Selasa, 19 Juli 2016

Menggapai Kebahagiaan yang Sejati

Setiap umat manusia di muka bumi ini sangat mengharapkan kebahagiaan, sehingga banyak umat manusia yang berlomba-lomba untuk mendapatkan kebahagiaan dengan berbagai cara, sesuai dengan kemampuan dan pandangan mereka masing-masing tentang kebahagiaan tersebut, karena setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksud dengan kebahagiaan. Terkadang untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut, kita menghalalkan segala cara, sehingga terjadilah ketidakseimbangan dalam kehidupan kita. Oleh sebab itu makalah ini mencoba untuk membahas tentang apa yang disebut kebahagiaan yang hakiki dan bagaimana mendapatkan kebahagiaan yang hakiki tersebut.
 
Hakikat Bahagia
 

Setiap orang akan berbeda-beda pendapat ketika kita tanyakan apa yang dimaksud dengan kebahagian itu. Mereka akan memandang kebahagiaan itu berdasarkan kebutuhan mereka sendiri-sendiri. Seorang yang sedang dilanda kemiskinan harta, akan berpendapat bahwa kebahagiaan adalah apabila mendapatkan harta kekayaan yang berlimpah-limpah, karena dengan adanya harta kekayaan yang banyak, maka segala yang diinginkannya tentu akan tercapai. Seorang yang mempunyai harta yang banyak, tetapi ia saat itu sedang menderita penyakit yang kronis, akan berpendapat bahwa kebahagiaan adalah apabila ia disembuhkan dari penyakitnya yang kronis tersebut. Ia tidak memperdulikan berapa banyak harta kekayaan yang harus dikeluarkan, demi mendapatkan kesembuhan atas penyakitnya tersebut. Seorang penulis akan berpendapat bahwa kebahagiaan adalah apabila buku atau karya tulisnya dikagumi oleh pembacanya. Dan masih banyak lagi pendapat tentang bahagia, yang apabila diuraikan dimakalah ini akan memerlukan banyak halaman. Oleh sebab itu penulis hanya akan mengutip beberapa pendapat tentang bahagia.

Kebahagiaan dalam bahasa Indonesia, termasuk dalam kelompok kata sifat, yang hanya bisa diketahui oleh indera rasa, sehingga untuk mengetahui apa hakikat kebahagiaan tersebut kita harus merasakan apa yang disebut rasa bahagia itu. Jadi, perkara kebahagiaan itu merupakan hal yang bersifat dimensi rasa perasaan. Berdasarkan hukum kausalitas rasa bahagia merupakan akibat dari suatu sebab. Misalnya seorang yang sedang lapar kemudian memakan makanan yang lezat, maka akan menimbulkan rasa bahagia pada orang tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa perasaan bahagia akan timbul apabila kebutuhan atau keinginan seseorang pada saat itu terpenuhi. Karena kebutuhan manusia bermacam-macam bentuknya dan juga bertingkat-tingkat, maka rasa bahagia sebagai akibat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut, juga bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Tingkatan kebutuhan manusia pada hakikatnya mengikuti tingkatan akal atau derajat akalnya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw :

Suatu hari Aisyah ra bertanya kepada Rosulullah saw :

“Ya Rosulullah dengan apakah kelebihan sebagian manusia dari manusia lainnya? Rosulullah menjawab” Dengan akal!”. Dan di akhirat? Dengan akal juga kata beliau! bukankah seorang manusia lebih banyak mendapat pahala karena amal ibadahnya? kata Aisyah pula. “Hai Aisyah, bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar akalnya? sekedar ketinggian akalnya, sebegitulah ibadah mereka dan menurut amal itu pula pahala yang diberikan kepada mereka. Kemudian Rosulullah bersabda: “Allah membagi akal dengan tiga bagian siapa yang cukup mempunyai ketiga bagiannya, sempurnalah akalnya, kalau kekurangan walau sebagian, tidaklah ia termasuk orang yang berakal”. Ya Rosulullah manakah bagian yang tiga macam itu?. Kata beliau: “pertama baik ma’rifatnya kepada Allah, Kedua baik taatnya kepada Allah dan ketiga baik pula sabarnya atas ketentuan Allah”. (HR Bukhori)

Dari sabda Nabi tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa derajat manusia itu sesuai dengan derajat akalnya. Tingkat tertinggi dari akal adalah akal yang telah tercerahkan oleh Cahaya Allah. Dengan kata lain bahwa kedudukan derajat akal yang tertinggi adalah akal yang telah mengenal Sang Penciptanya yaitu Allah. Imam Ghazali mengatakan :

“Bahagia dan kelezatan yang sejati adalah bilamana dapat bertemu Allah dan mengingat Allah. Ketahuilah bahwa kebahagiaan tiap-tiap sesuatu adalah bila kita merasakan nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu sesuai dengan sifat kejadian masing-masing, maka kelezatan mata adalah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga adalah mendengar suara yang merdu, demikian pula anggota badan yang lain ditubuh manusia. Adapun kebahagiaan rohani adalah ma’rifat kepada Allah, karena rohani itu dijadikan untuk menemui Allah kemudian mengingat-Nya. Rohani yang dulu mengenal Allah, kemudian ia dapat kesempatan untuk mengenal Allah, maka ia sangat bergembira dan tidak sabar untuk terus bertemu dengan Allah, karena kelezatan mata rohani memandang Dzat Yang Maha Indah, karena Allah memang Maha Indah sesuai Hadits : Innalloha jamilun, yuhibbul jamil. Oleh sebab itu tidak ada satu ma’rifat yang lebih lezat dari pada mariftullah, tidak ada suatu pandangan yang lebih indah dari pada memandang Allah (QS Asy-Syam 91 : 22-23) Wujuhu yaumaidzin naadhirah illa robbiha nazhira. Sebab segala kelezatan, kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan dan suka cita yang ada di atas di dunia, semua yang bertakluk kepada pertimbangan nafsu, dan timbul karena ada nafsu dan semuanya akan terhenti perjalanannya apabila telah kebatasnya, yaitu kematian. Tetapi kebahagian ma’rifatullah bukan bertakluk dengan nafsu, dia tunduk pada rohani. Maka perasaan rohani tidak terhenti oleh mati.

Rohani tidak mati lantaran perpindahan hidup dari Fana ke Baqa. Bahkan bila tubuh kasar ini mati, bertambah bersihlah rohani itu, karena tidak ada pengganggunya lagi, sebab kekuatan iblis dan hawa nafsu tidak sampai ke sana. Rohani itu telah keluar dari alam yang sempit menuju ke alam yang maha luas, keluar dari gelap gulita menuju terang benderang.

Akhir kata, orang yang telah menemukan kelezatan rohani dengan menemukan kembali Nur Iman yang ada pada dirinya adalah orang yang sudah mencapai Kemenangan Yang Terang ( Fathul Mubbin ) dalam hidupnya, sehingga Allah memberikan kepada orang tersebut anugerah berupa : Ampunan atas dosa masa lalu dan dosa yang akan datang, menyempurnakan nikmat-Nya, menunjukki kepada jalan yang lurus dan memberikan pertolongan yang banyak. Hal ini sesuai dengan firman-Nya :

“ Sesungguhnya Kami telah memberi kemenangan kepadamu dengan kemenangan yang Terang. Supaya Allah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan dating serta menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan menunjukkimu jalan yang lurus dan menolongmu dengan pertolongan yang yang banyak “. ( QS Al Fath 48 : 1- 3 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar