirujukanya dari pendapat Imam Nawawi Ad Damsyiqi As Syafi’i dari kitab Al Aszkaar.
7. Menggabungkan bacaan ruku’ yang bermacam-macam berasal dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam hukumnya bid’ah (Abu Thayyib Shidiq hasan Khan dalam kitab Nuzulul Abrar).
8. Berziarah ke kubur Nabi Muhammad atau Nabi Ibrahim dan lain-lain hukumnya ma’siat. (Syaikh Abdullah bin Baz)
8. Berziarah ke makam nabi Muhammad hukumnya Sunnat 9Syaikh Said Hawwa).

Tabel ini membuktikan bahwa ikhtilaf adalah hal yang lumrah saja dalam agama, meskipun terkadang digali dari ayat Al Qur’an dan Hadits yang sama. Alangkah sedihnya bila bila masih ada sekelompok jama’ah yang hatinya beku tidak mau menerima adanya perbedaan ini.

Suatu hari ada seorang mu’allaf )baru masuk Islam) di Universitas Sumatera Utara, Medan. Setelah dia beberapa bulan mengaji agama dalam pengajiannya Jama’ah Salafy, kemudian dia luaran dengan lantang mencaci-maki kitab Riyadbush Shabiin, sebuah kitab hadits besar karangan Imam Nawawi Ad Damsiqi.

Dia juga melarang orang-orang yang sedang membaca kitab tersebut di Masjid dengan mengatakan bahwa kitab itu adalah kitab Tassawuf yang bid’ah dan penuh dengan hadits Dhaif dan Ma’udhu serta telah dikritik oleh Syaikh Nashiruddin al Albani.

Lihatlah betapa seorang mu’allaf yang belum bisa membaca Al Qur’an saja sudah memuja-muja Syaikh nashiruddin al Albani.

Nengapa hal ini sampai dapat terjadi? Mungkin karena di pengajian mereka tidak ada diajarkan penghormatan terhadap ulama lain di luar madzhab mereka. Dan, mungkin di dalam pengajian mereka diajarkan bahwa ikhtilaf yang boleh ditoleransi jika terjadi di kalangan ulama mereka saja. Sedangkan, di luar ulama mereka semuanya dihitung sesat!

Sekarang ini di Saudi Arabia telah terjadi perubahan yang sangat menggembirakan. Di mana sekolah-sekolah di sana telah dibuatkan peraturan baru yang melarang adanya ta’ashub pada seorang ulama tertentu saja.

Bahkan pernah terjadi, imam besar masjidil Haram yang sekarang ini (Syaikh Shabiban bin Ubaid) pernah mengunjungi pernikahan anak Syaikh Ismail yang bermadzhab Syafi’i. Padahala dalam pesta pernikahan itu dibacakan marbaban dan barzanji, yang selama ini sangat dibenci oleh kaum salafi/walabi di mana pun berada.

Sifat toleransi ini sebelumnya adalah sangat mustahil terjadi. Alhamdulillah, semoga ini merupakan titik awal dimulainya kebangkitan dan rasa kebersaam dalam Islam.

Dengan uraian ini smoga para pembaca dapat mengetahui betapa luasnya ilmu Islam itu, sehingga kita pun dapat mengerti serta menghargai adanya perbedaan pendapat sebagai suatu rahmat bukan la’nat.

Beberapa orang sahabat pernah mengutarakan keluasan ilmu Allah itu dan nyata-nayta mereka menyimpan beberapa bagian ilmu yang berisi hikmah yang tidak mereka ajarkan kepada semua murid-muris mereka secara merata.


Ketika membaca Al Qur’an surat At Thalaq ayat 12 :
Artinya : “Allah lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah Maha Muasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Alllah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”

Ibu Abbas mengatakan : ”Bahwa seandainya aku terangkan tafsir ayat ini yang sebenarnya, niscaya kamu semua akan memukul aku sampai mati”. Atau dalam riwayat lain beliau mengatakan ”Tentu kalian akan menuduh aku ini kafir.”

Demikian juga halnya dengan Abu Hurairah Radhiyallahu’anbu telah berkata dia : ”Sesungguhnya aku telah menghafal dua bagian ilmu dari Nabi. Yang satu telah pun aku sampaikan pada kamu semua. Dan yang satu bagian lagi kalau aku sampaikan pada kamu niscaya putuslah leher ini.

Akhirul Kalam, kami berdoa :

Artinya : Ya Allah ampunilah dosa kami dan doa saudara-saudara kami yang telah lebih dulu beriman daripada kami. Dan janganlah jadikan di hati kami rasa iri kepada sesama orang-orang beriman. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Lembut dan Maha Pengampun.”

Pengalaman Seorang Salik Dalam Menempuh Jalan KEMA’RIFATAN (Bagian 2)

Oleh : Abu Irsyad Kuswanto
 
Setiap orang yang menempuh perjalanan rohani, akan mendapatkan banyak halangan yang biasanya akan mengakibatkan kejenuhan bahkan merasa putus asa. Hal ini biasanya terjadi karena pada saat pertama kali bertemu dengan Allah melalui proses pengangkatan oleh Guru Mursyidnya, mereka tidak mendapatkan pengalaman Rohani yang maksimal. Atau dengan kata lain, mereka dalam pengalaman mi’raj-mi’rajnya tidak menemukan apa-apa dari penyaksiannya. Sehingga dari pengalamannya itu, mereka tidak memberikan penghargaan yang pantas kepada Allah. Akibatnya, mereka dalam melaksanakan perjalanan mi’rajnya hanyalah bersifat ritual semata, tanpa diimbangi dengan perasaan, penghayatan, perenungan dan kotemplasi terhadap pengalaman pribadinya. Hal ini telah diinformasikan oleh Allah dalam Al Qur’an yaitu :

“Dan mereka tak menghargai Allah dengan penghargaan yang pantas diberikan kepada-Nya, tatkala mereka berkata : Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia . Katakan : Siapakah yang menurunkan Kitab yang dibawa oleh Musa, yaitu NUR dan PETUNJUK bagi manusia, yang kamu buat menjadi lembaran-lembaran (yang berhamburan), yang kamu perlihatkan dan yang kebanyakan kamu sembunyikan? Dan kamu diajarkan tentang apa yang kamu dan orang tua kamu tidak tahu . Katakanlah : Allah. Lalu biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya”. (QS Al An’am 6 : 91)

Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang mereka yang baru menempuh jalan rohani (baru melalui prosesi pengangkatan yang pertama kalinya) namun tidak mendapatkan pengalaman penyaksian yang maksimal. Maka mereka berkata : “ Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia “. Mereka mengatakan yang demikian bukan karena Allah tidak menurunkan apa-apa tetapi karena mereka belum menemukan “rasa pertemuan” dengan Dzat Yang Maha Suci, Allah SWT.

Mereka pantas berkata demikian, tetapi “ Dirinya yang paling dalam berujar “ : Siapakah yang menurunkan Kitab yang dibawa oleh Musa ( Guru Musryid yang mengantarkan dirinya kepada Pencerahan – Pengangkatan ) yaitu NUR dan PETUNJUK bagi manusia, yang kamu buat menjadi lembaran-lembaran?. Karena pengalaman mi’raj itu sulit untuk diungkapkan, maka dibuatlah oleh mereka (para kaum ma’rifatullah) dalam bentuk ungkapan-ungkapan tertulis berupa syair-syair, puisi-puisi, atau kisah-kisah dan yang kebanyakan kamu sembunyikan ( dibuat dalam bentuk perumpamaan ayat-ayat mutasyabihat ). Dan kamu diajarkan tentang apa yang kamu dan orang tua kamu tidak tahu. Dengan NUR ( Nurul Iman ) itu mereka memperoleh petunjuk untuk membimbing dirinya dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan ini.

Katakanlah : “Allah” Dialah yang menurunkan kepahaman itu kepada mereka. Dengan kepahaman itu mereka merasa “plong” menghadapi permasalahan yang berat sekalipun. Mereka mengetahui cara mensikapi permasalahan dengan sewajarnya. Lalu biarkanlah mereka yang ragu-ragu tentang apa yang sudah diturunkan oleh Allah kepada dirinya dalam kesesatan. Bagi mereka yang telah memperoleh Cahaya Keimanan, hendaknya tidak terlalu risau dengan kegelisahan saudara-saudara seimannya yang masih menggerutu denagn pengalamannya, karena mereka belum menemukan keindahan dan keyakinan yang mantap dari mi’raj-mi’rajnya. Lalu bagaimana cara kita menghindari stagnasi dalam perkembangan evolusi rohani kita, jawabannya, hanya ada dua cara yaitu : KAADIHUN ILAA ROBBIKA dan FA AQIM WAJHAQO LID DIINI HANIIFAH

“ Wahai manusia ! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk bertemu dengan Tuhanmu, sampai kamu bertemu dengan-Nya “. ( QS Al Insyqoq 84 : 6 )

“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Dienullah…..”. (QS Ar-Rum 30 : 30)

Pengalaman Seorang Salik Dalam Menempuh Jalan Kema’rifatan

Setiap orang yang menempuh perjalanan rohani, akan mendapatkan banyak halangan yang biasanya akan mengakibatkan kejenuhan bahkan merasa putus asa. Hal ini biasanya terjadi karena pada saat pertama kali bertemu dengan Allah melalui proses pengangkatan oleh Guru Mursyidnya, mereka tidak mendapatkan pengalaman Rohani yang maksimal. Atau dengan kata lain, mereka dalam pengalaman mi’raj-mi’rajnya tidak menemukan apa-apa dari penyaksiannya. Sehingga dari pengalamannya itu, mereka tidak memberikan penghargaan yang pantas kepada Allah.
Akibatnya, mereka dalam melaksanakan perjalanan mi’rajnya hanyalah bersifat ritual semata, tanpa diimbangi dengan perasaan, penghayatan, perenungan dan kotemplasi terhadap pengalaman pribadinya. Hal ini telah diinformasikan oleh Allah dalam Al Qur’an yaitu :

“Dan mereka tak menghargai Allah dengan penghargaan yang pantas diberikan kepada-Nya, tatkala mereka berkata : Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia . Katakan : Siapakah yang menurunkan Kitab yang dibawa oleh Musa, yaitu NUR dan PETUNJUK bagi manusia, yang kamu buat menjadi lembaran-lembaran (yang berhamburan), yang kamu perlihatkan dan yang kebanyakan kamu sembunyikan? Dan kamu diajarkan tentang apa yang kamu dan orang tua kamu tidak tahu . Katakanlah : Allah. Lalu biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya”. (QS Al An’am 6 : 91)

Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang mereka yang baru menempuh jalan rohani (baru melalui prosesi pengangkatan yang pertama kalinya) namun tidak mendapatkan pengalaman penyaksian yang maksimal. Maka mereka berkata : “ Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia “. Mereka mengatakan yang demikian bukan karena Allah tidak menurunkan apa-apa tetapi karena mereka belum menemukan “rasa pertemuan” dengan Dzat Yang Maha Suci, Allah SWT.

Mereka pantas berkata demikian, tetapi “ Dirinya yang paling dalam berujar “ : Siapakah yang menurunkan Kitab yang dibawa oleh Musa ( Guru Musryid yang mengantarkan dirinya kepada Pencerahan – Pengangkatan ) yaitu NUR dan PETUNJUK bagi manusia, yang kamu buat menjadi lembaran-lembaran?. Karena pengalaman mi’raj itu sulit untuk diungkapkan, maka dibuatlah oleh mereka (para kaum ma’rifatullah) dalam bentuk ungkapan-ungkapan tertulis berupa syair-syair, puisi-puisi, atau kisah-kisah dan yang kebanyakan kamu sembunyikan ( dibuat dalam bentuk perumpamaan ayat-ayat mutasyabihat ). 


Dan kamu diajarkan tentang apa yang kamu dan orang tua kamu tidak tahu. Dengan NUR ( Nurul Iman ) itu mereka memperoleh petunjuk untuk membimbing dirinya dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan ini.

Katakanlah : “Allah” Dialah yang menurunkan kepahaman itu kepada mereka. Dengan kepahaman itu mereka merasa “plong” menghadapi permasalahan yang berat sekalipun. Mereka mengetahui cara mensikapi permasalahan dengan sewajarnya. Lalu biarkanlah mereka yang ragu-ragu tentang apa yang sudah diturunkan oleh Allah kepada dirinya dalam kesesatan. 


Bagi mereka yang telah memperoleh Cahaya Keimanan, hendaknya tidak terlalu risau dengan kegelisahan saudara-saudara seimannya yang masih menggerutu denagn pengalamannya, karena mereka belum menemukan keindahan dan keyakinan yang mantap dari mi’raj-mi’rajnya. Lalu bagaimana cara kita menghindari stagnasi dalam perkembangan evolusi rohani kita, jawabannya, hanya ada dua cara yaitu : KAADIHUN ILAA ROBBIKA dan FA AQIM WAJHAQO LID DIINI HANIIFAH

“ Wahai manusia ! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk bertemu dengan Tuhanmu, sampai kamu bertemu dengan-Nya “. ( QS Al Insyqoq 84 : 6 )

“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Dienullah…..”. (QS Ar-Rum 30 : 30)

Tingkatan Puasa Terakhir adalah Puasa Qalbu

“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya”. (HR Bukhari)

‘Suatu hari Nabi saw. mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi saw. Segera memanggilnya. Lalu beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini!” Keruan saja, wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.” Nabi saw.
Berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu? Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan banyaknya orang yang lapar”. ( HR Bukhari)

Dengan hadits tersebut, sebenarnya Rasulullah saw. ingin menyadarkan kaum Muslim tentang hakikat puasa yang sebenarnya.

Istilah “shaum” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang mempunyai arti “menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak) sedang istilah puasa adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yang mempunyai arti menyiksa.
Dari pengertian tersebut, terlihat dengan jelas perbedaan arti dari kedua istilah itu. Akan tetapi dalam bahasa Indonesia, kedua istilah itu mempunyai arti yang sama. Yaitu menahan diri atau mengendalikan dari apa saja, termasuk dari aktivitas inderawi, salah satu contohnya adalah puasa berbicara. Hal ini dapat disimak dari ucapan wanita suci, Maryam a.s., tatkala dirinya diberondong pertanyaan perihal kelahiran putranya, ‘Isa al – Masih a.s., yang tanpa ayah itu

“ …. Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini (QS Maryam 19 : 26)

Dalam ayat ini, Maryam a.s. menggunakan kata puasa (shaum) untuk sikap yang diambilnya, yakni tidak mau berbicara dengan siapa pun. Sementara itu, menurut istilah fiqih, puasa berarti “menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri sepanjang hari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.”

Tampaknya puasa dalam pengertian seperti itulah yang dipahami sahabat wanita yang ditegur nabi Saw. Dalam riwayat di awal bab ini. Memang, tidak terlalu salah bila hal itu didasarkan pada ukuran fiqih. Sebab, sebagaimana diketahui, fiqih hanya mengatur persoalan-persoalan lahiriah atau esoteris semata. Menurut fiqih, puasa yang demikian itu sah, sekalipun hanya dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Dengn demikian, kewajiban puasa seseorang pun telah tertunaikan. Namun, ini terang saja tidak memadai bila diukur dengan menggunakan parameter Sunnah Nabi. Oleh karena itu, kaum arif (‘urafa’) membagi puasa dalam beberapa tingkatan, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.

Menurut A. Hajar Sanusi, kaum arif memilah puasa dalam tiga kategori : puasa perut, puasa lisan, dan puasa qalbui. Puasa perut adalah puasa dalam pengertian para ulama fiqih (fuqaha). Puasa jenis ini hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri dan tidak lebih dari itu, sementara mata, telinga, lidah, dan anggota tubuh lainnya tetap bebas tanpa kendali. Dalam terminologi Imam Al Ghazali, puasa seperti ini disebut puasa awam.

Dalam khutbah menjelang bulan Ramadhan, Nabi Saw. dengan jelas mengatakan : “Peliharalah lidahmu, tundukan pandanganmu dari sesuatu yang matamu tidak dihalalkan melihatnya, dan palingkan pendengaran dari sesuatu yang haram untuk didengar telingamu” (HR Bukhari).

Karena itu, puasa tentu saja tidak bernilai di mata Allah dan tidak akan menghasilkan apa pun. Paling banter, yang dihasilkannya hanyalah lapar dan dahaga saja. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad Saw :

“Alangkah banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, selain rasa lapar dan dahaga semata” (HR An Nasa’i dan Ibnu Majah).

Tingkatan puasa yang lebih tinggi dari puasa perut adalah puasa lisan. Imam Abi Thalib menegaskan, “Puasa lisan lebih baik dari pada puasa perut”. Puasa lisan adalah puasa seperti yang didefinisikan para ulama fiqih, dibarengi dengan upaya mengendalikan mata, telinga, lidah, dan dan seluruh anggota tubuh dari segala yang diharamkan Allah. Dalam sebuah riwayat, misalnya disebutkan, bahwa Abu Abdillah r.a. (Imam Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Jika engkau berpuasa, maka puasakan pula pendengaran, penglihatan, san kulitmu. Janganlah samakan hari puasamu dengan hari berbukamu”.

Dalam riwayat lain, Imam Ja’far ash-Shadiq r.a mengatakan, “Jika engkau berpuasa, maka kendalikan pendengaran dan penglihatanmu dari segala sesuatu yang diharamkan. Tahanlah seluruh anggota tubuhmu dari segala keburukan. Tinggalkan perilaku yang dapat melukai perasaan pelayanmu, dan bila mampu, diamlah dari segala pembicaraan, kecuali untuk mengingat Allah (dzikrullah). Jangan jadikan hari-hari puasamu seperti hari-hari fitrahmu”.

Puasa lisan (Imam Al Ghazali menyebutnya puasa khusus) memang bukan pekerjaan mudah. Untuk menjalankan puasa itu, selain niat dan tekat yang kuat, diperlukan juga pertolongan dari Allah. Agaknya, tidak terlalu mengherankan bila mana Imam Ali Zainal ‘Abidin senantiasa memanjatkan permohonan agar Allah berkenan menyertainya dalam menjalankan ibadah yang satu ini setiap menjelang datangnya bulan Ramadhan.

Simak, misalnya doa beliau berikut ini : “Ya Allah, ilhamkan kepada kami untuk mengenal karunianya, mengagungkan kesuciannya, dan menjaga apa yang dilarangnya. Bantulah kami untuk menjalankan puasanya, dengan menahan anggota badan dari maksiat kepada-Mu dan menggunakannya untuk apa yang diridhai-Mu, agar telinga kami tidak kami arahkan kepada kesia-siaan, dan mata kami tidak kami pusatkan pada kealpaan; tangan kami tidak kami ulurkan pada larangan dan kaki kami tidak kami langkahkan pada keburukan, agar perut kami tidak kami isi kecuali yang Kau-halalkan dan lidah kami tidak berbicara kecuali yang Kau contohkan. Demikian rintihan Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin. Beliau yakin betul bahwa, untuk mencapai puasa tingkatan ini, diperlukan bantuan dan pertolongan dari Allah. (A. Hajar Sanusi 2001)

Tingkatan puasa terakhir adalah puasa qalbu. Inilah tingkatan puasa paling tinggi. Sayidina Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Puasa qalbu dari segala pikiran yang menyebabkan terjatuh pada dosa jauh lebih baik dari puasa lisan. Sementara itu, puasa lisan lebih baik daripada puasa perut”. Puasa qalbu dalam pandangan Sayidina Ali identik dengan puasa khushush al-khushush menurut Imam Al Ghazali. Inilah gabungan puasa jenis pertama dan puasa jenis kedua plus “puasa dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri dari segala sesuatu selain Allah: (Ihya’ ‘Ulumiddin, 1 : 277). Dalam tingkatan ini, puasa sudah dianggap batal hanya lantaran pikiran tertuju kepada sesuatu selain Allah seperti, misalnya, memikirkan perihal dunia bila hal itu tidak dimaksudkan sebagai wasilah untuk mencapai kehidupan di kampung akhirat nanti.

Demikianlah tingkatan-tingkatan puasa dalam pandangan kaum arif. Sebuah pertanyaan menarik segera mengemuka : Puasa tingkat manakah yang mempunyai kemungkinan besar mencapai tujuannya seperti dinyatakan Al Qur’an? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan puasa.

Puasa bertujuan untuk manusia yang bertakwa. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya dan juga Hadits :

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS Al Baqarah 2 : 183)

“Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya “. ( HR Bukhari)

“Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badan mu telanjang, mudah-mudahanan qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini”. ( HR Bukhari)

Berdasarkan dalil tersebut, terlihat dengan jelas bahwa puasa yang diwajibkan kepada umat Islam merupakan kewajiban yang juga diperintahkan oleh Allah kepada umat sebelum Nabi Muhammad Saw. menjadi Rasul. Hal ini berarti ada persamaan antara puasa umat Islam dengan puasa umat sebelumnya, tetapi pertanyaannya, puasa yang seperti apa ? Kemudian, dalil tersebut juga menjelaskan bahwa tujuan orang berpuasa adalah untuk menjadi orang yang bertakwa. Apakah yang dimaksud dengan takwa ? Dalam dalil tersebut juga dijelaskan bahwa orang berpuasa akan mendapat kenikmatan yaitu kenikmatan saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya. Puasa yang bagaimanakah yang dapat menghantarkan kita bertemu dengan Tuhan kita ?

Kata takwa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang arti sebenarnya adalah memelihara atau menjaga. Tujuan dari orang yang berpuasa adalah agar ia bisa memelihara iman yang telah ditanam oleh Allah dalam qalbunya agar ketika ia meninggal dunia tetap dalam keadaan beriman kepada Allah. Apakah iman itu ? Pada hakikatnya iman itu adalah Nur Allah yang telah disaksikan oleh setiap orang yang beriman ketika ia bertemu dengan Allah untuk pertamakalinya. Pertemuan dengan Allah itu dapat terjadi lantaran ia melakukan ibadah puasa. Inilah yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. bahwa ibadah puasa dapat digunakan sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah, dan pertemuan tersebut merupakan pengalaman yang sangat menggembirakan bagi para pelaku puasa.

Banyak ulama yang berpendapat bahwa kegembiraan bertemu dengan Tuhan karena melakukan ibadah puasa, didapatkan nanti ketika kita berada di akhirat kelak, sehingga banyak umat Islam tidak peduli lagi dengan puasanya apakah dapat menghantarkan kepada pertemuan dengan Tuhan atau tidak. Padahal hadits tersebut tidak menjelaskan pertemuan dengan Allah itu nanti. Akan tetapi pertemuan dengan Allah itu terjadi ketika orang itu berpuasa. Maka merugilah orang yang berpuasa tetapi tidak merasakan kegembiraan dan kenikmatan bertemu dengan Tuhannya.

“Berapa banyak orang melakukan puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga semata”. (HR An Nasai dan Ibnu Majah)

Dengan tegas Al Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyaful Mahjub mengatakan : “ Buah lapar adalah menyaksikan Allah (musyahadah), sedangkan caranya adalah penundukan hawa nafsu. (mujahadah). Kenyang yang dipadu dengan menyaksikan Allah (musyahadah) lebih baik daripada lapar yang terpadu dengan mujahadah, karena menyaksikan Allah adalah medan perang manusia sementara mujahadah adalah tempat bermain anak-anak. Kemudian beliau menceritakan bahwa dirinya telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasihat dan Rasulullah Saw. menjawab : Tahanlah lidahmu dan indera-inderamu”.

Menurut Al Hujwiri, menahan indera-indera adalah mujahadat yang sempurna, karena semua pengetahuan diperoleh melalui panca indera : penglihatan,pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan. Empat dari indera-indera itu mempunyai suatu tempat yang khusus, tetapi yang kelima, yakni perabaan, tersebar ke seluruh badan. Segala sesuatu yang diketahui oleh manusia melewati pintu ini, kecuali pengetahuaan intuitif dan ilham Tuhan, dan pada masing-masing terdapat kesucian dan ketidaksucian. Karena, sebagaimana terbuka bagi pengetahuan, akal dan ruh,

Demikian pula mereka terbuka bagi imajinasi dan hawa nafsu yang merupakan organ-organ yang berperan dalam ketaatan dan dosa, juga berperan dalam kebahagiaan dan penderitaan. Karena itu, bagi orang yang melakukan puasa untuk memenjarakan semua indera itu agar mereka biasa berpaling dari ketidaktaatan kepada ketaatan. Berpantang hanya dari makanan dan minuman adalah permainan anak-anak. Orang harus berpantang dari kesenangan-kesenangan yang tidak berguna dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, bukan dari makanan yang halal.