Sabtu, 08 Oktober 2016

Kesatuan Jalan Pencerahan Para Nabi

KESATUAN JALAN PENCERAHAN PARA NABI

Apa yang telah disaksikankan oleh para Nabi, Rasul, Pewaris Nabi, Para Suci, ketika mereka melaksanakan prosesi Liqa” Allah (Menemui Allah), sering diinformasikan dengan kata simbol “Cahaya”, “Bintang”, “Bulan”, “Matahari”, “Kilat”, “Air”, “Pohon”, “Awan”, “Burung”, “Mana dan Salwa”, “Mutiara”, “Buah-buahan”, “Gelang Emas”, “Bejana perak”, dan lain sebagainya, yang semuanya itu kadang menimbulkan salah tafsir bagi para siapa saja yang mendengar atau membacanya berita tersebut. Tetapi, bagi orang-orang yang sudah membuktikan atau menyaksikan apa yang telah dikisahkan atau ditulis dalam Kitab Suci, yang berkaitan dengan pengalaman mati syahid ketika menemui atau menjumpai Tuhannya, istilah-istilah seperti : cahaya, air, mutiara, matahari, gunung, kilat, awan, ma’na, salwa dan lain sebagainya, sangat mudah dipahami dengan jelas dan terang, karena mereka sudah membuktikannya.

Perjalanan para Nabi, Rasul, Pewaris Nabi, para Suci dalam menjalani prosesi Liqa’ Allah dengan metode Mati Syahid, selalu dikisahkan dengan cerita yang sarat dengan symbol-simbol yang hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang juga telah mengalaminya saja. Oleh sebab itu diperlukan bimbingan dari orang yang mengerti, apabila kita ingin mempelajari kisah-kisah tersebut.
Di bawah ini akan kita coba membahas kisah perjalanan Para Nabi, Pelaku prosesi Liqa’ Allah dengan metode Mati Syahid yang tercatat dalam Kitab-kitab Suci maupun sejarah kehidupan umat manusia, antara lain :

PROSESI MATI SYAHID YANG DILAKUKAN LAO TSE (600 SM)

Lao Tse dikenal oleh masyarakat dunia sebagai pendiri Agama Tao Kauw, aliran agama kuno di negeri Cina, yang lahir 600 SM sebelum agama-agama lain lahir dan menyebar di seluruh dunia. Ajarannya tentang prosesi mati syahid, secara simbolis diungkapkan dalam Kitab Tao Tse Ching antara lain berupa syair :

PINTU RAHASIA

Seluruh alam mempunyai asalnya
Yang dapat dianggap sebagai ibunya,
Siapa yang mengenal ibunya
Akan mengenal anaknya juga,

Siapa yang mengenal anaknya
dengan terus menjaga ibunya.
Sampai pada ajalnya
takkan masuk bahaya.

Sumbatlah lubangmu
Tutuplah pintumu
Sampai pada wafat
kamu takkan menderita

Bukalah lubangmu,
Desaklah nafasmu
Sampai pada wafat
kamu takkan berhasil

Dapat milihat barang lembut disebut : awas, dapat menjaga kelemahan disebut : kuat

Siapa yang menggunakan sinarnya,
Tetapi menyembunyikan apinya,
Inilah yang disebut : “Menutupi Rahasianya”

YANG TIDAK ADA

Tiga puluh ruas jari-jari
Bertemu di satu pusat
Yang tidak ada
di sana membuat roda berguna.

Tanah liat dibentuk
Yang tidak ada,
di sana membuat wadah berguna.

Pintu dan jendela ditutup
untuk membentuk ruangan
Yang tidak ada,
di sana membuat ruangan berguna.

Karena itu, ambillah manfaat dari apa yang ada,
dengan menggunakan
Yang tidak Ada.

PROSESI MENEMUI SANG MAHA PENCIPTA ARISTOTELES, SOCRATES, PLATO, PHYTAGORAS, ALEXANDER DE GROOTS DAN ARCHIMIDES ( 400 SM)

Berdasarkan buku sejarah karangan Harold Lamb, dalam bab ke XVI , halaman ke 2001, telah dikisahkan bahwa apabila mereka melakukan prosesi bertemu dengan Sang maha Pencipta selalu dilaksanakan dalam sebuah ruangan yang jendela dan pintunya terkunci rapat serta dijaga ketat oleh para pengawal atau para pengikutnya. Sedangkan Archimides dikisahkan mendapatkan pengalaman Mati Syahid setelah menenggalamkan dirinya ke sebuah bak mandi yang berisi air, sehingga dari peristiwa itulah ia membuat suatu teori yang di namakan Teori Archimides.

PROSESI PENCERAHAN ROHANI DALAM AGAMA HINDU

Dalam Ajaran agama Hindu terdapat ajaran tentang penyucian Jiwa dengan cara menenggelamkan diri beramai-ramai kedalam sungai Gangga di India, hal itu dilakukan untuk mendapatkan pengalaman bertemu dengan Sang Maha Pencipta. Dalam ajaran Yoga Kuno terdapat suatu tehnik meditasi yang bersifat sangat rahasia yaitu yang di sebut dengan istilah “Yoni Mudra”. Prosesi meditasi “Yoni Mudra“ bertujuan untuk menyaksikan Cahaya Nirwana yang diawali dengan mematikan seluruh Indra Jasmani. Secara simbolis ajaran tersebut diungkapkan oleh Ahli Yoga yang bernama Amar Das dalam sebuah syair seperti yang tercantum dibawah ini :

PINTU KESEPULUH

Secara tak terkendali
pikiran terus-menerus berkelama ke dunia ilusi,
Ia tidak menetap di rumahnya yaitu Pusat Mata.
Hentikan pikiran yang berkelana keluar
melalui Sembilan Pintu,
Dan bukalah Pintu Kesepuluh
yang akan membawamu ke Rumah Sejatimu.
Di sana Irama Sejati bergema siang dan malam,
dan dengan mengikuti perintah Satguru,
engkau akan dapat mendengarnya.

Hanya Satgurulah yang memegang kuncinya,
tidak ada orang lain yang dapat membuka pintu itu.

Tanpa Satguru tidak ada yang dapat memperoleh Nam.
Begitulah hukum yang telah diwariskan oleh Tuhan.

PROSESI MENEMUI SANG MAHA PENCIPTA DALAM AGAMA BUDHA

Dalam sejarah agama Budha telah kisahkan Sang Sidharta Budha Gautama menjalani Laku Tapa Brata tanpa memperdulikan kebutuhan jasmaninya sehingga badannya menjadi kurus kering tidak terawat. Meditasi tersebut dilaksanakan di bawah sebuah pohon dekat sebuah sungai selama berbulan-bulan. Pada suatu saat datanglah seorang Tukang Perahu dengan bersyair ia berkata kepada Sang Budha :

“Jika dawai gitar ditarik dengan kencang
ia akan putus.
Jika dawai gitar dibiarkan kendor
maka ia tidak akan berbunyi”.

Setelah mendengar syair tersebut, Sang Budha kemudian meninggalkan kegiatan meditasinya dan pergi menuju ke sungai dan menggelamkan diri beberapa lama dan pada saat itulah ia mencapai pengalaman beremu dengan Sang Maha Pencipta.

PROSESI MENEMUI SANG MAHA PENCIPTA NABI ADAM AS

Dikisahkan bahwa Nabi Adam AS setelah turun ke bumi diperintahkan untuk bertobat dan mempersembahkan “Korban” agar mendapatkan ampunan dari Allah Swt. Setelah itu ia mempelajari Ilmu tentang Nama-nama yang telah diajarkan Allah sehingga pada akhirnya ia berhasil mendapatkan pengalaman bertemu dengan Sang Maha Pencipta.

PROSESI MENEMUI SANG MAHA PENCIPTA NABI NUH AS

Dikisahkan bahwa Nabi Nuh AS diselamatkan oleh Allah dengan sebuah bahtera dan berhasil berlabuh di sebuah gunung.

“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuah dari papan dan paku. Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh). Dan sesungguhnya telah Kami jadikan kapal itu sebagai pelajaran, maka adalah orang yang mau mengambil pelajaran?”. (QS Al Qamar 54 : 11 – 15)

“Sesungguhnya, tatkala “air” telah naik sampai ke gunung, Kami bawa kamu ke dalam “Bahtera”. Agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar”. (QS Al Haqqah 69 : 11 – 12)

PROSESI MENEMUI SANG MAHA PENCIPTA NABI IBRAHIM AS

Dikisahkan Nabi Ibrahim setelah menghancurkan berhala-berhala kemudian ia pergi beruzlah ke dalam sebuah gua untuk mencari Tuhannya, kemudian ia menyaksikan bintang-bintang kemudian bulan dan matahari, dan terakhir dia beriman kepada Tuhannya. Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur’an :

“Maka Kami tunjukan kepada Ibrahim Kerajaan Langit dan Bumi, agar dia termasuk orang yang memiliki ketentuan. Bila malam semakin gelap membentang di atasnya, dilihatnya sebuah Cahaya Bintang, dan berkata : “Inilah Tuhanku”. Kemudian bilamana Cahaya Bintang itu lenyap, maka ia berkata : “Aku tidak menyukai yang lenyap”.

“Dan ketika ia menyaksikan Cahaya Bulan muncul, dia berkata : “Indah Tuhanku”. Ketika Cahaya Bulan lenyap, dia berkata : “Sebelum Tuhan membimbingku, nasibku akan sama dengan orang-orang yang sirna menjadi abu”. Dan ketika dia menyaksikan Cahaya Matahari terbit, dia berkata : Inilah Tuhanku”. “Yang ini paling Agung”. Kemudian Cahaya Matahari itu terbenam, katanya : “Wahai kaumku, sungguh aku bebas dari dosa menyekutukan Tuhan. Sungguh aku telah memalingkan wajahku kepada-Nya yang menciptakan langit dan bumi”. (QS Al An’aam 75 – 79).

Berdasarkan ayat tersebut di atas, secara simbolis Allah menampakkan Cahaya-Nya yang bagaikan Cahaya Bintang, Bulan, Matahari, dan yang terakhir Cahaya yang terang tanpa warna dan tiada perumpamaannya. Pada tahap seperti Nabi Ibrahim mengalami puncak pengalaman Mi’raj Rohani yang tidak dapat diumpamakan dengan apapun, yang sering diistilahkan oleh para Ahli Tasawuf dengan istilah Fana dalam Dzat Tuhan. Para Arif billah ada juga yang menyebutnya dengan istilah “Amrun Dzauqy” (Urusan perasaan yang paling dalam). Dengan penuh kerendahan hati, mereka berkata pada dirinya “Man lam yadzud lam yadri”, artinya : “Siapay yang tidak merasa, tidak tahu”, “mayakruju baina syaitan illa isyarat wal itibar”, artinya : “Apa yang keluar dari buah bibir adalah hanya sekedar isyarat dan itibar”.

