Sabtu, 30 Juli 2016

Mengenali Kebenaran Yang Hakiki

Seluruh umat manusia di muka bumi ini telah menyadari bahwa ada Satu Kekuatan Yang Maha Besar, yang telah menciptakan, mengatur dan memelihara alam semesta ini beserta segala isinya. Tetapi sayangnya, keyakinan itu tidak diteruskan dengan upaya untuk membuktikan sekaligus mengenal kepada keberadaan Dzat yang mempunyai Kekuatan Yang Maha Besar tersebut, sehingga pada akhirnya keyakinan akan adanya Sang Maha Pencipta itu, hanya sekedar menjadi kepercayaan yang bersifat “lipstick” atau sebatas di mulut saja, tanpa mengakar di dalam rohani dan aktivitas kehidupan umat manusia.


“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya sebatas huruf atau tulisan … “. ( QS Al Hajj 22 : 11 )

“Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya….,” (QS Al Hajj 22 : 74)

“….. kecuali hanya menyembah Asma-Nya yang kamu dan nenek moyangmu kamu buat-buat….” (QS Yusuf 12 : 40 )
Ketika terlahir di atas dunia, kita sudah dihadapkan oleh nilai-nilai kemasyarakatan, agama, dan moral yang mau tidak mau kita telah berada di dalamnya dan kita dituntut untuk mengambil sikap, apakah sikap menerima, menolak ataupun sikap netral terhadap nilai-nilai tersebut. Tetapi harus diingat, bahwa kita terlahir di atas dunia ini sebagai salah satu dari suku atau ras bangsa tertentu yang ada di dunia ini, yang yang menentukannya adalah bukan diri kita sendiri.

Begitu pula tentang kelahiran kita sebagai seorang anak bayi di dalam sebuah keluarga, apakah keluarga itu beragama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha ataupun sebuah keluarga yang tidak beragama, proses itu semuanya yang menentukan bukan diri kita sendiri. Setelah kita lahir dan menginjak usia akhil baligh barulah kita secara perlahan-lahan menyadari bahwa kita telah ditakdirkan menjadi apakah itu orang Eropa, Asia, Amerika, Australia atau orang Afrika. Begitu pula dengan agama orang tua kita. Dan biasanya, orang tua kita berusaha untuk menanamkan nilai-nilai agama yang dianutnya kepada kita (anaknya) sedini mungkin, sehingga secara sadar ataupun tidak sadar kita telah memeluk agama yang dianut oleh orang tua kita. Inilah yang disebut bahwa kita beragama karena keturunan.

Setelah menginjak dewasa, barulah kita menggunakan akal dan kehendak yang merdeka untuk mencermati kembali agama yang kita anut sejak kecil, sehingga saat itulah kita memulai proses pencarian terhadap kebenaran yang Absolut. Tetapi sayangnya, sebagian besar manusia sudah puas dengan agama yang dianutnya tanpa mau mencermati kebenaran agama yang dianutnya, bahkan yang lebih parah lagi mereka terjebak dalam sikap fanatik buta terhadap agamanya masing-masing, yang pada gilirannya akan menimbulkan sikap saling membenarkan agamanya masing-masing dan menyalahkan agama orang lain, padahal umat manusia itu sebenarnya adalah umat yang satu.

“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih”. (QS Yunus 10 : 19)

“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan kebenaran, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman tentang hal yang mereka perselisihan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada Jalan yang Lurus”. (QS Al Baqarah 2 : 213)

Beda pendapat diantara manusia tentang kebenaran adalah suatu hal yang manusiawi dan wajar, hal ini sesuai dengan firman Allah, yakni :

Sesungguhnya kamu sekalian selalu dalam keadaan berbeda-beda pendapat”. (QS Adz Azariyaat 51 : 8)

Perbedaan pendapat tentang suatu kebenaran, diantara umat manusia sangat dimaklumi oleh Allah. Bahkan Nabi Muhammad Saw pernah bersabda :

“Perbedaan pendapat di dalam umatku adalah rahmat”. (Al Hadits)

Tetapi perbedaan pendapat yang menjurus kepada perpecahan dan permusuhan, sangatlah dibenci Allah.

“….…janganlah kamu termasuk golongan orang-orang yang mempersekutukan Allah (yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS Ar Ruum 30 : 32)

Berdasarkan ayat tersebut di atas, dapat simpulkan bahwa salah satu sifat orang yang menyekutukan Allah adalah orang-orang yang suka memecah belah agamanya dan ia merasa paling benar, paling suci dari golongan lainnya. Seluruh golongan di luar golongannya dianggapnya sebagai golongan batil dan ia bangga atas kebenaran golongannya. Padahal, Yang Paling Haq, Yang Paling Suci adalah Allah Swt sajalah sebagai satu-satunya Dzat yang menjadi sesembahan umat manusia.

“….sesungguhnya Allah adalah kebenaran (Al Haq) dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah, itulah yang batil. Sesungguhnya Dia-lah Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (QS Luqman 31 : 30)

“…kebenaran itu datangnya dari Allah….” ( QS Al Baqarah 2 : 147 )

Ayat-ayat di atas secara tegas mengatakan bahwa Al Haq yang sebenarnya adalah Allah sendiri. Jadi sangatlah keliru apabila ada orang yang mengaku bahwa dirinyalah yang paling benar, atau mereka mengaku bahwa golongannya yang paling benar. Bahkan berdasarkan ayat tersebut di atas, orang atau golongan yang mengklaim atau mengaku paling benar, sebenarnya justru telah menyekutukan Allah, karena ia atau mereka telah mensejajarkan dirinya atau golongannya setara dengan Allah. Padahal Allah telah berfirman dalam Al Qur’an :

“….tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (QS An Najm 53 : 32)

Jadi, janganlah kita mengklaim bahwa diri atau golongan kitalah yang paling benar, haq dan suci, sedangkan orang lain atau golongan lain dianggap batil, salah, tidak suci dan kafir. Sebab, yang paling mengetahui siapa yang haq, benar dan siapa yang termasuk kafir atau batil, adalah hanya Allah Swt sajalah yang dapat mengetahuinya.

“…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”. (QS An Najm 53 : 32)

“Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS Al An’am 6 : 117)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi’in dan orang-orang musyrik, sesungguhnya Allah akan memberi keputusan antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu”. (QS Al hajj 22 : 17)

Sabtu, 23 Juli 2016

Naik Haji

Kata Haji berasal dari kata Al Hajju yang mempunyai arti Bukti. Secara hakekat Haji itu adalah suatu proses pembuktian bahwa Allah itu ada, dengan cara menjadi tamu Allah untuk bertemu dengan Allah di Baitullah. Makanya orang yang sudah melaksanakan ibadah Haji dinamakan orang yang sudah “Naik Haji” karena ia sudah menaikkan derajat keimanannya kepada Allah dengan Bukti, bukan hanya sekedar katanya, katanya dan katanya.
Nabi Muhammad Saw pernah bersabda : "Al hajju 'arafah" yang artinya “Haji itu Mengenal”. Yang mengandung arti bahwa untuk membuktikan bahwa Allah itu ada, kita harus mengenal ('arafah = mengenal) Allah, yang diawali menjadi tamu Allah yang bertemu Allah dengan cara wuquf di “Padang ‘Arafah” yang pepadang

3 Perkara Yang Membinasakan, Menyelamatkan, Meleburkan Dosa dan Pengangkat Derajat

TIGA PERKARA YANG MEMBINASAKAN, MENYELAMATKAN, MELEBURKAN DOSA DAN PENGANGKAT DERAJAT


عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ، وَثَلاثٌ مُنَجِّيَاتٍ، وَثَلاثٌ كَفَّارَاتٌ، وَثَلاثٌ دَرَجَاتٌ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma , ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda : “Ada tiga perkara yang membinasakan, ada tiga perkara yang menyelamatkan, ada tiga perkara yang meleburkan dosa dan ada tiga perkara yang meninggikan derajat.
فَأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ : فَشُحٌّ مُطَاعٌ ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بنفْسِهِ.
Adapun tiga perkara yang membinasakan adalah Kekikiran yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri.
وَأَمَّا الْمُنَجِّيَاتُ : فَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى، وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى، وَخَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلانِيَةِ.
Adapaun tiga perkara yang menyelamatkan adalah bersikap adil ketika marah dan ridha, sederhana dalam masa kefakiran dan kecukupan, dan rasa takut kepada Allah di kala tersembunyi dan terang-terangan.
وَأَمَّا الْكَفَّارَاتُ : فَانْتِظَارُ الصَّلاةِ بَعْدَ الصَّلاةِ، وَإِسْبَاغُ الْوُضُوءِ فِي السَّبَرَاتِ، وَنَقْلُ الأَقْدَامِ إِلَى الْجَمَاعَاتِ.
Adapun tiga perkara yang meleburkan dosa adalah menunggu shalat setelah shalat, menyempurnakan wudhu’ di saat dingin, dan melangkahkan kaki menuju shalat jama’ah.
وَأَمَّا الدَّرَجَاتُ : فَإِطْعَامُ الطَّعَامِ ، وَإِفْشَاءُ السَّلامِ ، وَصَلاةٌ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ .
Dan adapun tiga perkara yang meninggikan derajat adalah memberikan makanan, menyebarkan salam dan menunaikan shalat malam di kala manusia tidur.” (Hadits Hasan, lihat Shahih al-Jaami’ no. 3045)

Kamis, 21 Juli 2016

Dialog Kiai Dengan Guru Mursyid Muda

Suatu hari terjadi dialog antara seorang Mursyid muda dengan seorang Kyai sepuh, yang anaknya telah menjadi murid dari Sang Mursyid Muda tersebut.
Pak kiai: Nak, saya dengar anak muda mengajar ilmu hakekat kepada putra saya.
----
Guru mursyid: Betul pak kiai.
----
Pak Kiai: Tolong jelaskan kepada saya, sebab putra saya sekarang bicaranya selalu tentang hakekat saja.
----
Guru mursyid: Apa yang harus saya jelaskan kepada pak kiai?
----
Pak kiai: Ya. Saya sudah kenyang berguru di banyak pesantren besar, tapi sampai saat ini saya belum bisa menyelesaikan ilmu syareat yang saya pelajari. Coba anak muda renungkan kembali ajaran yang disampaikan kepada putra saya tentang hakehat. Saya sudah berumur tua saja belum menyelesaikan syareat yang saya tahu begitu banyak. Bagaimana mungkin anda anak muda bicara tentang hakekat kepada putra saya yang nyatanya saja lebih tua dari anda. Nanti saja kalau anak muda sudah menyelesaikan semua syaerat lengkap barulah anak muda bicara tentang hakekat. Itu masih jauh anak muda. Apa sih sekarang yang anak muda ketahui tentang Hakekat itu?
----
Guru mursyid: Betul pak kiai, saya masih muda jauh lebih muda dari putra pak kiai, apalagi dibandingkan umur pak kiai. Rupanya methode yang kita pelajari jauh berbeda dan apa yang kita caripun berbeda.
----
Pak kiai: Maksud anak muda? Ajaran Islam kan methodenya hanya dua saja, yaitu Al Quran dan Al Hadist. Yang lain bagi saya hanya hanya embel-embel.
----
Guru mursyid: Bolehkah saya bertanya?
----
Pak kiai: Silahkan saja, asal masuk akal.
----
Guru mursyid: Betul. Harus memakai akal. Islam, sekali lagi, Islam adalah ilmiah dan masuk akal, Tidak wajib beragama bagi yang tidak berakal. Sebagai awalannya, harus ada keselarasan antara ayat yang kita telusuri dan akal sehat. Sudahkah pak kiai membuktikan surat An Nuur ayat 35?
----
Pak kiai: Belum (pak kiai menjawab dengan agak ragu)
----
Guru mursyid: Sudahkan pak kiai membuktikan surat Ar Rahman ayat 17?
----
Pak kiai: Belum. (pak kia menjawab lirih dan agak terbata)
----
Guru mursyid: Methode kita yang berbeda. Pak kiai mencari surga sedangkan saya mencari Pemilik surga atau saya sebut "Inna lillahi wa ina lillahi roji'un" - Asal (dari) Allah kembali (ke) Allah. Kenapa kata dari dan ke saya beri tanda kurung, Sebab Tuhan yang Maha Tinggi
Yang Maha Meliputi, Ada "dimana-mana". jika saya memakai kata "dari" dan "ke" menjadikan seolah Tuhan Yang Maha Meliputi menjadi "terikat" dengan di satu arah dan tempat.
Menurut pak kiai apa yang kekal?
----
Pak kiai: Hanya Allah yang kekal.
----
Guru mursyid: Betul. CiptaanNya tidak ada yang kekal. Jadi surgapun tidak kekal. Apakah ini tidak membuat pak kiai mau berfikir?
----
Pak kiai terdiam, tidak menjawab.
----
Guru mursyid: Nabi Adam yang lebih mulia dari kita gagal bersaing dengan iblis dan terusir dari surga karena Iblis ternyata lebih licin. Pak kiai siapa dibanding nabi Adam?
Nabi terusir dari surga tetapi iblis masih berada disurga sampai saat ini. Iblis memohon kepada Allah agar diberikan tangguh dan Allah mengabulkannya. Silahkan pak kiai baca surah Al A'raff ayat 14-17, Al Hijr ayat 36-38, Shaad ayat 79-80. Jadi kalau pak kiai mencari surga artinya pak kiai akan kembali dilahirkan kebumi kembali karena masih ingin melihat sungai-sungai yang mengalir dibawahnya gunung-gunung yang hijau masih mengharapkan bidadari cantik, pak kiai masih mendambakan nafsu dan belum melepaskan diri dari lingkaran kelahiran dan kematian.
Bagaimana mungkin pak kiai mencari Allah, ujudnya saja pak kiai tidak tahu karena pak kiai tidak paham marifatullah, apalagi hakekatNya. Pak kiai hanya paham dan "latah" sebatas dongeng yang pak kiai terima sejak kanak-kanak dan disimpan serta diyakini sampai sekarang tanpa diolah, dikaji dan diselaraskan dengan nalar yang berkembang sejalan dengan bertambahnya ilmu, kecerdasan dan umur.
Mudah-mudahan pak kiai paham apa yang difirmankan Allah dalam surah Al Waaqi'ah ayat 7 sampai dengan ayat 10. Saya tidak ingin masuk golongan kanan dari tiga golongan tersebut, karena saya tidak ingin kembali ber"gaul" dengan nafsu rendah lagi dengan masih mengharapkan pemuasan nafsu syahwat di "Surga" bersama bidadari-bidada ri, bukankah masih ada satu golongan lain lagi yang lebih mulia?, yaitu golongan mereka yang tulus dan ikhlas, golongan yang menyembah Allah bukan karena pamrih mengharap "hadiah" yang dijanjikanNya.
Betulkah pak kiai sudah berumur sekitar 75 tahun?
----
Pak kiai tidak menjawab.
----
Guru mursyid: Saya hitung-hitung pak kiai sudah dapat bonus sekitar 10 tahun dari rata-rata umur orang Indonesia yang hanya sekitar 65 tahun secara statistik. Bolehkan saya bertanya lagi?
----
Pak kiai:.......... Silahkan??!!
----
Guru mursyid: Saya mengajarkan kepada ikhsan-ikhsan tentang syareat dari bawah dan bersamaan juga mengajarkan hakekat dari atas kebawah. Jadi bertemu ditengah-tengah , sehingga mereka memahami dzat dan benda, juga hal-hal lain yang sebenarnya sama yang dibicarakan dengan bahasa yang berbeda dalam syareat hingga hakekat. Dan syareat /tarekat pun menjadi cepat selesai karena sudah ada keselarasan pemahaman tentang apa yang dibicarakan. Sudahkan pak kiai membuktikan bintang yang (cahayanya) menembus pada surat Ath Thaariq :6, bintang pada langit terdekat pada surat Ash Shaafaat ayat 6?
----
Pak kiai: .........belum (jawabannya sudah kehilangan kepercayaan diri)
----
Betulkkah syareat artinya syarat-syarat? Kalau diistilahkan seolah memasak didapur pak kiai di syareat hanya mengumpulkan informasi syarat-syaratny a saja bahwa untuk memasak syaratnya diperlukan adanya benda-benda seperti kompor atau api, panci dll.
Lalu tarekatnya, untuk jalannya pak kiai harus pergi kepasar, berbelanja, membersihkan dan memotong bahan-bahan yang akan dimasak, mengulek bumbu-bumbuan dll apapun yang perlu dikerjakan sebagai cara memasak yang sehat dan benar.
Barulah hakekatnya semua bahan dasar dan bumbu-bumbu dimasak dan dicampur/ bertemu/bersatu dalam satu wajan atau panci.
Selesai dimasak barulah pak kiai bisa mengenal rasanya, mendapatkan makrifatnya "Oh rasanya sayur asem itu seperti ini rupanya". Disinilah akal sementara kita lepaskan sebagaimana juga malaikat Jibril terpaksa harus ditinggalkan oleh Nabi, di "puncak" hakekat hanya manusia yang madani yang bisa menyelesaikan hal ini.
Disini, ichsan sudah paham dan mengerti apa yang diperTuhankan sehingga syahadatnya syah, bukan mereka-reka dan mengira-ngira saja jadi bukan sumpah palsu seperti selama ini pak kiai ucapkan. Apakah pak kiai anggap nabi Muhammad tidak bisa membedakan kata "bersaksi" dengan "percaya". Nabi kercerdasannya tinggi dibandingkan manusia sepert kita ini.
Hari ini dalam usia senja pak kiai belum menyelesaikan ilmu syareat yang sangat banyak tidak ada habisnya dan menyita waktu. Pak kiai masih sibuk mengumpulkan syarat-syarat, kapan pak kiai akan mulai "masak", kapan pak kiai akan mulai menunaikan ma'rifat sampai ke hakekat?
Mengapa pak kiai tidak memilih jalan / methode yang pendek dan tepat tapi banyak manfaatnya dan cepat sampainya? Masih sempatkah pak kiai membuktikan ayat-ayat yang saya sebutkan tadi sebelum ajal? Tanyakan kepada putra pak kiai pengandaian saya ini "Apakah seorang kapolres akan bersedia menerima permintaan seorang pesakitan koruptor untuk dipertemukan dengan Kapolres di tahanan?" Tentunya si pesakitan hanya akan menjadi bulan-bulanan "tahanan miskin" yang lain maupun "oknum-oknum". Apalagi Allah, Yang Maha Tinggi tentu Beliau tidak mau menemui mahluk pesakitan yang belum pernah menemui dan mengenalNYA sebelumnya, apalagi jika orang itu gemar menista orang lain walaupun pemahamannya sendiri masih hanya tebak dan terka tanpa pembuktian. Apa yang akan ditanyakan Allah kepada mahluk seperti itu? Tentang "pertemuannya dengan Allah"? jelas tidak akan paham. Tentang bukit Tursinanya? Tentang gua Kahfi atau gua Hiranya? Tentang surga dan nerakanya? jawaban yang akan diberikan tentu monotype dan klise hanya sekedar "Katanya, yang saya dengar dari kata dan dongeng anak-anak sejak saya kecil yang demikian itu seperti ini dan itu". Semua serba katanya. Saya tidak mau tebak dan terka seperti itu, Islam adalah agama akal dan ilmiah. Ini sudah senja bagi pak kiai, sambung Guru mursyid mantap.
Suasana menjadi hening, kaku dan dingin beberapa saat, pak kiai tercenung melihat ke lantai. Beruntung putranya masuk dan mengajak Guru mursyid untuk diperkenalkan kepada seorang kerabat dekatnya

Rabu, 20 Juli 2016

Kisah Al Idrisi, Ilmuan Muslim Pencipta Bola Bumi, disaat Barat Menganggap Bumi Datar

Palermo, Sicilia 1138 M. Sebuah pertemuan istimewa antara seorang raja Kristen dengan seorang ilmuwan Muslim berlangsung di istana kerajaan Sicilia. Dalam suasana penuh keakraban, Raja Roger II - penguasa Sicilia secara khusus menyambut kedatangan tamu Muslim kehormatannya itu dengan ‘karpet merah’.

Sang ilmuwan Muslim itu pun dipersilakan untuk duduk di tempat kehormatan. Keduanya lalu berbincang dalam sebuah pertemuan yang boleh dibilang tak lazim itu. Betapa tidak, di saat umat Islam berjihad melawan tentara Perang Salib di Yerusalem, dua peradaban yang berseberangan justru duduk berdampingan dengan penuh keharmonisan di Sicilia bekas wilayah kekuasaan Islam. Ilmuwan Muslim yang mendapat undangan kehormatan dari Raja Roger II itu bernama Al-Idrisi. Dia adalah geografer dan kartografer (pembuat peta) termasyhur di abad ke-12 M. Kepopuleran Al-Idrisi dalam dua bidang ilmu sosial itu telah membuat sang raja yang beragama Nasrani itu kepincut. Apalagi, Raja Roger II sangat tertarik dengan studi geografi.


Raja Roger II mengundang Al-Idrisi ke istananya yang megah agar dibuatkan peta oleh sang ilmuwan Muslim. Pada era itu, belum ada ahli geografi dan kartografi Kristen Eropa yang mumpuni untuk membuat sebuah peta dunia secara akurat. ‘’Saat itu, para ahli geografi dan kartografi Barat masih menggunakan pendekatan simbolis dan fantasi,’‘ ungkap Frances Carney Gie dalam tulisannya berjudul Al-Idrisi And Roger’s Book.

Alih-alih menggunakan pendekatan ilmiah seperti yang dilakukan para ilmuwan Muslim, para sarja na Barat ternyata masih bertumpu pada hal-hal mistis dan tradisional dalam membuat peta. Sehingga, tak ada jalan lain bagi Raja Roger II untuk memenuhi ambisinya membuat sebuah peta dunia yang akurat. Ia pun harus berbesar hati meminta bantuan kepada ilmuwan Islam.

Dalam pertemuan bersejarah itu, Raja Roger II dan Al- Idrisi pun bersepakat untuk mem buat peta dunia perta ma yang akurat. Proyek besar itu pun dirancang. Al-Id ris dan Raja Roger II bersepakat proyek pembuatan peta dunia itu akan diselesaikan dalam tem po 15 tahun. Guna mewujud kan ambisinya, didirikanlah akademi geografer yang dipimpin Raja Roger II dan Al-Idrisi.

Megaproyek pembuatan peta dunia itu melibatkan 12 sarjana, sebanyak 10 orang di antaranya adalah ilmuwan Muslim. Adalah berkah tersen diri bagi Al-Idrisi bisa mengerjakan pembuatan peta itu di kota Palermo. Sebab, di kota itulah para navigator dari berbagai wilayah seperti Mediterania, Atlantik dan perairan utara kerap bertemu. Al-Idrisi menggali informasi dari setiap navigator yang tengah beristirahat di Palermo.

Ia bersama timnya mewawancarai dan menggali pengalaman para navigator. Penjelasan dari seorang navigator akan dikonfrontir kepada navigator lainnya. Hasil kajiannya itu lalu dirumuskan. Selama bertahun-tahun, Al-Idrisi menyaring fakta-fakta yang berhasil dikumpulkannya. Ia hanya menggunakan keterangan dan penjelasan yang paling jelas sebagai acuan membuat peta. Menjelang tenggat waktu yang ditetapkan, peta yang diinginkan Raja Roger II pun akhirnya selesai dibuat, tepat pada tahun 1154 M.

‘’Saat raja tak lagi ambil bagian secara aktif, saya selesaikan peta ini,papar Al- Idrisi dalam pengantar kitab Nuzhat Al- Mustaq fi Ikhtirak Al-Afaq yang ditulisnya. Sebagai seorang geografer yang meyakini bahwa bumi itu berbentuk bulat, Al-Idrisi secara gemilang membuat peta bola bumi alias globe dari perak. Bola bumi yang diciptakannya itu memiliki berat sekitar 400 kilogram.

Dalam globe itu, Al-Idrisi menggambarkan enam benua dengan dilengkapi jalur perdagangan, danau, sungai, kota-kota utama, daratan serta gunung-gunung. Tak cuma itu, globe yang dibuatnya itu juga sudah memuat informasi mengenai jarak, panjang dan tinggi secara tepat. Guna melengkapi bola bumi yang dirancangnya, Al-Idrisi pun menulis buku berjudul Al- Kitab al- Rujari atau Buku Roger yang didedikasikan untuk sang raja.

Selain menulis Buku Roger, Al-Idrisi pun sempat merampungkan penulisan kitab Nuzhat al-Mushtaq fi Ikhtiraq al- Afaq. Ini adalah ensiklopedia geografi yang berisi peta serta informasi mengenai negara-negara di Eropa, Afrika dan Asia secara rinci. Setelah itu, dia juga menyusun sebuah ensiklopedia yang lebih komprehensif bertajuk: Rawd-Unnas wa- Nuzhat al-Nafs.

Selama mendedikasikan dirinya di Sicilia - sebuah provinsi atonom yang berada di Selatan Italia - Al-Idrisi telah membuat hampir 70 peta daerah yang sebelumnya tak tercatat dalam peta. Al-Idrisi terbilang amat fenomenal. Dua abad sebelum Marco Polo menjelajahi samudera, dia sudah memasukkan seluruh benua seperti Eropa, Asia, Afrika, dan utara Equa dor ke dalam peta yang diciptakannya.

Lalu siapa Al-Idrisi sebenarnya? Sejatinya, ilmuwan kesohor itu bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad Ibnu Al-Idrisi Ash- Sharif. Selain dikenal sebagai seorang kartografer dan geografer, ilmuwan kelahiran Ceuta, Maroko, Afrika Utara pada tahun 1100 M. Dia dikenal juga dengan nama singkat Al-Sharif Al- Idrisi Al-Qurtubi. Orang Barat memanggilnya dengan sebutan Edrisi atau Dreses.

Al-Idrisi merupakan ilmuwan Muslim yang mendapatkan pendidikan di kota Cordoba, Spanyol. Sejak muda, dia sudah tertarik dengan studi geografi. Laiknya geografer kebanyakan, Al-Idrisi juga sempat menjelajahi banyak tempat yang jaraknya terbilang jauh meliputi Eropa dan Afrika Utara. Dia sembat mengembara ke Prancis, Spanyol, Portugal, Inggris dan negeri lainnya di belahan benua Eropa.

Dia melakukan pengembaraan untuk mengumpulkan data-data tentang geografi. Pada masa itu, para geografer Muslim sudah mampu mengukur permukaan bumi serta akurat serta peta seluruh dunia. Sebagai ilmuwan yang cerdas, Al-Idrisi, mengkombinasikan pengetahuan yang diperolehnya dengan hasil penemuannya. Itulah yang membuat pengetahuannya terhadap seluruh bagian dunia sangat komprehensif.

Pengetahuannya yang luas tentang geografi dan kartografi membuatnya dikenal dunia. Para navigator laut dan ahli strategi militer pun begitu tertarik dan menaruh perhatian terhadap pemikiran Al-Idrisi. Dibandingkan geografer Muslim lainnya, figur dan hasil karya Al- Idrisi lebih kesohor di benua Eropa. Al- Idrisi meninggal pada tahun 1160 M di Sicilia.

Al-Idrisi dan Zoologi

Selain dikenal sebagai geografer dan kartografer, Al-Idrisi juga turut memberi sumbangan bagi pengembangan studi zoologi dan botani. Kontribusinya yang terbilang penting bagi pengembangan ilmu hayat itu dituliskannya dalam beberapa buku. Ia begitu intens mengkaji ilmu pengobatan dengan tumbuh- tumbuhan.

Tak heran, jika ilmu Botani berkembang pesat di Cordoba, Spanyol - tempat Al-Idrisi menimba ilmu. Salah satu buku botaninya yang paling terkenal berjudul Kitab al-Jami-li-Sifat Ashtat al-Nabatat. Dalam kitab itu, Al-Idrisi mengulas dan menggabungkan semua literatur dari berbagai topik tentang botani yang khusus mengkaji pengobatan tumbuh-tumbuhan.

Al-Idrisi pun mulai mengelompokkan nama-nama tanaman obat dalam beberapa bahasa termasuk Berber, Suriah, Persia, India, Yunani, dan Latin. Bukubuku yang ditulisnya begitu berpengaruh bagi para sarjana dan Ilmuwan di Eropa. Sicilia - tempat Al- Idrisi mendedikasikan diri untuk pengembangan ilmu pengetahuan diyakini sebagai gerbang transfer ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai Islam kepada peradaban Barat.

Saat dia diundang Raja Roger II ke istana Palermo, minat dan keingintahuan Barat terhadap ilmu pengetahuan yang dikuasai peradaban Islam sedang membuncah. Seperti halnya umat Islam di abad ke-8 M yang melakukan transfer pengetahuan dari peradaban sebelumnya, sarjana Barat pun banyak yang menerjemahkan buku- buku Al-Idrisi.

Baik itu buku tentang geografi, kartografi, zoologi dan botani yang ditulisnya diterjemahkan para sarjana Barat ke dalam bahasa Latin. Malah, salah satu buku yang ditulisnya dialihbahasakan dan dipublikasikan di Roma pada tahun 1619 M. Sayangnya, ada sarjana Barat berupaya menutupi keberhasilan Al- Idrisi dengan cara tak mencantumkan namanya dalam buku yang diterjemahkan di Eropa.

Pengakuan Dunia pada Sang Ilmuwan

Sosok Al-Idrisi di benua Eropa memang tergolong sangat fenomenal. Selama berabad-abad, peta yang dibuatnya telah digunakan peradaban Barat. Maklum, pada masa itu belum ada sarjana Barat yang mampu membuat peta dunia yang akurat. Peta yang diciptakan Al-Idrisi itu pun digunakan para penjelajah Barat untuk berkeliling dunia.

Tanpa peta Al-Idrisi, boleh jadi Chistopher Columbus tak bisa menginjakkan kakinya di benua Amerika. Menurut Dr A Zahoor dalam tulisannya berjudul Al-Idrisi, saat melakukan ekspedisi mengelilingi dunia, Columbus menggunakan peta yang dibuat Al- Idrisi. Inilah salah salah satu fakta lainnya yang dapat mematahkan klaim Barat bahwa Columbus merupakan penemu benua Amerika yang pertama.

Ilmuwan Barat bernama Scott mengakui kehebatan dan kepiawaian Al-Idrisi dalam merancang dan membuat peta dunia yang begitu akurat. Menurut Scott, selama tiga abad lamanya peta yang dibuat Al-Idrisi dijiplak para geografer tanpa mengubahnya sedikit pun. Itu membuktikan betapa para geografer Barat begitu mengagumi dan mengakui kapasitas keilmuwan Al- Idrisi.

‘’Kompilasi yang disusun Al-Idrisi menandai sebuah era dalam sejarah sains. Tak hanya informasi historisnya saja yang sangat bernilai dan memikat, namun penjelasannya tentang beberapa bagian dunia masih berlaku,’‘ papar Scott mengakui karya yang telah disumbangkan Al-Idrisi. Atas pencapaianya dalam membuat peta dunia yang begitu akurat, Al-Idrisi mendapat hadiah dari Raja Roger berupa ratusan ribu keping perak serta sebuah kapal yang penuh dengan barang cenderamata.

Sempurna yang Menyempurnakan

Ketahuilah bahwa sesungguhnya hakikat dari istilah “Sempurna” itu mempunyai unsur keseimbangan, kesepadanan, kesesuaian dan keharmonisan dalam hal apapun. Dalam kajian Tauhid, kesempurnaan yang paling sempurna pada hakikatnya adalah Allah SWT itu sendiri. Apa yang diciptakan Allah di alam semesta ini merupakan ciptaan yang Maha Sempurna dan tidak ada yang sia-sia, sesuai dengan firman-Nya :

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah, sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang adakah kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang”?. (QS Al Mulk 67 : 3).


“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapa orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka” (QS Shad 38 : 27).

“…Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran 3 : 191).

Berdasarkan firman tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa apa yang terjadi dan apa yang dicipta di alam semesta ini adalah suatu kesempurnaan yang tidak sia-sia, baik sifat maupun bentuknya. Misalnya seperti : baik-buruk, indah-jelek, terpuji-tercela, siang-malam, panas-dingin, panjang-pendek, siang-malam, pria-wanita, besar-kecil dan sebagainya. Jadi suatu kesempurnaan adalah satu keseimbangan antara dua sifat atau unsure yang dikotomis atau bertolak belakang, sebab apabila hanya ada satu sifat saja atau ada baik saja, atau ada siang saja, atau ada dingin saja, hal itu bukanlah suatu yang dapat disebut sempurna.

Orang Berdzikir Lebih Utama Dari Orang Berjihad di Jalan Allah

Banyak orang muslim belum mengetahui amalan yang tinggi yaitu Dzikrullah.

Di dalam Hadist yang dicatat pada kitab Sunan At Tirmidzi Hadist ke 30, Abu Sa’id Al Khudri menjelaskan sabda Rasulullah tentang golongan paling utama di sisi Allah. Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, “Golongan siapakah yang paling utama di sisi Allah pada hari Kiamat ?”

Rasulullah saw. menjawab, “Orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah.”

Berdzikir
 
Mendengar itu, Abu Sa’id Al Khudri r.a. bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan para pejuang di jalan Allah?”

Rasulullah saw. menjawab, “Meskipun dia behasil menghujamkan pedangnya kepada orang-orang kafir dan musyrik sehingga mereka terluka dan berlumuran darah, tetap saja orang-orang yang berzikir kepada Allah lebih utama dari dirinya (pejuang di jalan Allah).”

Kemudian Selanjutnya Hadits 31 Memperkuat lagi:

Dalam Sunan Ibnu Majah, Abu Ad Darda` r.a. menjelaskan keutamaan zikir sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw., “Maukah aku beri tahu kalian tentang suatu amal paling baik, paling suci dalam pandangan Allah, paling tinggi tingkatannya, bahkan amal itu lebih baik dari sedekah kalian yang berupa emas ataupun perak dan lebih baik daripada saat kalian bertemu dengan musuh hingga kemudian kalian memenggal kepalanya (jihad di jalan Allah)?”

Para sahabat menjawab, “Tentu kami bersedia, wahai Rasulullah.”

Rasulullah saw. melanjutkan, “Amal itu adalah zikir kepada Allah.”

Ada banyak sekali bentuk dzikir kepada Allah, jadi bagaimana amalan yang dimaksud oleh Rasullullah tersebut? sementara semua orang juga berdzikir, dzikir seperti apa yang dimaksud?
Untuk menjawab tersebut mari kita baca hadist Rasulullah berikut ini:

“Tiada akan datang Kiamat, kecuali kalau di muka bumi tidak ada lagi orang yang berdzikrullah". (HR Muslim).

Bahkan pada suatu ketika Nabi pernah membai’at dan menalqin kepada diri sahabat Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang diterangkan di dalam Hadits shahih yang muttashil sanadnya, yaitu : “Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib : “Hai Ali, pejamkan matamu dan tempelkan sepasang bibirmu serta lipatkan lidahmu pada langit-langitan mulut dengan berdzikrullah di dalam Lathifah dari Lathaif tujuh” (HR Thabrani dan Baihaqi).

Dilain waktu Rasul bersabda : “Dari Ali : Aku katakan ya Rasulullah, manakah jalan Metodologi yang sedekat-dekatnya kepada Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan semulia-mulianya di sisi Allah? Maka Jawab Rasul SAW : “Ya Ali penting atas kamu berkekalan/senantiasa berdzikir kepada Allah”. Berkatalah Ali : Tiap orang berdzikir pada Allah. Maka Rasul bersabda : “Ya Ali, tidak ada terjadi kiamat sehingga tiada lagi tinggal di atas permukaan bumi ini, orang yang berdzikrullah”. Maka Sahut Ali, bagaimana caranya aku berdzikir ya Rasul? Maka Sabda Rasul SAW :

“Pejamkan kedua matamu dan ikuti syahadat dari saya tiga kali. Kemudian lakukanlah seperti itu dan aku akan saksikan”.

Maka sejenak Rasul bersyahadat : “Laa Ilaaha Illallah, sedang matanya tertutup. Kemudian Ali pun bersyahadat Laa Ilaaha Illallah seperti demikian. Ajaran tersebut kemudian syayidina Ali ajarkan pula kepada Hasan Basri dan dari Hasan Basri diajarkan kepada Al Habib Al Ajay, dari Al Habib diajarkan kepada Daud Athaiy, dari Daud diajarkan kepada Al Makruf Al Karaci dan dari Al Makruf kepada Assuraa, dan kemudian dari Assuraa kepada Al Junaid Baghdadi" (HR Thabrani dan Baihaqi).

Teknik berzikir ini sudah lama diamalkan oleh para sufi, para wali dan para ulama pewaris nabi, karena sangat halus dan tingginya zikir ini sehingga tidak semua orang bisa mengamalkannya dengan sempurna apalagi tanpa dibimbing oleh GM.

Zikir ini dilakukan didalam hati, perhatikan hadist diatas.. “pejamkan mata”, “tempelkan sepasang bibirmu”, “lipatkan lidahmu pada langit-langitan mulut” lalu berdzikirlah kepada Allah, itu artinya bukan fisik kita yang berzikir namun ruhaniah kitalah yang dituntut untuk berzikir dengan mematikan panca indera. Dan ini memerlukan pelatihan khusus serta bimbingan Guru Mursyid.

Didalam Al-Qur’an Allah memerintahkan kita untuk melakukan zikir didalam hati. Allah SWT berfirman:

“Dan berzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu (nafsika) dengan merendahkan dirimu dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai” (QS 7 : 205)

Pada riwayat yang lainnya disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda :

“Zikir diam (khafiy) 70 kali lebih utama daripada zikir yang terdengar oleh para malaikat pencatat amal. “ (Al-Hadits)

Dengan membaca secara seksama urutan ayat dan hadits diatas tentu kita sudah meyakini benar betapa tingginya amalan zikrullah ini, amalan para wali, amalan para pembawa islam ke Indonesia dan menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara.

Menunggangi Hewan Qurban Menuju Kepada-Nya

Qurban artinya kedekatan. Hakekat Qurban adalah proses pendekatan diri kepada Ilahi dengan cara “memenggal” apa saja yang kita cintai yang menimbulkan kemelekatan kepada dunia, sehingga kita dapat Liqa dengan-Nya
Hanya “hewan” yang sudah “diqurbankan” saja yang dapat kita tunggangi untuk menyeberangi titian jembatan “Shirotol Mustaqim” sehingga kita dapat Liqa' dengan-Nya.


Oleh karena itu pilihlah dan milikilah "Hewan Qurban" yang sehat dan kuat, agar dapat kita tunggangi menyeberangi titian jembatan "Shirothol Mustaqim" dengan selamat sampai di ujungnya, karena kalau tidak, dikhawatirkan nanti pas di tengah “Jembatan Shirothol Mustaqim”, hewan qurban yang kita tunggangi sudah ngos-ngosan kehabisan nafas dan kecape'an, padahal belum sampai ke tujuan.

Selasa, 19 Juli 2016

Hakikat AR RIZAL dan AN NISA

Dalam bahasa Arab, organ vital kelakian di sebut Ad Dzakar, sedangkan organ vital kewanitaan disebut Al Untsa. Sifat kelakian disebut dengan istilah Ar Rizal, sedangkan sifat kewanitaan disebut dengan istilah An Nisa. Yang harus diingat Al Qur'an dan Hadits tidak pernah menggunakan istilah Al Untsa (V****a) dan Adz Dzakar (P***s), tetapi selalu menggunakan istilah An Nisa' (sifat Feminim) dan Ar Rizal (sifat maskulin). Kesalahan dalam memahami hal ini, akan menyebabkan masalah gender yang tidak habis-habisnya dari dulu sampai sekarang. setiap diri manusia normal, pasti mempunyai satu jenis kelamin dan dua sekaligus sifat An nisa' dan Ar Rizal sekaligus, tinggal mana yang lebih dominan dari dua sifat tersebut. dan normalnya akan mengikuti penanda dari organ jenis kelaminnya, kalau tidak, itu namanya ada yang errorrrr, hasilnya bisa tomboy atau bensooong.



Kalau sudah memahami masalah tersebut diatas, maka sebenarnya mudah bagi kita ketika menerapkan ayat-ayat atau hadits yang berbau gender dalam kehidupan sehari-hari, misalnya masalah kepemimpinan yg selalu diributkan menjelang PilPres atau Pilkada, yang semuanya merujuk kepada surat An Nisa ayat 34 "Ar Rizal' adalah pemimpin dari An Nisa', sehingga terjadi perdebatan bahkan sampai masuk ranah ke haram halal, padahal sudah jelas, judul suratnya saja An Nisa' bukan Al untsa...kemudian dalam ayat tersebut disebutkan yang memimpin itu Ar Rizal bukan Adz Dzakar, yang kalau kita merujuk kepada penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang berhak memimpin adalah yang mempunyai sifat maskulin, siapapun dia, pria atau wanita, yang penting dia harus tegas, berwibawa, berani, ulet, dll, bukannya cengeng, lemot, gamang, galau.

Menggapai Kebahagiaan yang Sejati

Setiap umat manusia di muka bumi ini sangat mengharapkan kebahagiaan, sehingga banyak umat manusia yang berlomba-lomba untuk mendapatkan kebahagiaan dengan berbagai cara, sesuai dengan kemampuan dan pandangan mereka masing-masing tentang kebahagiaan tersebut, karena setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksud dengan kebahagiaan. Terkadang untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut, kita menghalalkan segala cara, sehingga terjadilah ketidakseimbangan dalam kehidupan kita. Oleh sebab itu makalah ini mencoba untuk membahas tentang apa yang disebut kebahagiaan yang hakiki dan bagaimana mendapatkan kebahagiaan yang hakiki tersebut.
 
Hakikat Bahagia
 

Setiap orang akan berbeda-beda pendapat ketika kita tanyakan apa yang dimaksud dengan kebahagian itu. Mereka akan memandang kebahagiaan itu berdasarkan kebutuhan mereka sendiri-sendiri. Seorang yang sedang dilanda kemiskinan harta, akan berpendapat bahwa kebahagiaan adalah apabila mendapatkan harta kekayaan yang berlimpah-limpah, karena dengan adanya harta kekayaan yang banyak, maka segala yang diinginkannya tentu akan tercapai. Seorang yang mempunyai harta yang banyak, tetapi ia saat itu sedang menderita penyakit yang kronis, akan berpendapat bahwa kebahagiaan adalah apabila ia disembuhkan dari penyakitnya yang kronis tersebut. Ia tidak memperdulikan berapa banyak harta kekayaan yang harus dikeluarkan, demi mendapatkan kesembuhan atas penyakitnya tersebut. Seorang penulis akan berpendapat bahwa kebahagiaan adalah apabila buku atau karya tulisnya dikagumi oleh pembacanya. Dan masih banyak lagi pendapat tentang bahagia, yang apabila diuraikan dimakalah ini akan memerlukan banyak halaman. Oleh sebab itu penulis hanya akan mengutip beberapa pendapat tentang bahagia.

Kebahagiaan dalam bahasa Indonesia, termasuk dalam kelompok kata sifat, yang hanya bisa diketahui oleh indera rasa, sehingga untuk mengetahui apa hakikat kebahagiaan tersebut kita harus merasakan apa yang disebut rasa bahagia itu. Jadi, perkara kebahagiaan itu merupakan hal yang bersifat dimensi rasa perasaan. Berdasarkan hukum kausalitas rasa bahagia merupakan akibat dari suatu sebab. Misalnya seorang yang sedang lapar kemudian memakan makanan yang lezat, maka akan menimbulkan rasa bahagia pada orang tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa perasaan bahagia akan timbul apabila kebutuhan atau keinginan seseorang pada saat itu terpenuhi. Karena kebutuhan manusia bermacam-macam bentuknya dan juga bertingkat-tingkat, maka rasa bahagia sebagai akibat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut, juga bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Tingkatan kebutuhan manusia pada hakikatnya mengikuti tingkatan akal atau derajat akalnya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw :

Suatu hari Aisyah ra bertanya kepada Rosulullah saw :

“Ya Rosulullah dengan apakah kelebihan sebagian manusia dari manusia lainnya? Rosulullah menjawab” Dengan akal!”. Dan di akhirat? Dengan akal juga kata beliau! bukankah seorang manusia lebih banyak mendapat pahala karena amal ibadahnya? kata Aisyah pula. “Hai Aisyah, bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar akalnya? sekedar ketinggian akalnya, sebegitulah ibadah mereka dan menurut amal itu pula pahala yang diberikan kepada mereka. Kemudian Rosulullah bersabda: “Allah membagi akal dengan tiga bagian siapa yang cukup mempunyai ketiga bagiannya, sempurnalah akalnya, kalau kekurangan walau sebagian, tidaklah ia termasuk orang yang berakal”. Ya Rosulullah manakah bagian yang tiga macam itu?. Kata beliau: “pertama baik ma’rifatnya kepada Allah, Kedua baik taatnya kepada Allah dan ketiga baik pula sabarnya atas ketentuan Allah”. (HR Bukhori)

Dari sabda Nabi tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa derajat manusia itu sesuai dengan derajat akalnya. Tingkat tertinggi dari akal adalah akal yang telah tercerahkan oleh Cahaya Allah. Dengan kata lain bahwa kedudukan derajat akal yang tertinggi adalah akal yang telah mengenal Sang Penciptanya yaitu Allah. Imam Ghazali mengatakan :

“Bahagia dan kelezatan yang sejati adalah bilamana dapat bertemu Allah dan mengingat Allah. Ketahuilah bahwa kebahagiaan tiap-tiap sesuatu adalah bila kita merasakan nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu sesuai dengan sifat kejadian masing-masing, maka kelezatan mata adalah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga adalah mendengar suara yang merdu, demikian pula anggota badan yang lain ditubuh manusia. Adapun kebahagiaan rohani adalah ma’rifat kepada Allah, karena rohani itu dijadikan untuk menemui Allah kemudian mengingat-Nya. Rohani yang dulu mengenal Allah, kemudian ia dapat kesempatan untuk mengenal Allah, maka ia sangat bergembira dan tidak sabar untuk terus bertemu dengan Allah, karena kelezatan mata rohani memandang Dzat Yang Maha Indah, karena Allah memang Maha Indah sesuai Hadits : Innalloha jamilun, yuhibbul jamil. Oleh sebab itu tidak ada satu ma’rifat yang lebih lezat dari pada mariftullah, tidak ada suatu pandangan yang lebih indah dari pada memandang Allah (QS Asy-Syam 91 : 22-23) Wujuhu yaumaidzin naadhirah illa robbiha nazhira. Sebab segala kelezatan, kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan dan suka cita yang ada di atas di dunia, semua yang bertakluk kepada pertimbangan nafsu, dan timbul karena ada nafsu dan semuanya akan terhenti perjalanannya apabila telah kebatasnya, yaitu kematian. Tetapi kebahagian ma’rifatullah bukan bertakluk dengan nafsu, dia tunduk pada rohani. Maka perasaan rohani tidak terhenti oleh mati.

Rohani tidak mati lantaran perpindahan hidup dari Fana ke Baqa. Bahkan bila tubuh kasar ini mati, bertambah bersihlah rohani itu, karena tidak ada pengganggunya lagi, sebab kekuatan iblis dan hawa nafsu tidak sampai ke sana. Rohani itu telah keluar dari alam yang sempit menuju ke alam yang maha luas, keluar dari gelap gulita menuju terang benderang.

Akhir kata, orang yang telah menemukan kelezatan rohani dengan menemukan kembali Nur Iman yang ada pada dirinya adalah orang yang sudah mencapai Kemenangan Yang Terang ( Fathul Mubbin ) dalam hidupnya, sehingga Allah memberikan kepada orang tersebut anugerah berupa : Ampunan atas dosa masa lalu dan dosa yang akan datang, menyempurnakan nikmat-Nya, menunjukki kepada jalan yang lurus dan memberikan pertolongan yang banyak. Hal ini sesuai dengan firman-Nya :

“ Sesungguhnya Kami telah memberi kemenangan kepadamu dengan kemenangan yang Terang. Supaya Allah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan dating serta menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan menunjukkimu jalan yang lurus dan menolongmu dengan pertolongan yang yang banyak “. ( QS Al Fath 48 : 1- 3 )

Senin, 18 Juli 2016

Penggunaan Kemenyan di Jaman Nabi Muhammad S.A.W dan Sahabat

وَبِكَافُورٍ، يَطْرَحُهُ مَعَ الْأَلُوَّةِ» ثُمَّ قَالَ: «هَكَذَا كَانَ يَسْتَجْمِرُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dari Nafi’, ia berkata, "Apabila Ibnu Umar mengukup mayat (membakar kemenyan), maka beliau mengukupnya dengan kayu gaharu yang tidak dihaluskan, dan dengan kapur barus yang dicampurkan dengan kapur barus. Kemudian beliau berkata, “Beginilah cara Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam ketika mengukup jenazah (membakar kemenyan untuk mayat)”. (HR. Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " أَوَّلُ زُمْرَةٍ تَدْخُلُ الجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ، ... الى قوله ... وَوَقُودُ مَجَامِرِهِمْ الأَلُوَّةُ - قَالَ أَبُو اليَمَانِ: يَعْنِي العُودَ -، وَرَشْحُهُمُ المِسْكُ
"Dari Abi Hurairah radliyalahu 'anh, bahwa Rosulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda : "Golongan penghuni surga yang pertama kali masuk surga adalah berbentuk rupa bulan pada malam bulan purnama, … (sampai ucapan beliau) …, nyala perdupaan mereka adalah gaharu, Imam Abul Yaman berkata, maksudnya adalah kayu gaharu” (HR. Imam Bukhari)



Demikian juga hadits shahih riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya,

عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا أَجْمَرْتُمُ الْمَيِّتَ، فَأَجْمِرُوهُ ثَلَاثًا
“Dari Abu Sufyan, dari Jabir, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : Apabila kalian mengukup mayyit diantara kalian, maka lakukanlah sebanyak 3 kali” (HR. Ahmad)

Shahih Ibnu Hibban juga meriwayatkan sebuah shahih (atas syarat Imam Muslim):

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فأوتروا
“Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam bersabda : “Apabila kalian mengukup mayyit, maka ukuplah dengan bilangan ganti (ganjilkanlah)” (HR. Ibnu Hibban, diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah)

Disebutkan juga bahwa sahabat Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam berwasiat ketika telah meninggalkan dunia, supaya kain kafannya di ukup.

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ أَنَّهَا قَالَتْ لِأَهْلِهَا: «أَجْمِرُوا ثِيَابِي إِذَا مِتُّ، ثُمَّ حَنِّطُونِي، وَلَا تَذُرُّوا عَلَى كَفَنِي حِنَاطًا وَلَا تَتْبَعُونِي بِنَارٍ
“Dari Asma` binti Abu Bakar bahwa dia berkata kepada keluarganya; "Berilah uap kayu gaharu (ukuplah) pakaianku jika aku meninggal. Taburkanlah hanuth (pewangi mayat) pada tubuhku. Janganlah kalian tebarkan hanuth pada kafanku, dan janganlah mengiringiku dengan membawa api."

Banyak orang masih menganggap kemenyan hanya sebagai alat untuk ritual-ritual mistik pada dukun, pengantar sesajen penyembah berhala (kebiasaan orang musyrik), dan semacamnya. Mereka mengindentikkan bau kemenyan dengan pemanggilan arwah dan aroma yang menyeramkan (angker), yang dikira akan bisa membuat para lelembut dan setan-setan berdatangan.

Memang, wajar saja jika banyak masyarakat, khususnya di Indonesia, yang risih dan alergi atau kurang sreg dengan barang antik bernama kemenyan tersebut. Sebab di Indonesia, umumnya kemenyan yang bentuknya seperti kristal diletakkan diatas bara api dalam wadah tanah liat memang menjadi trade mark para dukun dan paranormal. Berulangkali kita menyaksikan film-film horor Indonesia, dari zaman film Suzanna yang benar-benar seram sampai di era masa kini seperti film horor saat ini yang benar-benar tidak mendidik; selalu menggunakan kemenyan dan kembang-kembang aneka rupa.

Fenomena seperti itu sering nampang di hamparan tikar para dukun, dipopulerkan di film-film layar lebar, lantas bertemakan horor, semakin menambah pandangan sinis orang terhadap kemenyan.

Namun kenyataannya, di Indonesia kemenyan banyak digunakan bukan saja oleh pihak-pihak penggemar mistik sebagaimana disebutkan diatas. Dibeberapa pondok pesantren, kemenyan di bakar ketika hendak melaksanakan shalat tarawih dalam sebuah wadah, yang bertujuan untuk memberikan aroma yang harum (khas kemenyan) didalam ruangan ataupun di masjid, demikian lansiran dari madinatuliman.com, jum'at 15/7/2016.

Di beberapa daerah, kemenyan dibakar ketika berlangsungnya acara walimatul 'ursy (acara pernikahan), ada juga yang membakar kemenyan pada setiap kali pertemuan seperti majelis ta'lim, majelis tahlil, acara selamatan (tasyakkuran), tempat ziarah (seperti makam para wali) dan lain sebagainya.

Di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, kemenyan kerap hadir di beberapa acara seperti acara wisuda Tahfidh, acara penyucian/ pembersihan Ka'bah, dan lain sebagainya. Hal itu untuk mengharumkan udara dan menyenangkan jiwa pada peziarah. Karena menurut salah satu hadits Nabi, para malaikat itu suka bau-bau yang wangi dan membenci bau-bau busuk.

Berabad-abad lampau, kemenyan yang berasal dari kayu gaharu atau getah pohon damar merupakan komoditas mahal dan paling bergengsi dalam lingkup perdagangan di Jalur Sutra (Silk Road). Di jalur perdagangan yang membentang dari Cina sampai ujung Turki itu, kemenyan bahkan bisa jadi lebih mahal dari emas dan intan permata.

Para pedagang memburu kemenyan karena permintaan yang tinggi dari para raja, orang kaya, dan para pemuka agama. Tujuannya memang sangat beragam. Di Mesir, bangsa Mesir Kuno memanfaatkan kemenyan yang di impor dari Yaman sebagai salah satu bahan dalam membuat mumi. Di Yerusalem, orang-orang Israel membakar kemenyan di depan Bait Allah dalam wadah ukupan untuk wewangian penghantar doa-doa. Di Arabia dan Syam, kemenyan ditempatkan dalam wadah-wadah cantik untuk mengharumkan ruang-ruang istana dan rumah-rumah. Dan di Asia Selatan dan Asia Timur, kemenyan dibakar dalam kuil-kuil sebagai sarana peribadatan.

Oleh karena itu, kemenyan bukan merupakan benda mistik milik agama atau untuk upacara-upacara tertentu. ini, kemenyan sangat bervariasi, mulai dari yang bentuknya seperti cengkeh yang lengket buatan Uni Emirat Arab, Arab Saudi dan negeri-negeri Teluk lainnya. Dan disebut Al-Bukhuor, sedangkan tempatnya disebut Al-Mubakhar. Ada juga yang bentuknya seperti serbuk yang dibakar meng gunakan bara, hingga kemenyan yang berbentuk stik seperti hio/dupa yang biasanya dibakar di klenteng-klenteng. Kemenyan berbentuk stik ini sekarang sangat banyak, karena memang praktis dalam penggunaannya, hanya tinggal dibakar dan ditancapkan.

Kemenyan dizaman Nabi dan Salafush Shaleh juga menjadi bagian dari beberapa ritual umat Islam. Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat sendiri sangat menyukai wangi-wangian, baik yang berasal dari minyak wangi hingga kemenyan, sebagaimana disebutkan didalam berbagai hadits.

Misalnya hadits shohih riwayat Imam Muslim dan Imam Al-Bukhari berikut ini :

عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ «إِذَا اسْتَجْمَرَ اسْتَجْمَرَ بِالْأَلُوَّةِ، غَيْرَ مُطَرَّاةٍ وَبِكَافُورٍ، يَطْرَحُهُ مَعَ الْأَلُوَّةِ» ثُمَّ قَالَ: «هَكَذَا كَانَ يَسْتَجْمِرُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dari Nafi’, ia berkata, "Apabila Ibnu Umar mengukup mayat (membakar kemenyan), maka beliau mengukupnya dengan kayu gaharu yang tidak dihaluskan, dan dengan kapur barus yang dicampurkan dengan kapur barus. Kemudian beliau berkata, “Beginilah cara Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam ketika mengukup jenazah (membakar kemenyan untuk mayat)”. (HR. Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " أَوَّلُ زُمْرَةٍ تَدْخُلُ الجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ، ... الى قوله ... وَوَقُودُ مَجَامِرِهِمْ الأَلُوَّةُ - قَالَ أَبُو اليَمَانِ: يَعْنِي العُودَ -، وَرَشْحُهُمُ المِسْكُ
"Dari Abi Hurairah radliyalahu 'anh, bahwa Rosulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda : "Golongan penghuni surga yang pertama kali masuk surga adalah berbentuk rupa bulan pada malam bulan purnama, … (sampai ucapan beliau) …, nyala perdupaan mereka adalah gaharu, Imam Abul Yaman berkata, maksudnya adalah kayu gaharu” (HR. Imam Bukhari)

Demikian juga hadits shahih riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya,

عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا أَجْمَرْتُمُ الْمَيِّتَ، فَأَجْمِرُوهُ ثَلَاثًا
“Dari Abu Sufyan, dari Jabir, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : Apabila kalian mengukup mayyit diantara kalian, maka lakukanlah sebanyak 3 kali” (HR. Ahmad)

Shahih Ibnu Hibban juga meriwayatkan sebuah shahih (atas syarat Imam Muslim):

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فأوتروا
“Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam bersabda : “Apabila kalian mengukup mayyit, maka ukuplah dengan bilangan ganti (ganjilkanlah)” (HR. Ibnu Hibban, diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah)

Disebutkan juga bahwa sahabat Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam berwasiat ketika telah meninggalkan dunia, supaya kain kafannya di ukup.

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ أَنَّهَا قَالَتْ لِأَهْلِهَا: «أَجْمِرُوا ثِيَابِي إِذَا مِتُّ، ثُمَّ حَنِّطُونِي، وَلَا تَذُرُّوا عَلَى كَفَنِي حِنَاطًا وَلَا تَتْبَعُونِي بِنَارٍ
“Dari Asma` binti Abu Bakar bahwa dia berkata kepada keluarganya; "Berilah uap kayu gaharu (ukuplah) pakaianku jika aku meninggal. Taburkanlah hanuth (pewangi mayat) pada tubuhku. Janganlah kalian tebarkan hanuth pada kafanku, dan janganlah mengiringiku dengan membawa api."

Riwayat shahih ini terdapat dalam Al-Muwaththa’ Imam Malik, As-Sunan Al-Kubro Imam Al-Baihaqi. Bahkan, ada juga riwayat tentang meng-ukup masjid:

جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُمْ، وَخُصُومَاتِكُمْ وَحُدُودَكُمْ وَشِرَاءَكُمْ وَبَيْعَكُمْ وَجَمِّرُوهَا يَوْمَ جَمْعِكُمْ، وَاجْعَلُوا عَلَى أَبْوَابِهَا مَطَاهِرَكُمْ
“Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari anak-anak kecil kalian, dari pertikaian diantara kalian, pendarahan kalian dan jual beli kamu. Ukuplah masjid-masjid itu pada hari perhimpunan kamu dan jadikanlah pada pintu-pintunya itu alat-alat bersuci kalian. (HR. Imam Al-Thabrani didalam Al-Mu’jram al-Kabir. Ibnu Majah, Abdurrazaq dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan redaksi yang hampar sama)

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah pernah menyebutkan dalam kitabnya Siyar A’lam An-Nubala’ (5 /22 ) tentang biografi Nu’aim Bin Abdillah Al-Mujammar, sebagai berikut :

نعيم بن عبد الله المجمر المدني الفقيه ، مولى آل عمر بن الخطاب ، كان يبخر مسجد النبي صلى الله عليه وسلم .
“Nu’aim Bin Abdillah Al-Mujammar, ahli Madinah, seorang faqih, Maula (bekas budak) keluarga Umar Bin Khattab. Ia membakar kemenyan untuk membuat harum Masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Masih banyak lagi riwayat-riwayat yang serupa. Dan dari sebagian riwayat-riwayat yang disebutkan diatas, diketahui bahwa penggunaan kemenyan merupakan hal biasa pada masa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, demikian juga pada masa para sahabat dan seterusnya. Baik sebagai wangi-wangian maupun hal-hal yang bersifat keagamaan.

Hingga Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pun pernah berkomentar mengenai kemenyan ini didalam kitabnya Zadul Ma’ad (4/315) yakni mengenai kemenyan India :

العود الهندي نوعان، أحدهما: يستعمل في الأدوية وهو الكست، ويقال له: القسط وسيأتي في حرف القاف. الثاني: يستعمل في الطيب، ويقال له: الألوة. وقد روى مسلم في " صحيحه ": عن ابن عمر رضي الله عنهما، أنه ( «كان يستجمر بالألوة غير مطراة، وبكافور يطرح معها، ويقول: هكذا كان يستجمر رسول الله صلى الله عليه وسلم،» ) وثبت عنه في صفة نعيم أهل الجنة ( «مجامرهم الألوة» )
”Kayu gaharu india itu ada dua macam. Pertama adalah kayu gaharu yang digunakan untuk pengobatan, yang dinamakan kayu al-Kust. Ada juga yang menyebutnya dengan al-Qusth, menggunakan hurug “Qaf”. Kedua adalah yang digunakan sebagai pengharum, yang disebut Uluwwah. Dan sungguh Imam Muslim telah meriwayatkan didalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anh, bahwa beliau (Ibnu Umar) mengukup mayyit dengan kayu gaharu yang tidak dihaluskan, dan dengan kapur barus yang dicampur dengan kayu gaharu. Kemudian beliau berkata, “Beginilah cara Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengukup mayyit. Dan terbukti sebuah hadits lain riwayat Imam Muslim perihal mensifati keni’matan penghuni surga, yaitu “pengukupan/kemenyan ahli surga itu menggunakan kayu gaharu”.

Ternyata kemenyan juga memiliki banyak manfaat. Selain untuk wangi-wangian, juga sebagai pengobatan, bumbu rokok, bahkan untuk aroma terapi.

Kemenyan mengandung olibanol, materi resin, dan terpenes. Kandungan lain, saponin, flavonoida dan polifenol. Dan kini para ilmuwan telah mengamati bahwa ada kandungan dalam kemenyan yang menghentikan penyebaran kanker. Namun, belum diketahui secara pasti kemungkinan kemenyan sebagai antikanker.

Namun dulu pada abad kesepuluh, Ibnu Sina, ahli pengobatan Arab, merekomendasikan kemenyan sebagai obat untuk tumor, bisul, muntah, disentri dan demam.

Dalam pengobatan tradisional Cina, kemenyan digunakan untuk mengobati masalah kulit dan pencernaan. Sedangkan di India, kemenyan digunakan untuk mengobati arthritis. Khasiat kemenyan sebagai obat arthritis tersebut mendapat dukungan dari penelitian laboratorium di Amerika Serikat.

Kemenyan yang biasa digunakan untuk urusan mistis ternyata berdasarkan hasil penelitian juga mampu menurunkan kadar kolesterol jahat.

Penelitian yang dilakukan oleh King Abd Al-Aziz University di Arab Saudi menemukan bahwa kemenyan bisa menurunkan kadar kolesterol jahat.

Kemenyan, menurut peneliti Nadia Saleh Al-Amoudi, bisa dipadukan dengan materi dari tumbuhan lainnya untuk meningkatkan kesehatan jantung. Akan tetapi, masih belum ditemukan cara yang jelas agar manusia bisa mengonsumsinya. Selain itu juga bermanfaat untuk mengatasi sakit tenggorokan, hidung mampat, bekas luka dan luka bakar.

Minggu, 17 Juli 2016

Menyempurnakan Cahaya Bulan Ramadhan Menjadi Cahaya Syawal

Menyempurnakan Cahaya Bulan Ramadhan Menjadi Cahaya Syawal Tanpa Batas

"Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan Cahaya) al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu berpuasa, (akan) menyaksikan bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu membesarkan (Nur) Allah (yang telah) ditunjukkan-Nya kepadamu, supaya (Nur Allah yang) kamu (saksikan semakin) terbuka.” (QS. Al-Baqarah: 185)



“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa selama setahun” (HR. Muslim no. 1164, Abu Dawud no. 2433, At-Tirmidzi no. 759)

Puasa itu berasal dari bahasa sankrit dari kata upaviyasa/Viyasa/Vuyasa/Upavasa yang mempunyai beberapa arti antara lain :

a. Menetap, tetap berdiam di suatu tempat.
b. Tetap bergeming, tidak bergerak.
c. Tetap bertekun melakukan sesuatu.
d. Tetap bertekun melaksanakan sesuatu komitmen dengan segala konsekuensinya.
e. Tetap bertekun melaksanakan tuntutan/ syarat ritual dengan menyangkal nafsu-nafsu badani (mengkebiri); tidak makan/minum dalam jangka waktu yang ditentukan oleh aturan agama (khususnya Hindu)

Sedangkan kata shaum atau shiyam itu artinya mengekang, mengendalikan atau menahan.
Jadi dalam berpuasa, yang di tahan atau dikekang atau dikendalikan adalah hawa nafsu atau aliran kesadaran yang ada atau mengalir melalui 9 lubang inderawi yang ada dalam diri.

Sedangkan tujuan shiyam itu tergantung dari berapa banyak lubang yang ditahan/dikekang.
Tingkatan Shiyam yang tertinggi adalah menahan ke 9 lubang tersebut secara bersamaan sekaligus, yang bertujuan untuk liqo dengan Allah.

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw :
"Shaum itu untuk Ku dan Akulah yang berhak memberi ganjarannya".
Apa ganjaran bagi yg bershiyam level seperti itu? Ganjarannya adalah kegembiraan saat bertemu dengan Tuhannya, sesuai dengan hadits : "Setiap orang yang bershaum akan mendapatkan 2 farhat / kegembiraan yaitu saat ifthar/berbuka dan saat liqo robbihi"

Dalam Al Quran di informasikan bahwa Allah itu adalah Nur Langit dn Bumi (QS 24 : 35) yang kalau dihubungkan dengan ganjaran orang yang bershiyam akan menyaksikan dan bertemu dengan Nya, maka didalam surat 2 ayat 185 peristiwa itu di simbolkan dengan kalimat " faman syahida minkumusy syahra falya shumhu = maka barang siapa diantara kamu bershiyam maka kamu akan melihat Syahr (bulan = Cahaya Allah tingkat 2)

Syahrun adalah simbol dari penampakan Nur Allah yang sinarnya berada di tingkat 2 . Hilalun adalah simbol dari penampakan Nur Allah yang sinarnya berada di tingkat 1 . Qomarun adalah simbol dari penampakan Nur Allah yang sinarnya berada di tingkat 3 . Badrun adalah simbol dari penampakan Nur Allah yang sinarnya berada di tingkat 4.

Orang yang bershaum harus terus menyempurnakan kadar Cahaya Allah yang terlihat itu sampai tingkat Badrun atau Purnama. Yang dikiaskan dengan berpuasa sebulan penuh. Dalam Al Quran Surat 2 : 185, hal ini di kiaskan dengan kalimat : Wa litukmilul idatta = dan hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya.

Kalau sudah menyempurnakan Cahaya Allah dengan Cahaya Penuh, maka kita harus meningkatkan lagi kesempurnaannya, yang dikiaskan dengan melakukan Shiyam Syawal selama 1 Ahad (6 hari). Syawal = Meningkat.

Hal ini dikiaskan dalam surat 2 : 185, dengan kalimat : "wa litukabbirullaaha ‘alaa maa hadaakum" = Dan hendaklah kalian membesarkan Nur Allah yang telah ditunjukkan Nya kepadamu.

Kalau itu sudah terlaksana dangan baik, maka Insya Allah kita memasuki peningkatan (Syahrul Syawal) dalam menyaksikan kehadiran Nur Allah saat bershiyam, yang diibaratkan dengan tingkatan yang lebih baik dari shaum selama setahun. Hal ini dikiaskan dengan kalimat: "wa la'alakum tasykurun" = dan semoga (Rahasia Tingkatan Nur Ilahi yang) kalian (saksikan semakin) terbuka. Syukur = Terbuka. Kufur = tertutup.

Oleh karena itu, marilah kita tingkatkan shiyam kita dengan Shiyamul Syawal agar Cahaya Ilahi yang kita saksikan lebih meningkat lagi tingkat keterangannya dan semakin terbuka rahasia alam keTuhanan dan ayat-ayat Nya yang tergelar di dalam Al Quran (ayat Qauliyah), ayat yang ada di Alam Semesta (ayat Kauniyah) dan ayat yang ada dalam diri (ayat nafsiyah)

Malam Terang Seribu Bulan (Lailatul Qadr)

Salah satu momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh kaum beriman ialah Lailatul Qadr (Laylat-u'l-Qadr) dalam bulan Ramadhan. Sama halnya dengan berbagai momen keagamaan seperti Maulid, Isra' Mi'raj, Nuzulul Qur'an, dan dua hari raya, Lailatul Qadr menghasilkan bentuk-bentuk tertentu tradisi budaya keagamaan. 

Di sebagian daerah negeri kita ini, seperti Jawa Timur, Lailatul Qadr menghasilkan tradisi selamatan "maleman" pada tanggal-tanggal ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Selamatan itu dibarengi dengan tradisi "oncoran", yaitu kelompok anak muda yang masing-masing membawa obor untuk dibawa keliling desa, seolah-olah hendak membawa cahaya kebenaran kepada penduduk desa itu karena datangnya Lailatul Qadr. 

Di tempat-tempat lain ,tentu ada bentuk-bentuk tradisinya sendiri, yang semuanya mengungkapkan betapa pentingnya malam yang kudus itu. Ditilik dari maraknya tradisi budaya keagamaan itu, maka jelas ada sesuatu yang harus kita pahami lebih jauh mendalam dan luas tentang Lailatul Qadr. Karena perjalanan waktu yang panjang, banyak sekali budaya keagamaan yang akhirnya kosong dari makna dan tinggal sebagai kebiasaan lahiri dan formal saja. 

Gambar : Lailatul Qadr
Pernyataan ini bukanlah usaha untuk mengecilkan arti suatu budaya keagamaan. Setiap masyarakat memerlukan prasarana perlambangan untuk menguatkan makna-makna hidup yang lebih mendalam. Tetapi perlambangan yang sudah memfosil dan berubah menjadi seolah-olah tujuan dalam dirinya sendiri akan muspra, tanpa guna. Karena itu berikut ini kita akan coba melihat lebih jauh makna Lailatul Qadr dan hikmahnya bagi manusia dan kemanusiaan.


Secara harifah, Lailatul Qadr berarti "Malam Penentuan" atau "Malam Kepastian", jika kata-kata qadr dipahami sebagai sama dengan asal kata-kata taqdir. Tetapi ada juga yang mengartikan Lailatul Qadr dengan "Malam Kemahakuasaan", yakni kemahakuasaan Tuhan, jika kata-kata al-Qadir, yang artinya "Yang Maha Kuasa", salah satu sifat Tuhan. Sudah tentu kedua pengertian itu tidak bertentangan-meskipun pengertian yang pertama lebih umum dianut orang. Kedua pengertian itu saling melengkapi.


Dalam al-Qur'an, penyebutan dan gambaran ringkas tentang Lailatul Qadr itu dikaitkan dengan malam diturunkannya al-Qur'an, yaitu dalam surat al-Qadr 97 : 1-5


Sesungguhnya Kami telah turunkan dia (al-Qur'an) pada Lailatul Qadr, Dan apakah yang membuat engkau tahu apa itu Lailatul Qadr ? Lailatul Qadr adalah lebih baik dari pada seribu bulan. Pada malam itu, turun para malaikat dan Ruh dengan izin Tuhan mereka, membawa segala perkara. Damailah dia (Malam itu) hingga terbit fajar.


Jadi disebutkan bahwa Allah menurunkan Al-Qur'an pada malam Lailatul Qadr yang nilainya lebih baik dari pada seribu bulan atau sekitar delapan puluh tahun (kurang lebih umur maksimal manusia). Hal itu demikian karena pada malam itu para malaikat turun, begitu juga Ruh Kudus. Mereka turun dengan membawa ketentuan tentang segala perkara bagi seluruh alam, khususnya umat manusia. Malam itu adalah suatu kedamaian, hingga terbit fajar di pagi hari.

Pengertian seperti di atas itulah adalah yang paling umum dipegang kaum Muslimin. Tetapi untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam, kita harus meneliti pengertian masing-masing ungkapan bahwa Allah menurunkan al-Qur'an pada Lailatul Qadr itu. Menurut Ibn 'Abbas sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibn Katsir, yang dimaksud ialah diturunkannya al-Qur'an itu dalam bentuk keseluruhannya secara utuh dan sempurna dari al-Lawh al-Mahfuzh ("Loh Mahfuzh" " Papan Yang Terjaga" ke Bayt al-'Izzab (Wisma Kemuliaan) di langit terendah (langit dunia), lalu diturunkan kepada Nabi SAW secara rinci menurut kejadian-kejadian historis masa beliau selama dua puluh tiga tahun. Malam diturunkannya al-Qur'an sebagai Malam Yang Diberkati (laila Mubarakah), ( QS 44 : 3 ) dan malam itu ada dalam bulan Ramadhan :

Bulan Ramadhan, yang padanya diturunkan al-Qur'an, sebagaio petunjuk bagi umat manusia, dan sebagai penjelasan-penjelasan tentang petunjuk (yang telah lalu) dan pembeda (antara mana yang benar dan mana yang salah) ( QS Al Baqarah 2 : 185)

Yang sedikit menjadi persoalan ialah, tanggal berapa Lailatul Qadr dan Lailah Mubarakah itu dalam bulan Ramadhan? Bagi bangsa Indonesia hal ini menjadi lebih menarik, karena ada tradisi nasional untuk memperingati secara resmi malam diturunkannya al-Qur'an itu, yang biasa disebut malam Nuzulul Qur'an (Nuzul-u'l-Qur'an) pada tanggal 17 Ramadhan (yang kebetulan adalah juga tanggal Proklamasi Kemerdekaan). Konon yang menjadi memilih tanggal itu sebagai Hari Nuzulul Qur'an adalah Haji Agus Salim, bapak modernisasi islam di Indonesia, dengan persetujuan Bung Karno. Dalam menentukan pilihannya itu aganya haji Salim merujuk kepada sebuah firman dalam al-Qur'an.

Dan ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu dapati sebagai harta rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul-Nya karib-kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta orang yang dalam perjalanan, jika kamu memang beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari yang menentukan, yaitu hari dua pasukan tentara bertemu (berperang). Allah maha Kuasa atas segala sesuatu. QS Al An fal 8 : 41 )

Jadi firman Allah itu menjelaskan ketentuan tentang bagaimana harta rampasan perang harus dibagi-bagi dan siapa saja berhak. Ketentuan itu harus diterima oleh kaum beriman, jika memang mereka beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang diturunkan oleh-Nya kepada Nabi SAW "pada hari yang menentukan, yaitu hari ketiga dua pasukan bertemu dalam pertempuran". 

Tafsir Ibn Katsir, berdasarkan berbagai sumber, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan "hari yang menentukan" itu ialah hari perang badar. Juga berdasarkan berbagai sumber, Ibn Katsir mengatakan bahwa perang badar itu terjadi pada hari Jum'at tanggal 17 Ramadhan (Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga hari jum'at). pada perang badar itu dua pasukan, Muslim dan Musyrik, bertemu dalam pentempuran. Perang badar disebut "hari yang menentukan" (yawm al-furqaan) karena perang itu yang pertama kali dialami oleh Nabi. SAW dan kaum beriman para pengikut beliau, dengan kemenangan yang telak, kemenangan yang benar (al-haqq), tauhid, atas yang palsu (al-bathil), syirik. 

Seandainya dalam perang itu Nabi dan kaum beriman kalah, putuslah sudah agama yang mereka bela dan tegakan, dan teguhlah faham-faham palsu, khususnya kemusyrikan. Tapi karena kemenangan telah tersebut, maka Nabi dan kaum beriman telah berhasil memastikan, dengan pertolongan Allah SWT, bahwa yang benar selamanya akan menang, dan palsu selamanya akan kalah.


Sejarah Nabih SAW dan kaum beriman selanjutnya membuktikan hal itu semua. Jika benar demikian itu, maka sesungguhnya tanggal 17 Ramadhan, malam Nuzulul Qur'an adalah juga Lailatul Qadr. Hal ini menjadi berbeda dengan yang umum sekali dipercayai kaum Muslim, berdasarkan keterangan Nabi SAW dalam hadits, bahwa Lailatul Qadr adalah salah satu malah dari malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. 

Yang menarik ialah bahwa Nabi SAW tidak menjelaskan dengan rinci malam yang mana dari malam-malam ganjil itu yang sesungguhnya malam Lailatul Qadr. Sikap Nabi ini ditafsirkan sebagai suatu hikmah agar kaum Muslim tidak mengkhususkan ibadat banyak-banyak hanya dalam satu malam tertentu saja, tetapi terus-menerus melakukannya dalam lima malam hari-hari terakhir bulan puasa yang penuh berkah itu. Tetapi karena perbedaan tersebut itu, maka di negeri kita ada sesuatu yang amat unik (tidak terdapat di negeri Islam lain manapun juga), yaitu bahwa Nuzulul Qur'an adalah berbeda dengan Lailatul Qadr.


Sudah tentu tradisi peringatan resmi Nuzulul Qur'an itu adalah baik sekali, karena itu harus dipertahankan. Sebab telah terbukti membawa hikmah yang amat bermakna bagi kehidupan nasional kita. Namun adanya perbedaan tersebut ada baiknya dicari "penyelesaiannya", sehingga "tidak menganggu".


Agak ada perbedaan tafsiran tentang apa sebenarnya yang diturunkan Allah pada "hari yang menentukan" atau Perang badar sebagaimana disebutkan dalam firman terkutip di atas. Tafsir Ibn Katsir mengesankan pengertian bahwa yang diturunkan Allah pada Perang Badar ialah ketentuan tentang pembagian harta rampasan perang, bukan al-Qur'an itu sendiri secara keseluruhannya. Tetapi A. Yusuf Ali, seorang penerjemah al-Qur'an ke dalam Bahasa Inggris dengan komentar yang diakui paling absah oleh Dunia Islam, mengisyaratkan bahwa memang yang diturunkan Allah pada "hari yang menentukan" (Yawm-u'lFurqaan) itu adalah al-Qur'an itu sendiri, mungkin dalam pengertian seperti diajukan oleh Ibn 'Abbas terkutip di atas. Isyarat A. Yusuf Ali itu terjadi karena ia menerangkan apa makna al-Furqaan (Penentu pembeda antara yang benar dan yang palsu) dengan melakukan rujukan silang (cross refrence) kepada ayat-ayat di tempat lain dalam al-Qur'an.

Dalam surat al-Qadr yang diterjemahkan di agas terbaca ayat yang terjemahannya "Pada malam itu, turun para malaikat dan Ruh dengan izin Tuhan mereka, membawa segala perkara". Lagi-lagi di sini ada sedikit perbedaan tentang apa yang dimaksud dengan "ruh" dan "amr" ("segala perkara"). Muhmmad Asad, seorang penerjemah dan penafsir al-Qur'an yang juga sangat tinggi otoritasnya, mengartikan "ruh" dalam firman itu tidaklah sebagai Ruh Kudus atau Malaikat Jibril, melainkan "wahyu Illahi" itu sendiri atau "ilham Ilahi" (bagi yang bukan nabi) dalam artian yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Baginya, pengertian ini menjadi jelas dalam kaitannya dengan makna perkataan "ruh" dan "amr" di beberapa ayat dalam al-Qur'an. Misalnya, firman Allah :

Ia turunkan malaikat dengan wahyu dari perintah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki dari para hamba-nya : "Hendaklah kamu beri peringatan bahwa tiada Tuhan melainkan Aku. Karena itu, bertakwalah kamu sekalian kepada-Ku".( QS 16 : 2)

Pengertian "ruh", sebagai wahyu Illahi itu lebih jelas lagi dari Firman Allah :

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) roh dari perintah Kami; engkau dahulu tidak pernah mengetahui apa itu Kitab dan apa itu iman, akan tetapi Kami jadikannya cahaya yang dengan itu Kami membimbing siapa yang Kami kehendaki di antara para hamba Kami. Sesungguhnyalah engka memberi petunjuk kejalan yang lurus. ( QS 42 : 52)

Berdasarkan itu semua maka makna bahwa istilah "ruh" dalam al-Qur'an sering digunakan dalam pengertian 'Wahyu Illahi", karena wahyu itu, seperti halnya dengan roh atau jiwa, memberi kehidupan kepada hati yang mati dalam kebodohan (tidak tahu yang benar dan yang palsu). Perkataan "ruh" yang secara harfiah berarti "jiwa" (atau "sukma") itu, dalam konteks ayat kedua terkutip di atas, jelas menunjukkan pengertian "Wahyu Illahi" yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW, yaitu al-Qur'an, yang dianugerahkan untuk membimbing manusia kepada kehidupan ruhani yang lebih intensif.

Selanjutnya, bahwa wahyu Illahi itu adalah sesuatu, seperti roh, yang memberi kehidupan spiritual kepada manusia dengan jelas disebutkan dalam al-Qur'an :

"Wahai orang-orang yang beriman, sambutlah Allah dan Rasul-Rasul-Nya apabila Dia menyeru kamu kepada sesuatu yang menghidupkan kamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menyekat antara diri seseorang dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan.( QS 8 : 24 )

Jadi kalau dalam Lailatul Qadr itu disebutkan para malaikat dan roh turun dengan membawa segala perintah, menurut penafsiran di atas itu artinya ialah turunnya wahyu Illahi yang mencakup segala perintah Allah dan yang membawa kepada vitalitas spiritual umat manusia. Karena itu Lailatul Qadr adalah momen agung yang amat menentukan hidup manusia seumur hidup (sampai seribu bulan atau delapan puluh tahun), ketika orang bersangkutan memiliki kesiapan ruhani yang bersih untuk menerima wahyu Illahi itu, yang dalam hal ini ialah menerima, memahami, menghayati dan mengamalkan al-Qur'an.

Dengan pengertian-pengertian di atas itu, Lailatul Qadr memang merupakan "malam Penentuan" dan Malam Kemahakuasaan Allah". Ini jelas sekali jika dikaitkan dengan apa arti kehadiran al-Qur'an bagi umat manusia. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, khususnya sejarah agama-agama, al-Qur'an tidak hanya mempengaruhi dan membawa perubahan kepada kaum Muslim saja, melainkan secara langsung atau tidak langsung juga mempengaruhi dan membawa perubahan kepada seluruh umat manusia.

Sementara itu, ada penafsiran mistis yang menarik sekali, yang dikemukakan oleh A. Yusuf Ali. Dikaitkan dengan hikmah perbedaan pandangan tentang kapan sebenarnya lailatul Qadr itu dalam bulan Ramadhan, atau keterangan Nabi SAW sendiri yang agaknya sengaja tidak dengan spesifik menunjukkan kapan itu sebenarnya, maka Yusuf Ali lebih menafsirkannya sebagai momen mistis. Apalagi jika disebut bahwa malam itu lebih baik daripada seribu bulan, yang dapat diartikan tidak secara harfiah melainkan sebagai simbolisasi bahwa lailatul Qadr itu "mengatasi waktu" (transcends time), karena sebagai Malam Penentuan dan Malam Kemahakuasaan Tuhan yang telah melenyapkan gelapnya kebodohan, dengan wahyu-Nya, dalam semua perkara. Untuk pandangannya ini, dan sebagai pengantar kepada terjemah dan komentarnya kepada surat al-Qadr, Yusuf Ali mengubah syair yang indah sekali :

Sesungguhnya diberkati Lailatul Qadr

Ketika Rahmat Wahyu Ilahi menembus Kegelapan sukma manusia!

Semua Kekuatan melaikat, dari dunia Ilahi, Bergegas dalam Pesan mistik Kasih mereka, Atas perintah Allah, dan memberkati setiap relung Dan sudut hati manusia! Semua ruangTerpukau dalam daulat Damai sempurna, Sampai tiba saatnya masa yang fana ini memberi tempat Kepada hari penuh keagungan dari suatu dunia abadi

Dari semua momen dalam hidup manusia, tentu ada satu momen yang menentukan hidup seseorang sepanjang umurnya. Momen itu dapat disebut sebagai "Momen Penentuan", sebanding dengan Lailatul Qadr, bagi pribadi bersangkutan. Momen itu selalu dibarengi dengan suasana damai dan bahagia, yang merupakan dampak keruhanian karena merasakan hadirnya kebenaran yang ditemukan. Karena itu akan mempengaruhi seluruh hidupnya sepanjang umur.

Lailatul Qadr yang disebutkan dalam al-Qur'an adalah "Momen Penentuan" bagi manusia dan kemanusian universal. Bersamaan dengan itu, sebagai malam mistis penuh barkah keruhanian yang hening dan damai, Lailatul Qadr dalam bulan Ramadhan dapat mewujudkan suasana batin pribadi yang suci dan damai, sebagai pertanda "intervensi Illahi" kepada pribadi bersangkutan, berupa keyakinan yang diperbaharui dan diperteguh, mungkin bahkan diketemukan untuk pertama kalinya dalam hidup, tentang kebenaran dan ksucian. Karena itu agama memberi arahan, agar setiap pribadi, dalam bulan suci Ramadhan yang penuh berkah, mencari Lailatul Qadr yang mungkin dianugerahkan Allah khusus baginya – sama dengan turunnya para malaikat dan "ruh" kepadanya yang membawa segala petunjuk kebenaran Illahi dan kedamaian hidup selama-lamanya. Lailatul Qadr yang demikian itu, sebagai "malam penentuan" dan "malam kemahakuasaan Tuhan", memang mengatasi sang waktu, karena kebahagiaan yang mewujudkannya adalah abadi. Dan dapat sangat pribadi, sehingga saatnya pun dapat berbeda-beda dari seseorang ke orang lain. Maka Nabi SAW tidak menyebutkan kapan tepatnya malam itu.


LAILATUL QADRI

Ketika margasatwa tak berbunyi
Ketika gunung nafasnya terhenti
Ketika angin tiupnya sunyi dan sepi
Ketika pohon-pohon tunduk ke bumi

Dalam gelap malam dan bulan yang suci
Cahaya Qur'an turun ke Ardhi
Itulah Lailatul Qadri
Ketika penglihatan diri tertutupi

Ketika pendengaran diri sunyi dan sepi
Ketika ucapan diri dak berbunyi
Ketika nafas diri tlah mati
Dalam gelap malam dan bulan yang suci

Cahaya Tuhan menyinari bumi
Itulah Lailatul Qadri
Ketika Tuhan menyingkapkan hijab diri
Ketika Tuhan menghapus dosa-dosa diri

Ketika Tuhan menyeka air mata diri
Ketika Tuhan mensucikan inderawi diri
Dalam gelap malam dan bulan yang suci
Cahaya Tuhan menerangi bumi

Itulah Lailatul Qadri
Ketika Cahaya Qur'an turun ke bumi dir
Ketika Cahaya Tuhan menyinari bumi diri
Ketika Cahaya Tuhan menerangi bumi diri

Ketika Cahaya Tuhan Tersaksikan oleh diri
Itulah Lailatul Qadri
Tetapi ...kebanyakan manusia tidak mengerti
Karena tidak mengenal diri dan Illahi