Minggu, 28 Februari 2016

Menyikapi Perbedaan Dengan Bijaksana

Dalam agama Islam yang sangat mulia ini, sebenarnya ikhtilaf bukanlah suatu hal yang baru, bahkan sejak terjadi sejak di masa hayatnya Baginda Rasulullah Shalala hu Alaihi Wasallam. Hanya pada masa itu, apabila ada terjadi perbedaan faham diantara para sahabat, mereka dapat merujuk langusung kepada Baginda Rasul.Ambil contoh ketika Sayidina Umar dan beberapa sahabat sedang dalam perjalanan ke negeri Syam. Di tengah perjalanan mereka mendengar bahwa di negeri Syam ketika itu sedang berjangkit penyakit menular yang berbahaya. Maka Sayidina Umar dan beberapa orang sahabat membatalkan perjalanan itu, dan ingin kembali ke Madinah, sementara amir penjalan ketika itu berkeras untuk meneruskan perjalanan.

Sang amir bertanya, ”Hai Umar, apakah engkau mau lari dari takdir Allah?”. pertanyaan itu dijawab dengan tegas oleh Sayidina Umar, ”Ya, saya lari dari takdir Allah yang tidak baik, kepada takdir Allah yang baik!”. Akhirnya, seluruh rombongan sahabat yang menuju Syam wafat, sedangkan yang kembali ke Madinah semuanya hidup.

Dan, ketika hal ini dipertanyakan kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, maka baginda tidak menyalahkan kedua rombongan yang berangkat itu. Kedua-duanya dibenarkan saja oleh Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam.

Demikianlah keadaan di masa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Segala perbedaan faham dan pandangan dapat dengan mudah terselesaikan.

Pada zaman sahabar Rasul juga muncul perbedaan-perbedaan faham dan pendapat, dan sebagian besar perbedaan itu masih dapat diselesaikan oleh mereka. Meskipun ada beberapa permasalahan yang sampai menimbulkan peperangan, namun tidaklah berakibat sangat fatal, sebab masih banyak sekali sahabat Nabi yang hidup di masa itu.

Sekarang ini, Islam telah berkembang di seluruh dunia dan telah dianut oleh lebih dari satu miliar umat. Perbedaan faham dalam bidang tauhid, fiqih dan lain-lain sudah tak terhitung lagi banyaknya. Masing-masing kelompok memiliki hujjab untuk mempertahankan pendirian dan faham mereka.

Di bidang tauhid ada kelompok Ahlus Sunnah, Syi’ab, mu’tazilah, Murji’ah, Mujashimah, Qodariah, Jabbariah dan lain-lain. Masing-masing kelompok berbeda faham dan semuanya mengklaim sebagai faham yang paling benar.

Dalam kelompok yang mengaku Ahlus Sunnah Wal jama’ah pun terjadi pula perbedaan faham di dalamnya. Ambil contoh pihak Suny Asy’aryah dengan kelompok salafy. kedua kelompok ini mengaku sebagai kelompok Ahlus Sunnah Wal Jama`ah.

Ada beberapa perbedaan faham antara keduanya dalam bidang Tauhid. Kami ingin gambarkan secara berjajar dalam di samping agar mudah dibandingkan :

Asy’ariyah
Salafiyah
1. Allah tidak bertempat, sebab mustahil Allah itu ditempatkan kepada suatu benda. Allah Khaliq sedangkan tempat makhluk. Bagaimana menempatkan Allah ke dalam sebuah makhluk?
1. Allah bertempat di Arasy. Tarkadang di langit. Boleh ditunjuk dengan jari tangan manusia. Mengklaim kafir kelompok yang mengatakan Allah tidak bertempat, sebab itu berarti sama dengan Allah tidak ada.
2. Allah menguasai Arasy. Bukan bertempat di Arasy.
2. Allah duduk di Arasy. Hanya cara duduknya tidak diketahui.
3. Meminta kepada Allah dengan berwasilah kepada Nabi dan orang shalih sunnat hukumnya.
3. Meminta kepada Allah dengan berwashilah kepada Nabi dan orang shalih yang sudah syirik hukumnya.
4. Ziarah dan berdo’a di kubur sunnat hukumnya.
4. Ziarah dan berdo’a di kubur terlarang.
5. Orang mati masih mendengar dengan izin Allah. Percaya bahwa mereka masih mendengar, tidak syirik.
5. Orang mati tidak bisa mendengar lagi. Percaya bahwa mereka masih bisa mendengar, khurafat hukum.

6. Nabi dan para wali terkadang dapat melihat yang ghaib dengan izin Allah.
6. Yang mengetahui semua yang ghaib hanya Allah saja, tidak ada yang lain.

7. Nabi dan orang mati syahid hidup di dalam kubur mereka.
7. Nabi dan siapa pun semuanya mati di dalam kubur.
8. Dan lain-lain.
8. Dan lain-lain.

Demikian antara lain perbedaan faham di dalam bidang Tauhid.

Sebenarnya, jika masing-masing pihak memahami bahwa tempat berpijak mereka memang berbeda, maka tidaklah akan menyebar rasa permusuhan diantara sesamanya. Akan tetapi sayanya, selalu saja ada dijumpai oknum-oknum dari kelompok tertentu yang selalu agresif bahkan berani mengjafirkan kelompok lain.

Dalam bidang Fiqih juga terjadi perbedaan faham yang cukup banyak. Di satu pihak suatu amalan dihitung wajib namun di pihak lain dianggap haram, di satu pihak dianggap sunnat namun dipihak lain dianggap bi’dah. Berikut ini kami buatkan tabel antara keduanya :

Asy’ariyah
Salafiyah
1. Membaca Al Fatihah bagi ma’mum dalam shalat berjam’ah hukumnya wajib.
1. Membaca Al Fatihah bagi ma’mum dalam sahalat berjam’ah hukumnya bid’ah.
2. Berdzikir dengan suara jahar hukumnya sunnat.
2. Berdizikir dengan suara jahar bi’dah hukumnya.
3. Membaca surat Al Ikhlas secara berulang-ulang (mewiridkannya) sunnat.
3. Mewiridkan surat Al Ikhlas bid’ah.
4. Qunut suhubuh sunnat.
4. Qunut shubuh bid’ah
5. Air musta’aml tidak dapat dipakai menghilangkan najis dan berwudhu.
5. Air musta’mal tidak ada.
6. Dan lain-lain
6. Dan lain-lain.


Hal seperti di atas ini terjadi adalah karena berbeda tempat berpijak untuk memandang sesuatu. Sebenarnya hal seperti ini lumrah adanya, kalau saja masing-masing pihak mau ber-mudzakarab dan saling bertoleransi. Sayannya, hal seperti itulah yang sangat mahal hargnya di masa ini. Padahal tempta berpijak seseorang dan cara dia memandang sesuatu akan memberi hasil yang berbeda dengan orang lain yang berdiri pada tempat berpijak yang berbeda, dengan cara pandang yang berbeda pula.

Angka 6 akan dibaca enam kalau dipandang dari sebelah bawah. Namun, angka 6 akan dibaca sembilan, kalau dinaca dari sebelah atas.

Kelompok madzab Syafi’i mengakui bahwa sesuatu pekerjaan itu boleh dibuat selama tidak dilarang Nabi. Sementara kelompok Salafy menganggap bahwa semua perbuatan yang boleh dibuat hanyalah yang pernah dicontohkan oleh Nabi saja. Selain itu semuanya bid’ah. Karena cara pandang yang berbeda inilah maka kemudian lahir beberapa perbedaan pula dalam kefahaman agama masing-masing pihak.

Patut disayangkan juga, bahwa tidak terhitung pula banyaknya orang-orang dari kelompok garis keras yang tidak pernah mau berlembut hati mengakui adanya berbedaan itu. Dalih mereka adalah bahwa agama ini sudah jelas dan nyata, sehingga tidak mungkin berbeda pandanga lagi.