Prosesi Pencerahan Rohani Nabi Yusuf AS

Dikisahkan bahwa Nabi Yusuf AS dimasukan ke dalam lubang sumur yang gelap, dan ketika di dalam sumur tersebut Nabi Yusuf mendapatkan Wahyu dan pengalaman Mi’raj Rohani. Kisah ini terabadikan di dalam Al Qur’an :

“Yusuf berkata : “Wahai ayahku, aku melihat bintang-bintang, bulan dan matahari semuanya sujud/mendekat kepadaku”.
Ayah berkata : “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan penglihatanmu itu kepada orang lain karena mereka akan mengingkarimu, dan akan membinasakanmu”. (QS Ysyf 12 : 4-5).

“… dan diwaktu Yusuf berada dalam sumur, maka Kami wahyukan kepadanya : ”Sesungguhnya jika kamu menceritakan pengalaman ini maka mereka tidak akan memperhatikannmu”. (Yusuf 12 : 15)

“Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu untuk menjadi Nabi dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian Rahasia-Nya dan sempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan juga kepada Ya’kub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu yaitu Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana”. (QS Yusuf 12 : 6)
Prosesi Pencerahan Rohani Nabi Yunus AS

Dikisahkan bahwa Nabi Yunus AS ditelah oleh ikan besar dalam keadaan bertaubat dan dalam keadaan tersebut ia mengalami Pencerahan Ruhani. 
Kisah ini terabadikan di dalam Al Qur’an.

“Ketika ia beruzlah di kapal yang penuh muatan”. “Maka ia ditelah oleh ikan besar dalam keadaan bertobat”. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah”, Niscaya ia akan tetap tinggal di dalam perut ikan sampai hari berbangkit”. (QS 37 : 140-143).

Prosesi Pencerahan Rohani Nabi Ayyub AS

Dikisahkan bahwa Nabi Ayyub AS beruzlah dari keluarga dan masyarakatnya, kemudian setelah ia mandi dengan air barulah ia mendapatkan pengalaman Mi’raj Rohani. Kisah ini diabadikan di dalam Al Qur’an :

“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika menyeru Tuhannya : “Sesungguhnya engkau diganggu syeitan dengan kepayahan dan siksaan”. Allah berfirman : “Hantamkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum”. (QS Shaad 38 : 41 – 42).

Prosesi Pencerahan Rohani Nabi Daud AS

Dikisahkan dalam Al Qur’an bahwa Nabi Daud AS telah mendapatkan pengalaman Mi’raj Rohani setelah ia dapat menundukan Gunung-gunung dan burung-buru.

“….dan ingatlah hamba Kam Daud yang mempunyai kekuatan/ilmu; sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya”.

“Sesungguhnya Kami menundukan gunung-gunung yang bersama pula burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masing taat kepada Allah”. (QS Shaad 38 : 17 – 19)

Prosesi Pencerahan Rohani Nabi Hud AS

Dikisahkan dalam Al Qur’an bahwa Nabi Hud menyeru kepada kaumnya agar bertobat supaya mendapatkan turunnya air hujan.

“Dan kepada kaum “Ad, kami utus saudara mereka Hud. Ia berkata : “Hai kaumku, sembahlah Allah sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanya mengira-ngira saja selama ini dalam menyembah-Nya”.

“Dan dia berkata : “Hai kaumku, mohonlah ampunan kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan air hujan yang sangat deras atasmu, dan dia menambahkan kekuatan kepadamu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”. (QS Huud 11 : 50,52)

Prosesi Pencerahan Rohani Nabi Musa AS

Dikisahkan dalam Al Qur’an bahwa Nabi Musa belajar kepada Nabi Khaidir, setelah belajar Nabi Musa bermunajat di Gunung Thursina sampai akhirnya ia mendapatkan pengalaman Mi’raj Rohani di Gunung Thursin tersebut, begitu pula dengan para muridnya.

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa untuk mendapatkan Wahyu sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh malam lagi, maka semurnalah waktu yang ditentukan Tuhannya empat puluh malam.

“…dan berkatalah Musa : “Ya Tuhanku, perlihatkanlah wujud Engkau kepadaku agar aku dapat melihatmu”. Tuhan berfirman :”Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika posisi gunung itu seperti yang dahulu/tidak berubah, niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhan nampak di gunung itu, kejadian itu membuat gunung tersebut hancur luluh dan Musa jatuh pingsan. Maka setelah sadar kembali, dia berkata : “Maha Suci Engkau, akan bertaubat kepada Engkau dan aku sekrang akan beriman kepada Engkau”. (QS Al A’raaf 7 : 142 – 143).

“Musa berkata kepada kerabatnya :“Sesungguhnya aku telah melihat Api. Aku juga membawa kabar/petunjuka serta aku akan menunjuki Api itu kepadamu, agar kamu berdiang”. (QS An Naml 27 : 7).
“Maka tatkala Musa semakin dekat dengan Api itu diserulah dia dari arah pinggir Lembah Yang Diberkati, dari Sebatang Pohon Kayu Hijau yaitu : “Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta Alam”. (QS Al Qashash 28 : 30).

“… maka tanggalkan kedua terompahmu sesungguhnya kamu berada di Lembah Suci Tuwa”.

“dan Aku telah memilih dirimu untuk-Ku, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan “Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Thaahaa 20 : 12-14)

“Dari api itu pula ia disetu : “Bahwa telah diberkati orang-orang yang sangat dekat dengan Api itu dan juga orang-orang yang berada di daerah sekitarnya. Dan Maha Suci Tuhan Semesta Alam” (QS An Naml 27 : 8).

Secara simbolis telah dijelaskan di dalam Al Qur’an metode Pencerahan Ruhani yang telah dipraktekan oleh Nabi Musa, yairu :

“Hai Musa, perhatikan apakah yang ada di tangankamu?”. (QS Thaahaa 20 : 17).
Berkata Musa : “Ini adalah peganganku, aku bersandar padanya dan aku pukul kambingku dengannya dan bagiku masih banyak lagi yang aku perlukan daripadanya”. (QS Thaahaa 20 : 18).

“lalu diperlihatkannya pengangannya itu, maka tiba-tiba ia menjadi terbesar dengan cepat bagaikan ular yang merayap”.

Allah berfirman : “Peganglah ini erat-erat dan janganlah takut, karena Kami akan mengembalikannya dalam keadaan/kejadian semula”.

“Dan kepitkanlah tanganmu ke lehermu, niscaya ia akan menjadi Cahaya Putih Yang Cemerlang tanpa cacat, sebagai mijizat”. (QS Thaahaa 20 : 20-22).

‘Ulurkan tanganmu ke atas lehermu, niscaya akan keluar Cahaya Putih Yang Sempurna dan terus rapatkan kedua tanganmu bila kamu merasa takut. Maka yang demikian itu adalah dua mujizat dari Tuhanmu….”. (QS Al Qshash 28 : 32).

“Untuk kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”. (QS Thaahaa 20 : 23).
“Dan ingatlah ia berkata : “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepada Tuhanmu sebelum kami melihat Allah dengan nyata….”
(QS Al Baqarah 2 : 55).

“Dan Musa berkata kepada pengikutnya : “Bertaubatlah kalian kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah jalan terbaik bagimu disisi Tuhan yang menjadikannmu”.

“….kemudian kamu (para pengikut nabi Musa) disambar Cahaya Kilat, dan kamu menyaksikannya”. “Setelah itu kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur”. (QS Al Baqarah 2 : 54-56).

“Dan telah Kami angkat ke atas kepala mereka Gunung Thursina sesuai dengan perjanjian mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka : “Masukilah Pintu Gerbangnya dengan sujud….” (QS An Nissa 4 : 154).

“dan ingatlah ketika Kami mengangkat Gunung Thursina ke atas mereka, dan bukit itu berubah bagaikan naungan awan dan mereka yakin bukit itu akan mendekati mereka. Dan kami katakana kepada mereka “ : Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu apa yang terlihat di dalamnya, supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa”. (QS Al A’raaf 7 : 171).

“Dan ingatlah ketika Musa memohon Air untuk para pengikutnya, lalu Kami berfirman : “Pukullah Gunung itu dengan penganganmu”. Lalu memancarlah dari padanya dua belas mata air ….” (QS Al Baqarah 2 : 60).

“Dan Kami naungi kamu dengan awan dan Kami turunkan kepadamu “Manna” dan Salwa”. Nikmatilah apa yang Kami berikan itu dengan sebaik-baiknya”. (QS Al Baqarah 2 : 57).

“….dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya minta Air kepadanya : “Pukullah Gunung Itu dengan penganganmu!” “Maka memancarlah dua belas Mata Air. Sesungguhnya setiap orang mempunyai mata air masing-masing. Dan dinaungkan di atas mereka awan putih dan Kami turunkan kepada mereka “Manna” dan “Salwa”. Seraya Kami berfirman : “Nikmatilah apa yang kami rezekikan kepadamu dengan sebaik-baiknya”. (QS Al A’raaf 7 : 1160)

Prosesi Pencerahan Rohani Nabi Sulaiman AS

Dikisahkan dalam Al Qur’an bahwa Nabi Sulaiman yang telah menjadi Ahli berusaha mengajak orang muridnya yang bernama Ratu Bilqis dari Negeri Saba’, yang pada akhirnya berhasil mencapai Mi’raj Rohani dalamw aktu yang relatif singkat.

“Berkatalah Sulaiman “hai para pembesar/penasehatku siapakah diantara kamu sekalian yang sanggup membawa SingsanaNya kepadaku karena aku belum termasuk orang-orang yang berserah diri”. (QS An Naml 27 : 39).

“Berkatalah seorang yang mempunyai Ilmu Al Kitab : Aku akan membawa Singsana itu kepadamu dalam sekejap mata”. “Maka tatkala Sulaiman melihat Singsana kaca itu terletak dihadapannya, iapun berkata : “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari ini”. (QS An Naml 27 : 40).

Di dalam Al Qur’an juga dikisahkan secara simbolis tentang proses perjalanan Ratu Bilqis mencapai Mi’raj Ruhani dengan tuntunan dari Nabi Sulaiman :
“Dikatakan kepadanya (Ratu Bilqis) : “Masuklah ke dalam Istana”. Maka tatkala dia melihat lantai Istana Kaca itu, dikiranya kolam Air yang besar berkilau dan disingkapkannya kedua betisnya”. Berkatalah ia : Sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku selama ini, dan aku saat ini berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan Semesta Alam. (QS An Naml 27 : 44).

Prosesi Pencerahan Rohani Ashabul Kahfi

Dalam Al Qur’an telah dikisahkan para pemuda yang beruzlah ke dalam sebuah Gua yang bernama Gua Kahfi untuk mendapatkan pengalaman Mi’raj Rohani di mana kisah tersebut diceritakan dalam bentuk ayat-ayat mutasbihat yaitu sebagai berikut :

“…bahwa orang-orang yang mendiami gua dan raqim termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengagumkan”.

“Yaitu tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lal mereka berdoa : “Wahai Tuhan Kami berikanlah Rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan berikanlah Rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan berikanlah bagi kami Jalan Lurus dalam perjalanan ini”. (QS Al Kahfi 18 : 9-10).

“Maka kami tutup telinga mereka selama di dalam gua itu”. 
(QS Al Kahfi 18 : 16-17)

“…dan (ketika) berlindung ke dalam gua itu, Tuhan melimpahkan sebagian Rahmat-Nya kepada mereka dan menyediakan “sesuatu” yang berguna dalam urusan mereka”.

“Dan kamu akan melihat Cahaya Matahari terbit dari sebelah kanan gua dan tenggelam di sebelah kiri gua mereka sedang mendapatkan “tempat Yang Luas” dalam gua itu. Itu adalahtanda-tanda Kebesaran Allah….”. (QS AL Kahfi 18 : 16 – 17).

Dan demikianlah Kami bengunkan mereka agar mereka saling bertanya/berdiskusi diantara mereka sendiri. Berkata seorang diantara mereka : “Susah berapa lamakah kamu berada di sini?”.

Mereka menjawab : “Kita berada di sini sehari atau setengah hari”. Berkata yang lainnya lagi : “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada di sini. Maka serulah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah dia melihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah di membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembaut/berhati-hati/waspada dan jangalah sekali-kali menceritakan perihalmu kepada seorangpun”.

“(Karena) sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu dan memaksamu kembali kepada agama mereka dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya”. (QS Al Kahfi 18 : 19-20)

Prosesi Pencerahan Rohani Nabi Isa AS

Dalam Injil dikisahkan tentang proses perjalanan nabi Isa dalam mencapai Mi’raj Rohani, yaitu ketika ia di baptis oleh Yohanes dengan cara ditengelamkan ke dalam sungai Yordan. Kisah ini diabadikan dalam Injil.

“Pada waktu itu datanglah Yesus/Isa dari Nasaret di tanah Galilea, dan dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes. Pada saat itu ia ditenggelamkan dalam air, ia melihat Langit terdekat terkoyak dan Roha Kudus seperti burung merpati putih turun di atas kepalanya. Lalu terdengarlah suara dari Surga : ‘Engkaulah Anak yang Kukasihi, kepadamulah Aku berkenan”. (Injil, Markus 1 : 9 – 11).

Di dalam Injil juga dijelaskan secara simbolis metode Mi’raj Ronai yang dipraktekan oleh Nabi Isa dan para pengikutnya :

“Apabila kamu hendak bersembahyang, masuklah ke kamar dalammu dan pintu-pintumu hendaknya dikunci, bersembahlah kepada Tuhanmu yang terlihat dan tersebunyi itu, kepadamu akan meluluskan (mensyahkan sembayangmu)”. (Injil, Matius 6 : 6).

“Tatkala mereka turun dari atas “Gunung” itu berpesanlah Yesus kepada mereka (para pewarisnya yang baru dibaptis) : Janganlah kamu mengatakan “Penglihatannmu” itu kepada seorang juapun sebelum manusia itu bangkit dari mati”. (Injil Matius 17 : 6).

“Yesus berkata : “Sesungguhnya aku berkata kepadamu, kalau kamu tiada berbalik seperti “bayi”, sekali-kali tiada kamu mampu masuk ke dalam Kerajaan Allah”. (Injil, Matius 18 : 3).

Sampai saat ini, di dalam ajaran Kristiani terdapat metode Mi’raj Rohani yang disebut Pembaptisan dengan cara diselamkan ke dalam kolam yang berisi air, yang dibimbing oleh seorang Pendeta di dalama sebuah gereja.

Di dalam Al Qur’an juga dikisahkan seacra simbolis proses Mi’raj Rohani dari seorang wanita Suci yang bernama Siti Maryam Ibu Kandung dari Nabi Isa As :

Dan tersebutlah kisah Maryam di dalam Al Qur’an, yaitu ketika menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebalah Timur”. (QS Maryam 19 : 16).

“Ketika akan melahirkan kandungannya ia merasa sakit dan memaksa ia bersandar pada Pangkal Pohon Korma, ia berkata : “Alangkah baiknya jika aku dapat mati saat ini sehingga aku dapat melupakan dan dilupakan seperti barang yang tidak berarti”.

“Maka Jibril menyerunya dari tempat rendah : “Jangalah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu akan menjadikan Anak Sungai di bawahmu”.

“Dan dekatkanlah pangkal Pohon Korma itu ke arah mukamu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah korma yang masak kepadamu”.

“Maka makanlah dan minumlah dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu bertemu dengan seorang manusia (dan bertanya tentang hal ini), katakanlah : “Sesungguhnya, aku telah berjanji kepada Tuhan Yang Maha Pemurah untuk berpuasa serta tidak akan berbicara pada hari ini dengan seorang manusiapun”. (QS Maryam 19 : 23 – 26).

Demikianlah kisah nabi Isa dan Siti Maryam dalam mendapatkan pengalaman Mi’raj Rohani menemui Cahaya Allah yang diabadikan dalam Al Qur’an dalam bentuk-bentuk kalimat Mutasyabihat.

Prosesi Pencerahan Rohani Nabi Muhammad Sebagai Nabi Penutup.

Proses pengalaman Mi’raj Rohani Nabi Muhammad SAW terjadi ketika beliau beruzlah di Gua Hira pada lereng Gunung Cahaya (Jabal Nur). Proses pencerahan Rohani beliau telah dikisahkan secara sim bolis sebagai berikut :

Pada malam 17 Ramadhan bertepatan dengan tanggal 6 Gustus 610 Masehi diwaktun Nabi sedang bertafakur di Gua Hira datanglah Jibril dan berkata kepada Nabi :”Bacalah”. dengan terperanjat Muhammad SAW menjawab : “Aku tidak dapat membaca”. Beliau lalu didekap beberapa kali oleh Jibril sehingga nafasnya sesak. Lalu dilepaskan olehnya seraya disuruh membaca sekali lagi “Bacalah” . Tetapi Muhammad SAW masih menjawa : “Aku tidak dapat membaca”. Begitu berulang kali dan akhirnya Muhammad SAW berhasil membaca Kitabullah pada malam itu.

Setelah peristiwa Mi’raj Rohani tersebut beliau pulang ke rumah dan kepada istrinya Siti Khadijah diminta untuk menyelimuti beliau. Para sahabat Nabi Muhammad SAW mendapatkan pengalaman Mi’raj Rohani dalam waktu yang singkat yaitu mereka dapat menamatkan Kaji Kitab Sejati dalam semalam, yang tentunya dibimbing oleh Nabi Muhammad SAW. Kisah tersebut dapat dilihat dalam sebuah hadits di bawah ini :

“Sayyidina Ali bin Abi Thalib bertanya kepada Nabi Muhammad SAW : “Ya Rasulullah, manakah Jalan/Tarekat yant sedekat-dekatnya kepada Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan semulia-mulianya di sisi Allah?”.

Rasulullah SAW bersabda : “Ya Ali, engkau harus senantiasa berdzikrullah (Dhawamudzikri)”. Kemudian beliau melanjutkan : Ya Ali, Qiyamat tidak akan terjadi sampai tidak ada lagi di atas permukaan bumi orang yang mengucapkan Allah”.

Lalu Ali bertanya lagi kepada Rasulullah : “Bagaimana caranya aku berdzikir kepada Allah, ya Rasulullah?”. Maka Rasulullah bersabda : “Tutuplah inderamu dan dengarkanlah apa yang aku ucapkan”. Maka sejenak Rasulullah berdzikir : “La ilaahaillallah” tiga kali, dalam keadaan indera tertutup.

Kemudian Ali pada saat itu ikut berdizikir : “La ilaahaillallah”. Seperti yang dilakukan Rasulullah.
Dalam sejarah risalah Islam juga dikisahkan tentang pengajaran rahasia-rahasia keIllahi-an oleh Rasulullah yang diajarkan kepada para sahabat di dalam Baitullah, dan pengajaran ini bertujuan untuk menyaksikan Nur Allah yang diawali dengan menutup Pintu Hawa Nafsu. Proses tersebut dijelaskan oleh Rasulullah SAW secara simbolis dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim dan Ya’al bin Syidad.

“Tatkala aku berada di sisi Rasulullah SAW, tiab-tiba beliau bertanya : “Adakah orang asing diantara kamu?” Lantas beliau memerintahkan supaya pintu ditutup, sesudah beliau masuk bersama beberapa sahabat lainnya. Menurut lafadz Bukhari dalam Kitab Shahih Bukhari tepatnya pada Bab “MENUTUP PINTU” telah dijelaskan bahwa Rasulullah SAW masuk ke dalam Baitullah kemudian beliau Menutup Pintunya ma’rifat dengan menghadap ke mana saja yang disukainya. Sanad hadits tersebut sampai Abdullah bin Umar :

“Rasulullah SAW telah memasuki Baitullah bersama dengan Usamah bin Zaid, Bilal dan Usman bin Abu Thalhah. Mereka Menutup Pintunya. Tatkala mereka telah Membuka Pintunya, sayalah orang yang pertama yang menjumpainya dan kutanyakan kepada bilal : “Apakah Rasulullah SAW telah Sahalat di dalamnya?” Bilal menjawan : “Ya benar,diantara Dua Tiang dengan arah ke Yaman”.

Imam Nawawi dalam Kitabnya yang berjudul Syarah Muslim juga menerangkan bahwa yang Menutup Pintu adalah Rasulullah sendiri dengan maksud supaya lebih tenang kalbunya dan lebih khusyu’ dalam menyaksikan Nur Allah dalam shalatnya ketika beliau berada di dalam Baitullah.

Dalam dunia Tarekat, Prosesi Menyaksikan Nur Allah dengan cara ujuh PiMenutup Tntu Hawa Nafsu sering disebut dengan istilah “Dzikir Penutup” atau “Dzikir Khatam”. Khusus untuk Tarekat Naqsyabandiyah, Dzikir Penutup ini lebih dikenal dengan istilah “Khatam Khawajakan”. Dalam sejarah Ilmu Tasawuf juga terdapat kisah seorang Sufi Besar yang bernama Syeikh Abdul Khaliq Al Ghadjuwani bin Al Imam Abdul Jalil yang menenggelamkan dirinya ke dalam air sambil menutup Tujuh Pintu Hawanafsunya ketika beliau ingin menyaksikan Nur Allah.

Begitu pula di Nusantara juga terdapat kisah para Wali Tanah Jawa yang menutupi Pintu Hawa Nafsu ketika mereka sedang melakukan Laku Musyahadah Nur Allah atau Laku Menyaksikan Nur Allah. Mereka itu antara lain Kyai adalah Wali Songo, Pangeran Diponegoro, Kyai Prana Jati, Kyai Kahfi, Kyai Hajar Padang, Kyai Bantar Jati, Kyai Ageng Nitiprana, Kyai Empu Penitis dan masih banyak lagi Para Wali yang melaksanakan praktek tersebut.

Praktek Menutup Pintu Inderawi dalam rangka untuk menyaksikan Nur Allah di Baitullah Sejati yang berada di setiap Qalbu orang Mukmin sebenarnya merupakan metode yang diwariskan dan dicontohkan oleh semua Para Nabi dan Rasul dan Para Pewarisnya tetapi metode tersebut lebih diperjelas dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad Saw. sehingga beliau diberi gelar sebagai Nabi Penutup atau Khatam Al Anbiya. Makna hakekat dari Nabi Penutup adalah pertama, Nabi Muhammad Saw adalah Nabi yang menutup semua para Nabi, karena tidak ada lagi Nama Nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Kedua, Nabi Muhammad adalah seorang Nabi yang menyempurnakan Teknik atau metode Musyahadah kepada Nur Illahi, dengan cara menutup Pintu Hawa Nafsu yang dapat menghantarkan Ruhani Para Sahabat masuk ke dalam Baitullah Yang Sejati dalam waktu yang relatif sangat singkat. Hal ini terbukti ketika beliau berhasil mengkhatamkan kaji para Sahabat dalam waktunya hanya Satu Malam.

Metode atau teknik untuk Menyaksikan Nur Allah di dalam Baitullah Sejati dengan cara Menutup Pintunya, oleh Nabi Muhammad SAW secara rahasia telah diajarkan dan diwariskan hanya kepada para sahabat yang terpilih saja, yang kemudian terus diwariskan sampai saat ini secara rahasia, sehingga banyak umat Islam yang tidak mengetahuinya. Metode menutup Pintu tersebut pada awalnya sangat dirahasiakan sekali oleh Rasulullah SAW, sesuai dengan sabda beliau “janganlah engkau berikan Ilmu bermanfaat ini kepada orang yang tidak membutuhkan, karena hal ini adalah perbuatan Zalim. Tetapi janganlah engkau tidak berikan Ilmu bermanfaat ini kepada orang yang membutuhkan, hal itu juga adalah perbuatan Zalim”.(Al Hadits)

Para sahabat terpilih mempraktekkan metode Menutup Pintu tersebut, dengan sembunyi-sembunyi dan tidak terlihat oleh orang asing atau orang lain yang belum menerima metode tersebut sehingga wajar apabila banyak umat Islam pada saat itu yang tidak mengetahui metode untuk menyaksikan Nur Allah di Baitullah Sejati dengan cara Menutup Pintu yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW.

Tetapi pada perkembangan selanjutnya, metode praktis menemui Allah tersebut diajarkan secara luas oleh para sahabat, dengan didasari dalil :

”Diceritakan oleh Abu Hurairah, ”Orang mengatakan, Abu Hurairah, paling banyak meriwayatkan hadits. Kalau tidaklah karena dua ayat dalam Al Qur’an, niscaya saya tidak akan meriwayatkan hadits. Kemudian dia membaca Surat Al Baqarah 2:159-160 : ”Sesungguhnya mereka yang menyembunyikan keterangan dan pimpinan yang Kami turunkan sesudah kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab, mereka itu dikutuk oleh Allah dan oleh orang-orang yang turut mengutuk. Kecuali mereka yang tobat, mengadakan perbaikan, dan menjelaskan kembali keterangan-keterangan Allah; maka tobat mereka itu akan Ku-terima, Aku Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

”Lalu Abu Hurairah meneruskan, ”Saudara-saudara kita Para Muhajirin sibuk dengan perniagaan mereka di pasar-pasar, dan saudara-saudara kita kaum Anshar sibuk dengan urusan harta kekayaan mereka masing-masing. Tetapi saya selalu mengikuti Rasulullah ke mana-mana; di samping saya dapat memenuhi kebutuhan perut saya, saya pun dapat menghadiri ceramah-ceramah (pengajian-pengajian) Nabi yang mereka tidak dapat hadir, serta menghafal apa yang mereka tidak dapat hafal”. (HR Bukhari)

Tetapi yang sangat disesalkan adalah ketika mereka diberitahu, justru malah menolak dan memvonis bahwa ajaran Menutup Pintu tersebut adalah ajaran sesat. Mengenai hal ini, Rasulullah Saw. sudah memperkirakannya, yaitu dengan turunnya Firman Allah dalam Surat :

“Dan kamu mengira mereka itu bangunan padahal mereka itu tidur, dan Kami balik-balikan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka menjulurkan kedua lengannya ke muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kalian akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi dengan ketakutan (tanda Tanya) terhadap mereka”. (QS Al Kahfi 18 : 18)

“Saya hafal dua kitab hadits. Yang satu kitab telah saya siarkan, sedangkan yang satu kitab lagi kalau saya siarkan niscaya dipotong orang leherku “. ( HR Bukhari)

“…….. janganlah sekali—kali menceritakan hal ini kepada seorangpun”. (QS Al Kahfi 18 : 19)

“……... janganlah kamu ceritakan hal itu kepada saudara-saudaramu, karena mereka akan menganiaya dirimu ……” (QS Yusuf 12 : 5)

“Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui perihalmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu (mencaci maki) atau memaksamu kembali kepada keyakinan mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung untuk selama-lamanya”. (QS Al Kahfi 18 : 20).

Demikianlah beberapa kisah Para Nabi, Para Rasul, Para Tokoh Agama, Para Pelaku Pencerahan Rohani yang tercatat dalam Kitab-kitab Suci dan dalam sejarah keagamaan umat manusia. Dari beberapa kisah simbolis tersebut, sebenarnya dapat ditarik kesimpulan yang sama, yaitu :

1. Prosesi Menemui dan Menyaksikan Nur Allah, di awali dengan beruzlah atau mengasingkan diri dari keramaian Hawa Nafsu dunia dan lahiriah.
2. Prosesi Pencerahan Rohani Untuk Menemui dan Menyaksikan Nur Allah, selalu diawali dengan proses mematikan fungsi-fungsi Inderawi dengan berbagai macam simcol-simbol lakunya.
3. Prosesi Pencerahan Rohani Untuk Menemui dan Menyaksikan Nur Allah, yang dikisahkan dalam Kitab-kitab Sucinya, selalu menggunakan istilah : “Menutup Pintu”, “Memegang Gunung”, “Menenggelamkan diri ke dalam air”, “Beruzlah ke dalam Goa”, “Berkorban”, “Naik ke atas Gunung”, dan lain sebagainya, yang semua itu mempunyai makna simbolis yang berkaitan dengan Proses Mematikan Tujuh Pintu Hawa Nafsu

Jumat, 07 Oktober 2016

Keragaman Bahasa Dalam Menyebut Nama Tuhan

A. PENDAHULUAN

Kadang kita terlalu cepat ‘memagari diri’ dari istilah-istilah yang kita anggap tidak berada dalam domain yang sama dengan agama kita. Terlalu cepat ‘mengkafirkan’. Bukan mengkafirkan orang lain, tapi mengkafirkan bahasa (lain). Dengan memagari diri seperti ini, apalagi dengan didahului prasangka, maka dengan sendirinya kita akan semakin sulit memahami hikmah kebenaran yang Dia tebarkan di mana-mana.

Padahal, dalam Qur’an pun Allah menjelaskan bahwa keragaman bahasa adalah tanda dari-Nya juga.

“Dan diantara ayat-ayatnya ialah menciptakan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat bagi orang-orang berilmu (’Alimiin).” Q.S. 30 : 22.

Jika ada orang menyebut tuhannya sebagai Yehovah, Eloh, Eloheim, atau Adonai, mekanisme dalam pikiran kita mendadak seperti mencipta imaji-imaji bahwa ada banyak tuhan yang sedang berjejer, sesuai urutan sesembahan yang ada sepanjang masa. Ada tuhan yang disebut Yehovah, Eloheim, Jahveh, Brahma, Manitou, Zeus, Allah, Tuhan Alah, dan lain sebagainya. Sedangkan yang kita sembah adalah yang disebut Allah, yang lainnya bukan, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tuhan kita dan agama kita. Pokoknya thoghut, atau kafir.

Benarkah begitu? Bukankah Tuhan hanya satu? Bukankah ‘Laa ilaaha Ila’Llah’ artinya tiada Tuhan selain Allah? Wallahu ‘alam, meski kita mengerti bahwa Tuhan hanya satu, tapi kita belum mengetahui secara total makna lahiriyah maupun batiniyah dari kalimat syahadat itu. Tapi setidaknya, bukankah cara berfikir yang seperti tadi juga berarti bahwa tanpa sadar pikiran kita telah menyejajarkan Dia dengan selain-Nya? Atau, secara halus dan tersamar sekali, itu artinya kita masih mengakui bahwa ada banyak entitas dalam satu himpunan tuhan, dan Allah adalah salah satu dari yang ada dalam himpunan itu. Bukankah itu keterlaluan?

Istilah ‘Allah’ sudah ada sejak sebelum Al-Qur’an turun. Sebelum junjungan kita Rasulullah menerima wahyunya yang pertama, bangsa Arab sudah menggunakan kata- kata ‘demi Allah’ jika mengucapkan sumpah. Hanya saja, mereka juga sering menyebut nama patung-patung mereka, ‘demi Lata’ atau ‘demi Uzza’, ‘demi punggung istriku’, atau bahkan ‘demi kuburan ibuku’, dalam sumpah mereka.

Kapan istilah ‘Allah’ pertama kali dikenal manusia? Tidak tahu persis. Diperkirakan tidak akan jauh dari periode kemunculan agama Islam yang dibawa Rasulullah di tanah Arab. Tapi apakah berarti, pada periode sebelum itu, Allah diam saja di langit sana, dan tidak memperkenalkan diri-Nya? Kita sering bertanya dalam diri, misalnya dengan nama apa Allah mengenalkan diri-Nya pada nabi Ya’kub as dan nabi Musa as, nabi bangsa Bani Israil? Karena pada kenyataannya, bangsa yahudi sekarang tidak menyebut nama-Nya dengan sebutan ‘Allah’ yang sesuai dengan bahasa Arab.

Kitab suci dari Allah yang kita kenal ada empat: Taurat, Zabur, Injil, dan kitab penutup dan penyempurna semuanya, Al-Qur’an. Taurat, atau Torah, turun kepada Nabi Musa as. Karena Musa adalah orang Bani Israil, tentu kitab yang turun pun berbahasa mereka, Ibrani. Demikian pula Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Semua turun dan disampaikan dengan bahasa penerimanya.

Jadi, apakah salah jika orang yang kebetulan beragama lain, menyebut nama Allah dengan nama yang turun pada bahasa kitab mereka? Apakah itu Tuhan yang lain? Belum tentu. Sekali lagi, kita tidak boleh terlalu cepat ‘mengkafir-kafirkan’, termasuk mengkafirkan bahasa dan istilah.

Ada banyak sekali irisan kemiripan bahasa-bahasa agama dalam sejarah. Sebagai contoh, nama ‘Allah’, sangat mirip dengan ‘Eloh’. Dalam kitab-kitab Ibrani, Tuhan disebut sebagai ‘Eloheim’. Dari asal kata ini, kita mengerti misalnya arti kata ‘betlehem.’ Dari asal katanya, Bethel dan Eloheim. ‘Bethel’ bermakna rumah, dan ‘Eloheim’ adalah Allah. Rumah Allah. Jika demikian, apa bedanya kata ‘Betlehem’ dengan ‘Baitullah’?

Juga ‘Yehova’ atau ‘Yahwe’, sangat mirip dengan ‘Ya Huwa’, Wahai Dia (yang tak bernama). Yang agak ‘mencurigakan’, adalah inti ajaran Socrates, ‘Gnothi Seauthon’, yang artinya adalah ‘Kenalilah Dirimu.’ Dari segi makna, ini sangat mirip dengan inti hadits yang sering diulang-ulang oleh para sahabat Rasulullah maupun para sufi terkemuka, ‘man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu,’ mereka yang ‘arif tentang dirinya, akan ‘arif pula tentang Rabb nya.’ Esensinya sangat mirip: mengenal diri. Dan sebuah fakta yang tak kalah menariknya, sejarah mencatat bahwa Socrates adalah guru dari Plato, Plato guru dari Aristoteles, dan Aristoteles adalah guru dari Alexander of Macedon. Sosok yang terakhir ini oleh sebagian ahli tafsir disamakan dengan Iskandar Dzulqarnayn, sosok panglima yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an.

Makalah ini tidak sedang mengatakan bahwa semua tuhan sama saja, yang berbeda hanya namanya. Atau dewa pada tiang totem yang disembah bangsa indian apache adalah Allah juga. Bukan begitu. Makalah ini hanya mengatakan bahwa kita sebaiknya jangan terlalu ‘alergi’ dengan kata-kata agamis dari agama lain. Kita harus berhati-hati sekali untuk ‘mengkafirkan’ istilah. Sebab kalau ternyata salah, maka artinya kita ‘mengkafirkan’ sebuah hikmah atau sebuah tanda dari-Nya. Maka kita akan semakin jauh saja dari kebenaran.

Bukankah Allah pasti menyebarkan jejak-Nya di mana-mana, sepanjang zaman? Dan jangan berfikir bahwa Allah hanya pernah dan hanya mau ‘muncul’ di agama kita saja. Ini berarti kita, sebagai makhluk, berani-berani menempatkan Allah dalam sebuah himpunan, ke sebuah konsep di dalam kepala kita. Himpunan deretan tuhan, atau himpunan kelompok agama.

Allah adalah Tuhan. La Ilaha Ilallah. Dia ada di luar himpunan apapun. Dia tak beragama, dan tidak memeluk agama apapun. Karena itu, kita jangan berfikir, baik sadar maupun tidak, bahwa Allah ‘beragama Islam’.

Agama diciptakan-Nya sebagai jalan untuk memahami-Nya, memahami kehidupan, dan memahami diri ini. Segala sesuatu Dia ciptakan dan Dia akhiri. Maka Allah adalah sumber dan akhir segalanya. Dua asma- Nya adalah ‘Al-Awwal’ dan ‘Al-Akhir’. Ini pun sebuah kebetulan yang menarik, karena bangsa Yunani kuno, bangsanya Socrates dan Plato, eyang guru dari Alexander tadi, juga menyebut salah satu nama yang dimiliki Tuhan mereka sebagai ‘Alpha Omega’, berarti ‘Yang Awal dan Yang Akhir’ (Alpha = Alif = huruf awal dalam alfabet yunani dan arab, simbol ‘awal’; sedangkan Omega = huruf terakhir dalam alfabet yunani, simbol ‘akhir’). Kemiripan yang sangat menarik, ya?


B. Asma-asma Allah.

Allah, adalah sebuah zat, sebuah entitas, yang tertinggi. Tak terbandingkan, tak terukur, tak terperi. Lalu apakah kita, sebagai makhluk, memungkinkan untuk menempatkan Dia ke dalam kepala kita, menaruhnya ke dalam sebuah konsep ‘nama’? Tentu tidak. Dia, secara utuh, secara menyeluruh, secara real, sesungguhnya tak bernama. Tak ada apapun yang bisa membungkus-Nya, termasuk sebuah nama.

Lalu untuk apakah, atau nama-nama siapakah, yang berjumlah sembilan puluh sembilan sebagaimana diperkenalkan dalam Al-Qur’an, dan disusun sebagai ‘asma’ul husna’? Hal ini adalah bukti begitu penyayangnya Dia pada makhluknya yang satu ini, manusia.

Penjelasannya begini. Dia Yang Tertinggi jelas tak mungkin dibungkus atau terliputi oleh apapun, termasuk sebuah nama. Tapi Dia bersedia ‘menurunkan derajat-Nya’ demi supaya lebih dimengerti oleh manusia. Maka Dia memperkenalkan diri-Nya, bagi mereka yang ingin mengenal-Nya di tahap awal, dengan memisalkan dirinya dengan nama-nama sifat manusia. Memisalkan diri-Nya dengan nama-nama yang memungkinkan untuk dideskripsikan dalam bahasa manusia.

Ambil contoh, Ar-Rahmaan (Maha Pengasih) atau Ar-Rahiim (Maha Penyayang). Kita bisa memahami makna dua kata ini, karena nama sifat-sifat ini, pengasih dan penyayang, adalah nama sifat yang juga ada pada manusia. Tapi dari segi makna, kedua kata ini dalam memperkenalkan nama sifat-Nya sebenarnya telah mengalami degradasi makna yang amat sangat.

Maha Pengasih, atau Ar-Rahmaan, adalah ‘hanya’ bahasa manusia yang paling memungkinkan untuk menggambarkan salah satu sifat-Nya. Tapi kedalaman makna istilah ini telah berkurang jauh sekali, karena Dia, yang Tak Terperi, memisalkan diri-Nya dengan istilah manusia yang jelas tak memadai untuk melukiskan diri-Nya yang tak terbatas. Dalam asma’ul husna, misalkan istilah ‘Ar-Rahim’, sebenarnya ‘hanya’ merupakan sebuah istilah yang masih memungkinkan untuk bisa terpahami oleh manusia. Sifat Penyayang-Nya yang asli, yang real, yang tidak bisa dimisalkan dengan bahasa manusia, adalah jauh, jauh, jauh lebih penyayang lagi, melebihi apa yang tergambar pada sepotong kata ‘Ar-Rahim’.

Demikian pula untuk ke-98 asma asma Allah yang lain. Semua nama-nama tersebut, sebenarnya mengalami degradasi makna yang sangat jauh dari aslinya, demi supaya terpahami oleh kita, manusia. Sifatnya yang asli, tak terkira jauhnya melebihi apa yang mampu tergambarkan oleh sepotong kata dalam bahasa kita, manusia.

Allah telah berkenan ‘merendahkan diri-Nya’ ke dalam nama sifat-sifat manusia, yang jauh, jauh lebih rendah dari kedudukan-Nya yang asli. Ia bersedia dipanggil dengan bahasa kita. Ini sebuah bukti kasihsayang-Nya yang amat sangat. Bisakah kita membayangkan, misalnya ada seorang raja yang kerajaannya mencakup lima benua, lalu bersedia turun berjalan di pasar kumuh dan mau dipanggil dengan bahasa pasar, seperti ‘Lu’, ‘Sia’, atau ‘Kowe’? Raja tentu akan sangat murka. Tapi Dia, Allah, tidak. Meskipun Dia Maha Tinggi kedudukannya, tapi Dia bahkan bersedia memperkenalkan diri-Nya lebih dahulu (!), dan membahasakan diri-Nya dengan bahasa manusia, dan mencontohkan asma-Nya dengan sifat manusia.

‘Dia’ yang asli, sesungguhnya tidak bernama. Lalu istilah ‘Allah’ itu apa? Istilah itu ‘hanyalah’ bagian dari asma’ul husna, pada urutan yang pertama.

Istilah ‘Allah’, menurut seorang ahli hikmah, sebenarnya sebuah simbol juga. Menurutnya, istilah ‘Allah’, yang terdiri dari:

‘alif’, ‘lam’, ‘lam’ dan ‘ha’,

sesungguhnya merupakan singkatan dari kata bahasa Arab:

‘Al/Alif - li - li - hu/huwa’.

Alif, Lam, Lam, Ha

‘Al’ dalam bahasa Arab bermakna kata ganti tertentu, maknanya sama seperti ‘The’ dalam bahasa Inggris, atau seperti ‘El’ dalam bahasa Ibrani dan bahasa Spanyol. Maknanya, katakanlah, ’sesuatu’. Huruf ‘Alif’ bermakna ’sesuatu yang tegak’, ‘Allah’, atau bisa juga ‘yang mengawali’, mirip seperti alpha dalam aksara Yunani. Kata ‘Li’ dalam bahasa Arab bermakna ‘bagi sesuatu’, dan dalam lafaz ‘Allah’ kata ini diulang dua kali. Sedangkan ‘hu’ atau ‘huwa’ bermakna ‘Dia’.

Jadi lafaz ‘Allah’, kata yang di dalam Al-Qur’an paling sering dipakai-Nya untuk menyebut diri-Nya, sebenarnya sama sekali tidak mencakup keseluruhan zat-Nya. Lafaz ‘Allah’ sebagai simbol, sebenarnya justru mempertegas bahwa ‘Dia’ adalah tak bernama. Mengapa demikian? Karena jika makna ini dibaca secara keseluruhan, maka “Al, li, li, hu” kurang lebih maknanya adalah ‘Sesuatu, yang baginya diperuntukkan, dan sesuatu ini diperuntukkan, untuk Dia.” Jadi artinya secara sederhana adalah, ‘(simbol) ini diperuntukkan, dan permisalan ini diperuntukkan, untuk Dia (yang tak bernama).”

Dia yang asli, sebagai zat (entitas), sama sekali tak bisa diliputi oleh sebuah nama.


C. Hadits Rasulullah yang mengandung simbol serupa.

Kalau kita teliti dalam memperhatikan hadits berikut ini, kita akan mengerti bahwa Rasulullah bukan orang yang berkata dengan ‘pendapatnya sendiri’. Orang dalam tingkatan maqam seperti Rasulullan saw., tentulah setiap tindak tanduk dan perkataanya sudah sepenuhnya dalam bimbingan Allah swt. Tampak dari demikian akuratnya simbol-simbol yang digunakan, meskipun jika kita baca secara sepintas hadits ini sangatlah sederhana dan tidak bermakna dalam. Hanya kalau kita teliti, betapa dalam dan akuratnya simbol yang Beliau gunakan dalam kata- katanya.

Kita lihat hadits berikut ini:

Diriwayatkan dari riwayat Abu Hurairah ra.:

Para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah kami dapat melihat Tuhan kami pada hari kiamat?”

Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat bulan di malam purnama?”

Para sahabat menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”

Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat matahari yang tidak tertutup awan?”

Mereka menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”

Rasulullah saw. bersabda, “Seperti itulah kalian akan melihat Allah. Barang siapa yang menyembah sesuatu, maka ia kelak mengikuti sembahannya itu. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala.”

[HR. Muslim no. 267]

Sepintas, hadits ini hanya berisi tentang melihat Allah di hari kiamat. Tapi kalau kita teliti lebih jauh perumpamaan yang digunakan dengan kacamata ilmu astronomi yang pada saat Rasul mengatakan hadits tersebut ilmu ini belum semaju sekarang, sebenarnya hadits ini juga menjelaskan bahwa ada bagian dari ‘Dia’ yang tak akan bisa kita kenali. Kita cermati perumpamaan bulan purnama yang dipakai beliau dalam hadits ini.

Sebagaimana kita tahu, pada saat bulan purnama di langit malam yang cerah, kita bisa melihat bulan ’seluruhnya’. Kata seluruhnya ini saya beri tanda kutip, karena memang ’seluruhnya’ itu semu. Kita melihat –seakan-akan– bulan tampak seluruhnya dari mata kita. Kita, saat itu, seakan-akan bisa ‘mengenal’ bulan seluruhnya.

Di zaman modern ini, kita tentu mengetahui bahwa bulan adalah sebuah ’satelit,’ sebuah planet kecil yang mengelilingi bumi. Periode waktu rotasi bulan, sama persis dengan periode lamanya bulan mengelilingi bumi. Jadi, permukaan bulan yang menghadap bumi setiap saat adalah sisi yang sama persis, yang itu-itu saja. Tidak berubah.

Demikian pula, ada sisi lain di balik bulan yang akan selalu tidak tampak dari bumi, yang setiap saat akan selalu membelakangi bumi, tidak akan pernah terlihat dari bumi. Dengan kata lain, jika kita berdiri di sisi bulan yang terlihat dari bumi, maka meski bulan berotasi sambil terus mengorbit mengelilingi bumi, kita akan selalu terlihat dari bumi. Sebaliknya, jika kita berdiri di sisi bulan yang tidak terlihat dari bumi, maka kita tidak akan pernah terlihat dari bumi pula.


Inilah sebabnya, sejak zaman manusia pertama ada hingga sekarang, permukaan bulan yang tampak dari bumi kelihatannya tak pernah berubah, karena sisi yang menghadap bumi senantiasa merupakan sisi yang sama.

Di hadits ini, Rasul memisalkan Allah sebagai bulan purnama. Bulan, sebagaimana telah dijelaskan tadi, hanya ada satu sisi yang bisa terlihat oleh kita. Jadi, secara tersirat dalam hadits tadi, Rasulullah juga menjelaskan bahwa sesempurna- sempurnanya pengenalan seseorang akan Allah (seperti orang yang telah mencapai maqam para sahabat Beliau itu), sebenarnya barulah satu sisi dari Dia saja. Sisi yang memang Dia hadapkan sepenuhnya kepada manusia. Sisi inilah yang dalam bahasa agama disebut sebagai “Wajah-Nya.”

Tapi sampai kapan pun, akan tetap ada sisi lain dari Dia yang tidak akan pernah terpahami oleh manusia (karena Dia sesungguhnya Maha Tak Terbatas). Dan keseluruhan ‘Dia’ secara utuh, yang bisa dikenali dan yang tidak, dalam bahasa agama disebut “Zat-Nya,” atau entitas-Nya, secara keseluruhan.

Jadi sekarang kita bisa lebih memahami, jika dalam Al-Qur’an atau doa yang diajarkan Rasulullah mengandung kata-kata ‘wajah Allah’ atau ‘wajah-Nya (wajhahu)‘, maka itu bukan berarti bahwa Dia memiliki wajah di depan kepala seperti kita. Itu maknanya adalah, konteks ‘Dia’ dalam kalimat itu adalah pada sisi yang masih bisa kita kenali. Sedangkan Zat-Nya yang utuh tidak akan pernah bisa kenali.

Mengenai zat-Nya, Al-Qur’an sendiri cukup menerangkan seperti ini:

“…laysa kamitslihi syay’un”

“… dan tiada sesuatupun yang bisa dijadikan permisalan untuk Dia.” (QS. 42 : 11)

Rasul melarang manusia memikirkan zat-Nya, dalam sabdanya, “Berfikirlah kalian tentang makhluk Allah, dan jangan sekali-kali berfikir tentang zat-Nya, sebab kalian akan binasa.” Bahkan Beliau sendiri pun mengakui bahwa dirinya tidak memahami ‘Dia’ dalam konteks zat, sebab dalam sabdanya Beliau menjelaskan, “sesungguhnya aku adalah orang yang bodoh dalam ihwal zat Tuhanku.”

Kembali pada contoh bulan di atas. Bulan, sesuai periode edarnya, akan tampak dari bumi bermacam-macam bentuknya, mulai dari bulan hitam (bulan tak tampak), bulan hilal, bulan sabit, bulan setengah, hingga bulan purnama.

Sebenarnya demikian pula pengenalan manusia kepada Allah ta’ala. Ada yang tidak mengenal sama sekali (bulan hitam), ada yang pengenalannya setipis hilal, ada yang pengenalannya seperti bulan setengah, dan ada pula yang pengenalannya terhadap Allah telah ‘purnama’. Namun demikian, sebagai zat tetap saja Dia tidak akan pernah terpahami sepenuhnya oleh manusia, karena Dia adalah Maha Tak Terbatas.

Berbagai Wajah Bulan

Dari sini saja, kita bisa mengerti bahwa faham panteisme, atau menyatunya Tuhan dan manusia sebagaimana yang dituduhkan kepada kaum sufi, adalah tidak tepat. Tentu mustahil sesuatu yang tak terbatas bisa terlingkupi oleh sesuatu yang terbatas.

Agaknya yang dituduhkan pada kaum sufi sebagai panteisme atau penyatuan, sebenarnya yang terjadi adalah ’sirna kediriannya’. Contohnya seperti cahaya lilin yang akan lenyap cahayanya jika diletakkan di bawah cahaya matahari. Ini masih perlu kita kaji lebih lanjut. Atau paling tidak, agaknya tidak semua sufi meyakini panteisme.

Sekarang, dari cara Rasulullah memberikan contoh pada dalam hadits di atas, kita bisa lebih mengerti kira-kira sedalam apa akurasi hikmah dari kata-kata seseorang jika telah ada dalam tingkatan maqam seperti junjungan kita Rasulullah Muhammad saw. Tentu beliau tidak asal ambil contoh saja, seperti ketika kita sedang berusaha menerangkan sesuatu kepada orang lain. Sekarang semakin jelas pula bahwa segala sesuatu dari diri Beliau telah ditetapkan dalam bimbingan Allah ta’ala, bahkan sampai hal ’sepele’ seperti mengambil contoh yang tepat ketika menerangkan sebuah persoalan.

Juga sebagaimana hadits Rasulullah tadi, segala sesuatu dalam ciptaan-Nya pun tidaklah semata-mata hanya sebagaimana yang tampak dari luar. Allah tentu tidaklah sesederhana itu. Seperti hadits tadi, segala sesuatu juga mengandung makna batin. Alam semesta, bulan, bintang, batu, hewan, tumbuhan, manusia, syariat (ada syariat lahir dan tentu ada syariat batin), dan lain sebagainya. Sedalam apa seseorang melihat maknanya, tentu sangat tergantung pada kesucian qalbnya, sarana untuk menerima ilmu dari-Nya.

Kini kita bisa sedikit lebih mengerti pula, seperti apa kira-kira kesucian qalb Rasulullah saw, jika kata-kata Beliau mampu menyederhanakan kandungan makna yang sedalam itu (itupun baru yang bisa kita ungkapkan) dalam kesederhanaan simbol-simbol yang sangat akurat.

Kalau Al-Qur’an? Lebih tak bisa kita bayangkan lagi seperti apa sesungguhnya kedalaman kandungan makna Al-Qur’an.

(Suluk Blogsome)

Hakekat Iman, Islam dan Ihsan

Kita mengenal istilah Iman, Islam dan Ihsan, yang pada hakekatnya adalah suatu proses perjalanan pengalaman keberagamaan kita yang berjenjang dari tingkat Iman, terus ke tingkat Islam dan mencapai puncaknya ke Tingkat Ihsan.

Tingkat pertama yang harus dijalani adalah Tingkat Iman, yaitu dimana seseorang harus mengimani apa yang termaktub dalam rukun iman, yaitu iman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Hari Kiamat-Nya dan Takdir-Nya. Iman artinya percaya. Logikanya, keimanan atau kepercayaan itu akan tumbuh dalam diri seseorang, kalau dia sudah membuktikan apa yang di imaninya, inilah yang dinamakan Isbatul Yakin = Keyakinan berdasarkan bukti secara langsung.
Diantara kita kadang mengimani keberadaan rukun Iman itu, hanya berdasarkan kata-kata yang didengar melalui telinga, misalnya dari kecil kita sudah mendengar kata “Allah”, “Malaikat”, “Rasul” dan lain sebagainya, kemudian hal tersebut diyakini keberadaannya, padahal kita selama ini belum pernah melihat Allah, Malaikat-Nya dan Rasul-Nya. Inilah yang disebut dengan iman berdasarkan pendengaran. Sehingga pengalaman keberagamaan kita hanya sebatas pendengaran saja atau yang disebut dengan Agama Samawi. Oleh karena itu, marilah kita tingkatkan iman kita dari hanya sebatas mendengar ke tingkatan Iman berdasarkan Isbat, sehingga kita menjadi orang yang shaleh dalam bidang Spiritual.

”Dan diantara manusia ada yang menyembah Allah hanya sebatas Harf..” (QS 22 : 11)

Tingkat kedua yang harus dijalani adalah Tingkat Islam, yaitu dimana seseorang yang telah beriman kepada apa yang termaktub dalam rukun Iman berdasarkan Isbat, mulai menjalankan rukun Islam, yang termaktub dalam rukun Islam yaitu Syahadat, Sholat, Zakat, Shaum dan Haji. Islam mempunyai arti Damai, Pasrah dan Lunas Hutang. Semua ritual Islam itu pada hakekatnya adalah simbol-simbol yang menjembatani antara dunia spiritual/keimanan (Keshalehan Spiritual) dengan dunia Sosial/keihsanan (Keshalehan Sosial).

Diantara kita kadang ada yang melakukan ritual Islam yang termaktub dalam rukun Islam, hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban saja, sehingga hakekat tujuan akhir dari simbol-simbol ritual Islam tersebut, tidak tercapai. Misalkan, kita sering bersyahadat tapi bersyahadat palsu, bersholat tapi tidak terhindar dari perbuatan keji dan mungkar, berzakat, tapi tidak membersihkan (menzakatkan) diri dari sifat2 tidak terpuji. Bershaum, tapi tidak bisa menahan diri dari perilku negatif. Berhaji, tapi tidak berbuat kemabruran (Kebajikan). Sehingga akhirnya walaupun kita sering melakukan ritual rukun Islam dengan baik dan teratur, tetapi kita tidak juga menjadi orang yang baik (Ihsan). Oleh karena itu marilah kita, tingkatkan KeIslaman kita ketingkat yang lebih tinggi yaitu ke Tingkan Ihsan.

”Hai sekalian orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kafah......” (QS 2 : 208)

Tingkat ke tiga yang harus dijalani adalah Tingkat Ihsan, yaitu dimana seseorang yang telah beriman dan berislam yang termaktub dalam rukun iman dan rukun islam, mulai mengaplikasikan nilai-nilai keimanan dan keislamannya itu dalam hidup bersosial kemasyarakatan, dimana ia selalu berperilaku sebagai orang yang baik (muhsin) dengan mengikuti norma-norma yang berlaku dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara, dengan di dasari bahwa semua perilakunya selalu merasa seolah-olah di lihat Allah, sehingga ia malu kalau perilakunya melanggar hukum-hukum Allah. Orang yang sudah menjalani jenjang Iman, Islam dan Ihsan dengan sempurna, disebut dengan orang yang telah menjalani kehidupan agamanya dengan sempurna.

”....Pada hari ini telah Aku sempurnakan Ad Din-mu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridhoi Islam (Sejati) ini sebagai agamamu...” QS 5 : 3)

Kamis, 06 Oktober 2016

Hakekat Kafir, Munafik, Zhalim dan Fasiq

Nifaq = Noda Hitam. Munafiq = Tempat berkumpulnya Noda Hitam. Secara hakekat, Munafiq adalah Qalbu yang penuh dengan Noda Hitam, sehingga ketika Qalbu tersebut di hadapkan ke Arah Nur Ilahi, maka Nur Ilahi tidak Nampak dalam Qalbunya, kerena terhalang oleh Noda-Noda Hitam, sehingga menjadi gelaplah Qalbu tersebut. Oleh karena itu hindarilah diri kita dari kemunafiqan.
Zhulmah = Kegelapan, seakar kata dengan kata Zhalim. Secara hakekat,Zhalim mengandung arti Qalbu yang Gelap, sehingga Nur Ilahi tidak Nampak dalam Qalbunya, Oleh karena itu hindarilah diri kita dari kezhaliman.
Kafir = Tertutup. Secara hakekat, kata kafir mengandung arti Qalbu yang tertutup. Sehingga ketika Qalbu itu dihadapkan kepada Nur Ilahi, maka Nur Ilahi tidak Nampak dalam Qalbunya. Oleh karena itu hindarilah diri kita dari kekafiran.
Fasiq = tidak jujur. Secara hakekat, fasiq mengandung arti ketidak jujuran diri terhadap Qalbu sendiri. Qalbunya tidak bersyahadat (menyaksikan keberadaan) Allah dan Rasul-Nya, tetapi mulutnya berkata aku bersaksi. Sehingga kita menjadi orang yang bersyahadat palsu. Oleh karena itu hindarilah diri kita dari kefasiqan.

Janganlah Bersyahadat Palsu

Syahadat-musyahadah-syuhada-syahida artinya saksi, penyaksi, kesaksian, menyaksikan, bersaksi. Jadi syahadat artinya saksinya seorang penyaksi yang menyaksikan kepada siapa dia bersaksi. Kalau kita bersyahadat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita harus menyaksikan kehadiran Allah dan Rasul-Nya,kalau tidak menyaksikan, maka saksi kita adalah saksi palsu dan syahadatnya batal. Intinya syahadat bukan sekedar ucapan belaka tanpa disertai penyaksian, tetapi kesaksian yang muncul berdasarkan pengalaman langsung menyaksikan kepada siapa kita bersaksi. Sehingga kita benar-benar menjadi saksi mata bukan sekedar saksi kuping apalagi cuma saksi mulut.


“Dosa syahadat palsu sebanding dengan dosa menduakan Tuhan” (HR. Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majjah)

“Dosa-dosa yang paling besar ialah syirik kepada Allah, menyakiti kedua orang tua dan syahadat palsu”. Beliau masih terus mengulangi kata-kata itu, sehingga kami (para shahabat) berkata : “Kenapa beliau tidak mau diam?” (HR. Bukhari dan Muslim )

Janganlah kita menyepelekan dua kalimat syahadat yang selama ini kita anggap hanya sebatas kalimat yang harus dihafal dan diucapkan semata, karena tanpa dua kalimat itu maka keislaman kita tidaklah syah. Itulah faham yang selama ini ada dibenak kita, syahadat hanya sekedar sebuah kalimat simbol keislaman, namun pernah kah kita mau sedikit berfikir apa alasan yang mendasar sehingga syahadat itu diberikan posisi teratas dalam proses keislaman kita ?

Hakekat syahadat adalah persaksian, persaksian antara hamba dan Tuhannya. Mengapa harus ada dua kalimat ? karena jika hanya satu yang bersaksi maka pihak yang lain tak bersaksi, karena didalam syahadat itu ada dua pihak yang bersaksi, yaitu hamba dan Tuhannya. Dimanakah posisi kita dalam dua kalimat syahadat ? Hambakah ? ataukah Tuhan ?

Siapa yang bersaksi dan apa yang kita saksikan ? Disinilah asal muasal sebuah kalimat " jika engkau mengenal dirimu, maka engkau akan mengenal Tuhanmu tapi jika engkau sudah mengenal Tuhanmu, maka engkau akan jahil atas dirimu"

Ketika kita sudah jahil atas diri kita maka naiklah maqam kita ketingkat syahadat selanjutnya yaitu seperti yang terekam dalam surat 20 : 14

"Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku".

Rabu, 05 Oktober 2016

Membagi Amanah Kehormatan Kepada Semua Manusia Tanpa Membedakan SARA

Ada beberapa saat sebaiknya kita manfaatkan waktu sebaik-baiknya, dalam hal ini adalah agar waktu yang sedikit ini memberi manfaat kepada kita sebagai mukmin untuk merenung, dan Insya Allah, dalam perenungan itu ada nilai-nilai yang mempertajam Tauhid kita hanya kepada Allah SWT.

Marilah kita lihat kembali sejarah Islam yaitu ketika masyarakat kota Mekah bergotong royong membangun kembali Baitullah yang rusak akibat banjir yang melanda kota Mekah. Pada permulaannya mereka nampak bersatu dan bergotong royong mengerjakan pembaharuan Baitullah itu. Tetapi ketika sampai kepada soal peletakkan Batu Hajar Aswad ke tempat asalnya, terjadilah perselisihan sengit antara pemuka-pemuka Quraisy itu.

Pada saat yang kritis itu tercetuslah ide dari Muhammad SAW untuk menyelesaikan masalah tersebut sehingga mereka bersepakat untuk memutuskan bahwa siapapun yang datang dari arah tertentu dan orang itu merupakan orang yang pertama datang, maka dialah yang mempunyai kewajiban untuk mengangkat Batu Hajar Aswad ketempatnya semula.

Orang-orang mengatakan kebetulan tetapi menurut Allah dalam Al Qur’an “tidak ada yang sia-sia dan kebetulan”, tetapi semua yang terjadi sudah dirancang oleh Allah dengan sempurna. Hal ini sesuai dengan firman-Nya :

"Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia" ( QS Ali Imran 3 : 191)

Bukanlah suatu kebetulan jika yang pertama kali datang dari arah tertentu itu adalah Muhammad SAW. Maka kaum Quraisy menghimbau agar beliau mengangkat Batu Hajar Aswad ke tempatnya semula, namun demikian bijaksananya Rasulullah SAW dalam mensikapi himbauan tersebut. Beliau mengajak empat orang Pemuka Kabilah untuk mengangkat bersama-sama dengan Rasulullah SAW. Jadi ada lima orang yang mengangkat Batu Hajar ke tempatnya semula dengan cara menggunakan sorban Rasulullah SAW sebagai tempat untuk mengangkatnya. 

Mestinya ada suatu kebanggaan bagi Muhammad SAW, karena mendapatkan kesempatan mengangkat Batu Hajar Aswad tersebut dengan kedua belah tangannya tanpa memerlukan bantuan orang lain. Tetapi bagi Rasulullah SAW, suatu yang terhormat itu ingin dibagi kepada orang lain, agar mereka juga merasa terhormat. Tugas yang mulia itu tidak ingin dimiliki oleh Muhammad SAW sendiri, tetapi beliau juga menghendaki agar semua orang bisa memiliki tanggung jawab yang sama atas satu tugas yang begitu terhormat.

Ini nampaknya suatu hal yang biasa-biasa saja, tetapi kalau kita masuk kepada esensi kejadian tersebut, maka barulah kita paham bahawa itulah ciri jiwa besar seorang Muslim, seorang Muhammad SAW yang telah mendapatkan wahyu dari Allah SWT.

Marilah kita tengok di kanan-kiri kita, seorang Muslim yang demi mendapatkan suatu kesempatan terhormat dan disangkanya hal itu sebagai kehormatan, maka dia akan melakukan segalanya, kalau perlu teman-temannya disingkirkan dan lawan-lawannya dibantai agar tidak memperoleh kesempatan melakukan pekerjaan yang terhormat tersebut. Inilah yang harus kita pertanyakan dari diri kita sendiri. Peristiwa yang mensejarah dan mengambarkan, bawa kehormatan harus dibagi kepada orang-orang yang terdekat, bahkan untuk semua umat manusia. Karena kita tahu bahwa ke empat orang tersebut, mewakili Kabilah yang terdiri dari berbagai macam suku dan kemudian kita bisa baca dari peristiwa tersebut, agar setiap orang merasa terhormat karena merasa memiliki suatu pekerjaan besar.

Marilah kita renungkan ke dalam diri masing-masing, mestinya kita bersikap egois, kita tidak perlu bersikap individualis dan primordialis dalam menyelesaikan masalah-masalah keagamaan, masalah-masalah kemasyarakatan, kenegaraan dan masalah apapun juga. Bahkan marilah kita tengok kembali, tak jarang orang harus menyinggkirkan teman-temannya. Kalau perlu dengan fitnah, hanya untuk memegang suatu jabatan tertentu yang disangkanya jabatan itu memberikan kehormatan ketika dia pegang sendiri.

Marilah dalam Islam ini, kita praktekkan bahwa sesungguhnya kehormatan yang kita pegang mestinya juga memberikan kehormatan kepada seluruh umat manusia, dimana semuanya memiliki tanggung jawab, rasa kepemilikan, melu handar beni. Dengan demikian Insya Allah, hati seluruh umat manusia akan tetap menyatu di tangan orang-orang bijak di bawah naungan Cahaya Illahi Rabbi.

Sebagai penutup tulisan ini marilah kita renungkan firman Allah dalam Kitab Suci Al Qur’an berikut ini :

“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari orang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal….” (QS Al Hujurot 49 : 90).

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi bantuan kepada kaum kerabat dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan ….” (QS An nahl 16 : 90)

“Dan tolong menolong kamu dalam kebajikan dan taqwa dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung “(QS Ali Imran 3 : 104).

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh untuk ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah ….” (QS Ali Imran 3 : 110).

‘Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amrimu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan masalah itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah, sebab yang demikian itu lebih utama bagimudan lebih baik akibatnya…….” (QS An Nisa 4 : 59).

“Dan Dia-lah Allah yang dapat mempersatukan hati orang-orang yang beriman. Walaupun kamu belanjakan semua kekayaan yang berada di bumi niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allahlah yang dapat mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS Al Anfal 8 : 63)

Selasa, 04 Oktober 2016

Keajaiban Pikiran*

Pikiran manusia berdasarkan kondisi kesadaran dapat dibedakan menjadi dua kondisi dasar yaitu :

Pikiran Sadar (Conscious Mind) dan Pikiran Tidak Sadar (Unconscious Mind).

Demikianlah segala sesuatu di dunia ini tercipta selalu berpasangan, Laki-Perempuan, Hitam-Putih, Postif-Negatif dan sebagainya. Namun kita mengetahui pula bahwa ada kondisi lain di antara kedua kondisi dasar tersebut, yang bisa kita sebut sebagai ‘Kondisi Antara'. Di antara Laki-Perempuan ada Banci, di antara Hitam-Putih ada abu-abu, di antara Positif-Negatif ada Netral. Maka di antara Pikiran Sadar dan Pikiran Tidak Sadar ada kondisi antara yaitu Pikiran Bawah Sadar (Subconscious Mind).


Pikiran Tidak Sadar (Unconscious Mind) atau pikiran yang berada di alam tidak sadar hampir dapat dikatakan tidak ada pengaruhnya terhadap aktivitas kehidupan kita, kalaupun ada pengaruhnya tidak signifikan. Dan menurut beberapa ahli Mind Technology, Pikiran Sadar (Conscious Mind) atau pikiran yang berada di alam sadar hanya 12% mempengaruhi aktivitas kehidupan manusia, sedangkan 88% justru peran dari Pikiran Bawah Sadar (Subconscious Mind) atau pikiran yang berada di Alam Bawah Sadar.

Untuk memudahkan, katakan Pikiran Sadar (Conscious Mind) mempengaruhi aktivitas kehidupan hanya 10% dan Pikiran Bawah Sadar (Subconscious Mind) 90%. Sehingga Pikiran Bawah Sadar (Subconscious Mind) memiliki kekuatan 9X lebih kuat dibanding dengan Pikiran Sadar (Conscious Mind).

Sebagai contoh, jika pada malam hari (apalagi malam Jumat Kliwon) kita diminta untuk masuk ke kamar mayat di sebuah Rumah Sakit sendirian. Kemungkinan besar kita tidak akan bersedia karena ada perasaan takut. Jika kita menggunakan Pikiran Sadar (Conscious Mind) seharusnya kita tidak takut, toh yang tergeletak itu hanya seonggok mayat, mahluk yang tak bernyawa, yang tidak bisa bergerak lagi, yang tidak bisa mengancam jiwa kita. Tetapi Pikiran Bawah Sadar (Subconscious Mind) kita telah berisi program tentang hantu, roh jahat dan sebagainya sehingga membuat kita ketakutan. Dan Pikiran Bawah Sadar (Subconscious Mind) 9x lebih kuat dari pada Pikiran Sadar (Conscious Mind).

Pikiran Sadar mempunyai 4 (empat) fungsi utama :

1. Mengidentifikasi informasi yang masuk kedalam pikiran (melalui panca indra).

2. Membandingkan informasi yang masuk dengan database yang berada di dalam Pikiran Bawah Sadar yang merupakan referensi, pengalaman dan informasi lain yang berkaitan.

3. Menganalisa yaitu membuat hipotesa-hipotesa atas informasi yang masuk berdasarkan hasil dari fungsi ke 2 yaitu membandingkan. Lalu dari hipotesa-hipotesa akan menghasilkan satu kesimpulan yang dirasa benar berdasarkan database yang dimiliki.

4. Memutuskan, setelah kesimpulan diambil maka segera Pikiran Sadar memutuskan respon atau tindakan apa yang diambil dan diberikan atas stimulus informasi yang masuk.




Sedangkan Pikiran Bawah Sadar mempunyai fungsi sebagai berikut :

Menyimpan suatu kebiasaan (yang baik, buruk ataupun reflek).

Menyimpan dan membangkitkan emosi yang merupakan respon atas hal-hal tertentu.

Sebagai memory jangka panjang dan bersifat (relatif) permanen. Bahkan memory yang sudah dilupakan oleh Pikiran Sadar masih tersimpan dan dapat dimunculkan kembali.

Sebagai penyimpan karakteristik individual atau kepribadian dalam kaitannya dengan relasi/hubungan terhadap orang lain/lingkungan.Sebagai sumber intuisi, perasaan yang terhadap sesuatu yang belum terjadi dan lebih bersifat spiritual dan/atau metafisik.

Sebagai sumber kreativitas sehingga kita mampu memiliki visi, pemikiran dan impian yang akan kita wujudkan.

Persepsi yaitu cara kita melihat orang lain dan lingkungan berdasarkan ’kacamata’ kita yang dipengaruhi oleh isi database yang kita miliki.

Tempat menyimpan belief atau sesuatu yang kita percayai dan yakini kebenarannya (menurut diri sendiri) dan juga tempat menyimpan Value atau sesuatu yang sangat bernilai atau penting.

Pikiran Bawah Sadar merupakan sumber emosi dan perasaan, sehingga emosi dan perasaan seringkali muncul mendadak dan begitu saja tanpa diketahui oleh Pikiran Sadar. Emosi dan perasaan adalah bentuk ekspresi Pikiran Bawah Sadar sebagai respon terhadap sesuatu.

Sebagai contoh tatkala kita berhubungan pertama kali dengan seseorang maka di bawah sadar kita sudah dapat merasakan apakah kita cocok atau kita tidak cocok, karena ketika kita berkenalan maka tidak saja Pikiran Sadar kita yang berkenalan tetapi masing-masing Pikiran Bawah Sadar akan saling berkomunikasi.

Pikiran dapat mempengaruhi fungsi organ tubuh. Misal Kekhawatiran akan meningkatkan produksi asam lambung, kemarahan akan merangsang kelenjar andrenal dan meningkatkan andrenalin dalam darah. Juga ada beberapa kondisi tubuh memburuk karena disebabkan oleh pikiran (psikosomatik). Para pakar kesehatan menyatakan bahwa lebih dari 75% sakit yang diderita manusia bersifat psikosomatis yaitu terganggunya fungsi organ yang disebabkan oleh reaksi sistim saraf karena pengaruh Pikiran Bawah Sadar. Pikiran dan tubuh saling mempengaruhi, apa yang terjadi dalam pikiran akan mempengaruhi tubuh demikian juga sebaliknya.

Kemampuan Pikiran Bawah Sadar terpisah dari Pikiran Sadar. Meskipun kedua pikiran tersebut bekerja secara paralel namun proses berpikir dan merespon terhadap sesuatu saling terpisah meskipun saling mempengaruhi. Pikiran Sadar berada pada ranah pengetahuan nyata (logika) sedangkan Pikiran Bawah Sadar lebih pada imajinasi dan intuisi. Apabila terjadi konflik atau ketidak sesuaian antara Pikiran Sadar (logika) dengan Pikiran Bawah Sadar (imajinasi) maka imajinasi selalu lebih kuat dan menang. Konflik terjadi apabila ada dua ide yang bertentangan membutuhkan respon secara bersama.

Sebagai contoh misal Anda diminta untuk bersepeda di lintasan baja tebal selebar 50 cm sepanjang 10 meter yang diletakkan di atas tanah, saya yakin Anda berani dan akan berhasil bersepeda melewati lintasan baja tersebut tanpa terpeleset ke tanah. Sekarang apabila lintasan baja yang sama diletakkan di antara dua atap bangunan berlantai lima dan Anda diminta untuk bersepeda diatasnya. Apa yang terjadi ? Anda takut ? tidak berani ? padahal secara logika lintasan baja tebal tersebut sangat tebal tidak mungkin patah dan juga cukup lebar untuk dilewati menggunakan sepeda. Anda sudah berhasil dengan mudah melewati tanpa terpeleset ke tanah. Tetapi imajinasi Anda tentang jatuh dari ketinggian membuat Anda ketakutan.

Pikiran Bawah Sadar adalah tempat penyimpanan informasi yang luas dan bersifat permanen. Apabila ada suatu informasi atau ide yang diterima pikiran, maka ide itu akan menetap di dalam Pikiran Bawah Sadar. Ide tersebut akan tetap berada di dalam Pikiran Bawah Sadar sampai ada ide baru yang diterima untuk dapat menggantikan ide lama. Semakin lama suatu ide menetap di Pikiran Bawah Sadar maka semakin besar melakukan perlawanan atau penolakan terhadap ide baru yang akan menggantikannya. Hal tersebut menunjukan betapa sulitnya kita merubah suatu kebiasaan dengan kebiasaan baru atau bahkan merubah suatu keyakinan dengan keyakinan baru.

Pikiran Bawah Sadar mengamati dan memberi respon terhadap sesuatu dengan sangat jujur, apa adanya. Pikiran Bawah Sadar tidak melakukan penilaian terhadap ide atau informasi, bias, prasangka, penghakiman, harapan, persepsi dan sebagainya adalah hasil kerja Pikiran Sadar. Pikiran Bawah Sadar menyerap dan mengerti realita berdasarkan database yang ada tanpa memberikan makna dan penjelasan yang rumit.

*Dikompilasi dari berbagai sumber.