Anehnya, mereka masih tetap mengakui pula bahwa ilmu Allah itu sangat luas dan tersangat luas, sehingga jika seluruh air laut jadi tintanya sekalipun, tidak akan cukup untuk menjabarkan keluaran ilmu Allah tersebut. Satu pendapat yang terasa kontradiksi.

Agar lebih meyakinkan pembaca bahwa keluaran ilmu Islam memungkinkan bagi munculnya ikhtilaf antara sesama kaum muslimin, meskipun sumber dasarnya tetap terpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah.

Beriku ini kami ingin menunjukkan bahwa antara ulama-ulama Salafy pun terdapat juga ikhtilaf.

Asy’ariyah
Salafiyah
1. Taqlin mayyit tidak mengapa dan mayyit masih dapat manfaat dari talqin yang dilakukan orang yang hidup. (Ibnu Taimiyah, Al Fatwa Al Kubra Jilid I halaman 229)
1. Talqin mayyit Bid’ah. (A. Hassan Terjemahan Bulughul Maram, dan juga Syaikh Muhammad Nasib Ar Rifa’i dalam kitab Mukhtasar Ibnu Katsir).

2. Mayyit di dalam kubur masih dapat mendengar dan berbicara, serta mengenal orang yang ziarah kepadanya. (Syaikh Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra halam 229-230)
2. Dan mayyit sama sekali tidak dapat mendengar di dalam kuburnya, mempercayai masih mampu mendengar dalam kubur adalah khurafat. (Syaikh M. Nasib Ar Rifa’i Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir Surat Ar Rum ayat 52-53)
3. Mayyit di dalam kubur masih mendapat hadiah pahala dari orang yang hidup. Syaikh Nashiruddin al Albani, Ikhtishar Sunan Abu Dauwud).
3. Mayyit tidak dapat memperoleh pahala apapun dari yang hidup. (A. Hassan, Terjemahan Bulugbul Maram).
4. Membaca Al-Fatihah wajib hukumnya bari iman dan ma’mumnya dalam shalat berjam’ah. (Syaikh Utsaimin dan Syaikh Abdullah Bin baz, dalam Brosur Shalat Cara Rasullulah)
4. Ma’mum tidak wajib membaca Al-Fatihah dalam shalat berjama’ah dalam shalat jahar bersama imam. (Syaikh Nashiruddin al Albani, dalam buku ”Shalat Bersama Rasulullah”)
5. Ma’mum bertanggung jawab atas bacaan fatihahnya di dalam shalatnya baik ketika berimam maupun sendirian (Syaikh Utsaimin dan Syaikh Abdullah Bin Baz, dalam Brosur Shalat Cara Rasulullah).
5. Bacaan ma’mum ditanggung imam, bila berjama’ah secara jahar. Sehingga ma’mum tidak perlu membaca fatihah ataupun perlu membaca fatihah ataupun surat. (Syaikh Nashiruddin al Albani, dalam buku Shalat Bersama Rasulullah).
6. Berdoa ketika tasyahhud akhir sebelum salam, hukumnya sunnat. (Syaikh Utsaimin dan Syaikh Abdullah Bin Baz, dalam Brosur Shalat Cara Rasulullah).
6. Berdoa ketika tasyahhud akhir sebelum salam, hukumnya wajib 9Syaikh nashiruddin al Albani, dalam buku Shalat Bersama Rasulullah).



7. Bacaan-bacaan ruku’ dalam shalat yang berasal dari Nabi boleh dibaca bergabung dalam satu ruku’, dalam satu shalat (Syaikh nashiruddin Al Albani, Sifat Shalat Nabi, yang dirujukanya dari pendapat Imam Nawawi Ad Damsyiqi As Syafi’i dari kitab Al Aszkaar.
7. Menggabungkan bacaan ruku’ yang bermacam-macam berasal dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam hukumnya bid’ah (Abu Thayyib Shidiq hasan Khan dalam kitab Nuzulul Abrar).
8. Berziarah ke kubur Nabi Muhammad atau Nabi Ibrahim dan lain-lain hukumnya ma’siat. (Syaikh Abdullah bin Baz)
8. Berziarah ke makam nabi Muhammad hukumnya Sunnat 9Syaikh Said Hawwa).

Tabel ini membuktikan bahwa ikhtilaf adalah hal yang lumrah saja dalam agama, meskipun terkadang digali dari ayat Al Qur’an dan Hadits yang sama. Alangkah sedihnya bila bila masih ada sekelompok jama’ah yang hatinya beku tidak mau menerima adanya perbedaan ini.

Suatu hari ada seorang mu’allaf )baru masuk Islam) di Universitas Sumatera Utara, Medan. Setelah dia beberapa bulan mengaji agama dalam pengajiannya Jama’ah Salafy, kemudian dia luaran dengan lantang mencaci-maki kitab Riyadbush Shabiin, sebuah kitab hadits besar karangan Imam Nawawi Ad Damsiqi.

Dia juga melarang orang-orang yang sedang membaca kitab tersebut di Masjid dengan mengatakan bahwa kitab itu adalah kitab Tassawuf yang bid’ah dan penuh dengan hadits Dhaif dan Ma’udhu serta telah dikritik oleh Syaikh Nashiruddin al Albani.

Lihatlah betapa seorang mu’allaf yang belum bisa membaca Al Qur’an saja sudah memuja-muja Syaikh nashiruddin al Albani.

Nengapa hal ini sampai dapat terjadi? Mungkin karena di pengajian mereka tidak ada diajarkan penghormatan terhadap ulama lain di luar madzhab mereka. Dan, mungkin di dalam pengajian mereka diajarkan bahwa ikhtilaf yang boleh ditoleransi jika terjadi di kalangan ulama mereka saja. Sedangkan, di luar ulama mereka semuanya dihitung sesat!

Sekarang ini di Saudi Arabia telah terjadi perubahan yang sangat menggembirakan. Di mana sekolah-sekolah di sana telah dibuatkan peraturan baru yang melarang adanya ta’ashub pada seorang ulama tertentu saja.

Bahkan pernah terjadi, imam besar masjidil Haram yang sekarang ini (Syaikh Shabiban bin Ubaid) pernah mengunjungi pernikahan anak Syaikh Ismail yang bermadzhab Syafi’i. Padahala dalam pesta pernikahan itu dibacakan marbaban dan barzanji, yang selama ini sangat dibenci oleh kaum salafi/walabi di mana pun berada.

Sifat toleransi ini sebelumnya adalah sangat mustahil terjadi. Alhamdulillah, semoga ini merupakan titik awal dimulainya kebangkitan dan rasa kebersaam dalam Islam.

Dengan uraian ini smoga para pembaca dapat mengetahui betapa luasnya ilmu Islam itu, sehingga kita pun dapat mengerti serta menghargai adanya perbedaan pendapat sebagai suatu rahmat bukan la’nat.

Beberapa orang sahabat pernah mengutarakan keluasan ilmu Allah itu dan nyata-nayta mereka menyimpan beberapa bagian ilmu yang berisi hikmah yang tidak mereka ajarkan kepada semua murid-muris mereka secara merata.


Ketika membaca Al Qur’an surat At Thalaq ayat 12 :
Artinya : “Allah lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah Maha Muasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Alllah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”

Ibu Abbas mengatakan : ”Bahwa seandainya aku terangkan tafsir ayat ini yang sebenarnya, niscaya kamu semua akan memukul aku sampai mati”. Atau dalam riwayat lain beliau mengatakan ”Tentu kalian akan menuduh aku ini kafir.”

Demikian juga halnya dengan Abu Hurairah Radhiyallahu’anbu telah berkata dia : ”Sesungguhnya aku telah menghafal dua bagian ilmu dari Nabi. Yang satu telah pun aku sampaikan pada kamu semua. Dan yang satu bagian lagi kalau aku sampaikan pada kamu niscaya putuslah leher ini.

Akhirul Kalam, kami berdoa :

Artinya : Ya Allah ampunilah dosa kami dan doa saudara-saudara kami yang telah lebih dulu beriman daripada kami. Dan janganlah jadikan di hati kami rasa iri kepada sesama orang-orang beriman. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Lembut dan Maha Pengampun.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar