Rabu, 13 April 2016

Hakikat Pernikahan Sebagai Sarana Menemui Allah

Dalam Al Qur’an dan hadits, Allah telah menjelaskan secara tersirat tentang metode untuk menemui Allah (Liqa’ Allah) dan melihat Allah (Ru’yatullah) yaitu :
“....... barang siapa yang mengharapkan menemui Tuhannya, maka kerjakanlah amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada-nya”. (QS Al Kahfi 18 : 110)
Pada ayat tersebut di atas terdapat kalimat “amal yang shalih”. Mungkin kita bertanya dalam hati, apakah yang dimaksud dengan “amal yang shalih” itu ? Kata “amal” mempunyai arti perbuatan atau metode atau cara. Sedangkan istilah “shalih” yang seakar dengan kata “shalah” dan “shalat” mempunyai makna hubungan atau penghantar. Jadi istilah “amal shalih” mempunyai arti suatu perbuatan atau metode yang dapat menghantarkan seseorang kepada pengalaman Liqa’ Allah. 
Amal yang shalih pada hakekatnya adalah amal atau perbuatan atau metode yang telah dicontohkan oleh para Utusan Allah (Rasulullah) dalam usahanya untuk mengadakan pertemuan dengan Tuhannya. Dan yang harus diingat adalah bahwa jumlah para Rasul dan Nabi yang diutus oleh Allah adalah sangat banyak, dan tidaklah mungkin semuanya itu diutus hanya di satu daerah tertentu saja. Allah telah menurunkan para Utusan-Nya itu ke berbagai penjuru dunia. Dan tidak tertutup kemungkinan Allah juga pernah menurunkan Utusan-Nya di negeri Cina atau Shindustan, sehingga Nabi Muhammad Saw memerintahkan umat Islam pada waktu itu untuk belajar ilmu di negeri tersebut.

“Dan tiap-tiap umat ada Rasul Allah....”.(QS Yunus 10 : 47)

“Dan berapa banyak Kami telah mengutus Nabi-Nabi pada umat terdahulu... “. (QS Az Zukhruf 43 : 6)

“Ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepada kamu sebelumnya, dan Rasul-Rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu...... “. (QS an Nisa 4 : 164)

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu orang-orang yang mengharap pertemuan dengan Allah dan hari Akhirat dan banyak mengingat Allah”. (QS Al Ahzab 33 : 21)

Untuk mencapai pertemuan dengan Allah diperlukan usaha dari setiap manusia dengan bimbingan seorang Guru Mursyid yang telah mencapai derajat Ma’rifatullah atau yang telah mengalami pengalaman bertemu Allah dengan berpedoman kepada Kitab-Kitab Suci yang telah diturunkan kepada umat manusia. Prosesi Menemui Allah (Liqa’ Allah) yang telah dicontohkan oleh para Rasul, Nabi dan Para Pewaris Nabi, pada intinya mempunyai satu kesamaan yaitu kita harus dapat melakukan prosesi mengulang kembali ke awal mula penciptaan manusia.

“Dan sesungguhnya kamu datang menemui Kami dengan sendirian seperti Kami ciptakan kamu pada awal mula kejadian dan kamu akan meninggalkan dibelakangmu semua apa yang Kami karuniakan kepadamu….. “. (QS Al An ‘am 6 : 94)

“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang menemui Kami seperti Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu “. (QS Al Kahfi 18 : 48)

“Perempuan-perempuan kamu (istri-istrimu) adalah seperti ladang bagimu, maka datangilah ladangmu sebagaimana kamu kehendaki dan kerjakanlah kebajikan untuk dirimu, bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan menemui-Nya, dan sampaikanlah berita gembira untuk orang-orang yang beriman “. (QS Al Baqarah 2 : 223)

“Dan mereka menanyakan kepadamu tentang haid. Katakanlah, “itu adalah penyakit atau kotoran”. Sebab itu hindarilah perempuan selama masa haid dan janganlah dekati mereka sebelum suci. Bila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri“. (QS Al Baqarah 2 : 222)

“….. Ketika kami sedang berada disisi Rasulullah, tiba-tiba beliau bertanya : “Adakah orang asing diantara kamu ?”. Kemudian beliau bersabda : Angkat tangan kamu dan tutuplah pintumu”. (HR Al Hakim)

“Tutuplah pintumu dan ingat Allah”. (HR Bukhari)

Dalam memahami proses kembali ke awal mula penciptaan manusia, kita sering terjebak dalam cerita atau kisah-kisah yang bersifat simbolis sehingga terjadi penyimpangan dalam menafsirkan dan menerapkannya. Oleh sebab itu dalam memahami prosesi kembali ke awal mula penciptaan manusia, kita harus berpegang pada pedoman sebagai berikut :

Pertama : Setiap Kitab Suci mempunyai ayat-ayat yang bersifat Mukhamat dan Muthasyabihat.

“Dialah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Diantara isinya ada ayat-ayat yang mukhamat, itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat......”. (QS Ali Imran 3 : 7)

Kedua : Setiap ayat yang mengisahkan tentang proses kembali ke awal mula penciptaan manusia, selalu mengandung pengertian yang berpasangan baik lahir maupun batin serta mengandung banyak perumpamaan atau amtsal.
“Dan Kami ciptakan segala sesuatu berpasangan-pasangan supaya kamu mendapatkan pengajaran”. (Ad Dzariyat 51 : 49)

“Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu berpasangan-pasangan diantara yang tumbuh di bumi dalam pada diri mereka dan dari apa yang mereka yang tidak diketahui” (QS Yasin 36 :36)

“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan berulangkali kepada manusia dalam Al Qur’an ini bermacam perumpamaan tetapi kebanyakan manusia enggan menerimanya kecuali ingkar”. (QS Al Isra 17 : 89)
“Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam Al Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan untuk manusia. Dan sesungguhnya jika kamu membawa kepada mereka suatu bukti, pastilah orang-orang yang kafir itu akan berkata : “Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang membuat kebohongan belaka”. (QS Ar Rum 30 : 58)





“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”. (QS Al Ankabut 29 : 43)





Ketiga : Setiap Kitab Suci, ditujukan untuk manusia yang masih hidup, sehingga apa yang diperintahkan, dalam Kitab Suci harus bisa dilaksanakan oleh manusia ketika dia masih hidup di atas dunia.





Berdasarkan tiga pedoman tersebut, kita akan coba untuk membahas ayat-ayat yang menjelaskan metode untuk menemui dan melihat Allah. Dalam surat Al-kahfi 18 : 110 telah dijelaskan bahwa apabila seorang manusia ingin berjumpa dengan Allah selagi masih hidup di dunia, maka ia harus melakukan “amal shalih”. Kata amal mempunyai arti : perbuatan, metode, cara atau laku, sedangkan kata shalih mempunyai arti hubungan, sambungan atau antaran. Jadi pengertian amal shalih adalah suatu perbuatan atau metode yang dapat mengantarkan atau menghubungkan kita kepada pengalaman bertemu dan melihat Allah.





Berdasarkan surat Al An”am 6 : 94 Allah telah memberitahukan bahwa proses bertemunya seorang manusia dengan-Nya adalah seperti ketika manusia diciptakan pada awal mula kejadian. Dengan dalil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa intisari dari metode amal shalih adalah suatu proses pengulangan kembali ke awal mula kejadian penciptaan seorang manusia. Bagaimanakah proses awal mula penciptaan seorang manusia ? Dan apa hubungannya dengan proses bertemunya seorang manusia dengan Allah. Untuk membahasnya, marilah kita lihat sejarah hidup Nabi Muhammad Saw dalam mencari keberadaan Sang Khaliknya.





Sejak lahir sampai berumur 25 tahun, beliau telah diajarkan dan didoktrin oleh para pemuka agama kaum Quraisy bahwa Tuhan yang harus disembah adalah Tuhan-Tuhan yang berwujud patung-patung yang mempunyai nama antara lain Lata Uza, Manata dan lainnya. Dalam diri Muhammad pada waktu itu tidak mempercayai ajaran tersebut, sehingga beliau meminta ijin kepada istrinya Siti Khodijah untuk bertahanuts atau beruzlah mengasingkan diri ke dalam gua Hira dilereng Gunung Cahaya (Jabal Nur) dengan tujuan untuk mencari Tuhan yang sebenarnya.





Selama berbulan-bulan beliau bertahanuts di Gua Hira, tetapi belum juga menemukan cara untuk bertemu sekaligus mengenal Sang Khalik. Tetapi berkat usaha beliau yang tidak kenal menyerah, akhirnya di usia ke 40 tahun, beliau mendapatkan Wahyu yang pertama kali dari Allah yang isinya adalah perintah untuk membaca, merenungkan dan mempelajari proses awal mula penciptaan diri seorang manusia.





“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari Alaqah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Pemurah. Yang mengajari manusia dengan Qalam. Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya”. (QS Al Alaq 96 : 1-5)





Berdasarkan dalil tersebut, marilah kita renungkan, Muhammad pada waktu itu bertahanuts di Gua Hira dengan tujuan untuk mencari, menemui dan mengenal keberadaan Sang Khalik yang sebenarnya, walaupun beliau tidak mengetahui cara atau metode untuk bertemu dengan Sang Khalik. Untuk maksud tersebut, akhirnya Allah memerintahkan agar beliau mempelajari proses awal mula penciptaan seorang manusia dari Al Alaqah. Tentunya Muhammad pada waktu itu bertanya dalam qalbunya, apakah hubungan antara proses awal mula penciptaan manusia dari Al Alaqah dengan proses bertemunya seorang manusia dengan Allah ? Dengan kecerdasan yang dimiliki oleh beliau dan pengajaran yang diajarkan oleh Allah, akhirnya beliau menemukan jawabannya, sehingga akhirnya beliau dapat bertemu dan melihat Allah untuk pertama kalinya di Gua Hira. Kemudian selanjutnya beliau selalu mendapatkan pengajaran dari Allah berupa wahyu-wahyu sampai beliau berusia 63 tahun. Demikianlah sekilas sejarah hidup Nabi Muhammad Saw dalam mencari Tuhannya.





Dari sejarah Nabi Muhammad Saw tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa untuk bertemu dengan Allah kita harus mempelajari proses awal mula penciptaan diri yang bermula dari Al Alaqah. Kata Alaqah mempunyai dua arti yaitu pertama, cinta kasih yang melekat. Arti yang kedua adalah segumpal darah. Dari dua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses penciptaan manusia bermula dari rasa cinta Allah kepada makhluk-Nya. Hal ini sesuai dengan Hadits Qudsi :





“Aku dahulu adalah permata yang tersembunyi. Aku rindu untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk agar ia mengenal-Ku”. (HR. Bukhari)





Rasa cinta Allah kepada makhluk-Nya itu kemudian diberikan kepada ayah ibu kita sehingga timbullah rasa cinta diantara keduanya, yang kemudian dilekatkan dalam sebuah ikatan perkawinan. Kemudian mereka melakukan persenggamaan sehingga terjadilah penyatuan dua rasa cinta yang dilebur menjadi satu. Dalam persenggamaan tersebut terjadilah pelepasan spermatozoa dari ayah, yang selanjutnya mereka bergerak menuju pasangannya yaitu ovum atau sel telur yang berada di dalam rahim. Setelah mereka bertemu maka sperma akan bergerak mengelilingi sel telur sebanyak tujuh kali mirip gerakan Thawafnya para jamaah haji. Setelah itu barulah sperma berusaha untuk menembus lapisan pelindung sel telur dan jika berhasil maka terjadilah penyatuan antara sel telur dengan sperma (nutfah) yang akan mengakibatkan pembuahan yang selanjutnya membentuk segumpal darah atau Al Alaqah yang merupakan cikal bakal janin bayi manusia.





Selanjutnya Alaqah tersebut berproses menjadi mudghah, izhamah dan lahmah kemudian baru menjadi bayi yang sempurna secara jasmaniyah, kemudian Allah meniupkan Ruh-Nya kedalam janin bayi tersebut. Ketika berada di dalam rahim, sang bayi mengalami keadaan dimana semua aktifitas inderawinya tidak berfungsi secara sempurna. Atau dengan kata lain, lubang-lubang inderawinya masih tertutup karena sang bayi berada dalam air ketuban (omnium water) selama kurang lebih 9 bulan, sampai akhirnya sang bayi lahir ke alam dunia ini.





Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses awal mula penciptaan seorang manusia melalui dua tahapan yaitu tahap pertama berasal dari cinta kasih seorang pria dan wanita yang saling dilekatkan dengan ikatan perkawinan dan persenggamaan. Tahap kedua, yang merupakan lanjutan dari tahap pertama yaitu segumpal darah yang melekat di dinding rahim yang terus berproses menjadi janin bayi yang terendam didalam air ketuban selama 9 bulan.





Dalam surat Al An’am 6 : 94 telah diisyaratkan bahwa proses bertemunya seorang manusia dengan Allah adalah seperti proses awal mula penciptaan diri manusia itu sendiri, yaitu persenggamaan kedua orang tuanya dan segumpal darah yang kemudian menjadi bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Mungkin timbul dua pertanyaan dalam diri kita, pertama, apa hubungannya antara persenggamaan dengan proses bertemunya seorang manusia dengan Allah? Pertanyaan kedua, apa hubungannya antara proses penciptaan janin bayi dalam kandungan dengan proses bertemunya seorang manusia dengan Allah?





Inilah masalah yang selama ini dirahasiakan oleh Nabi Muhammad Saw.





“Janganlah engkau berikan ilmu ini kepada yang tidak membutuhkan, karena itu adalah perbuatan zhalim. Tetapi jangan engkau tidak berikan ilmu ini kepada yang membutuhkan, karena itu juga perbuatan zhalim”. (Al Hadits)





Seorang sahabat yang bernama Abu Hurairah juga pernah berkata :





“Aku hafal dua karung (kitab) hadits dari Rasulullah Saw. Yang satu karung (kitab) sudah aku siarkan kepada kalian semua. Sedang yang satu lagi kalau aku siarkan, niscaya dipotong orang leherku”. ( HR Bukhari)





Berdasarkan dalil tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada kitab hadits yang disembunyikan oleh Abu Hurairah, yang kemudian diajarkan hanya kepada orang yang terpilih yang terus diwariskan sampai ke generasi sekarang. Sebagian besar isi dari kitab hadits tersebut berkaitan dengan masalah metode untuk melihat Allah dan bertemu dengan-Nya, melalui proses pengulangan awal mula kejadian penciptaan manusia.





Dengan niat yang baik, penulis mencoba menyingkap masalah tersebut dengan dasar Al Qur’an dan Hadits :





“Dan janganlah engkau sembunyikan kebenaran itu, padahal engkau mengetahuinya”. (QS Al Baqarah 2 : 42)





“Sampaikanlah kebenaran itu walaupun pahit”. (HR Bukhari)

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan atau merahasiakan keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk yang telah Kami turunkan setelah Kami menjelaskannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknat Alllah dan dilaknat pula oleh mereka yang melaknat kecuali orang-orang yang telah bertaubat, berbuat kebaikan dan menerangkan apa-apa yang mereka sembunyikan, maka mereka itulah yang Aku terima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS Al Baqarah 2 : 159-160)

“Sampaikanlah dariku, walaupun satu ayat”. (Al Hadits)





Di dalam Al Qur’an, Allah telah mengisyaratkan hubungan antara persenggamaan dengan proses bertemunya seorang manusia dengan Allah, yaitu :





“Perempuan-perempuan kamu (istri-istri kamu) adalah seperti tempat bercocok tanam bagimu, maka datangilah tempat bercocok tanam milik kamu itu sebagaimana kamu kehendaki. Dan buatlah kebaikan untuk dirimu dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu akan menemui-Nya dan sampaikanlah beritai gembiraini untuk orang-orang yang beriman”. (QS Al Baqarah 2 : 223)





Sebagian besar mufasirin menafsirkan ayat tersebut termasuk ayat yang bermakna mukhamat artinya jelas dan terang sesuai dengan teksnya. Tetapi apabila kita teliti lebih lanjut, terdapat satu keanehan yang tersirat dalam ayat tersebut, yaitu pada awalnya ayat itu berbicara tentang masalah persenggamaan (berjima’) antara seorang suami dengan istri istrinya, tetapi tiba-tiba diakhir ayat tersebut terdapat kalimat : “dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu akan menemui-Nya dan sampaikanlah berita gembira ini kepada orang-orang beriman” Tentunya kita bertanya, Apa hubungannya antara persenggamaan dengan kabar gembira bahwa kita akan menemui Allah ? Mengapa Allah menggabungkan antara permasalahan tatacara bersenggama (berjima’) dengan masalah proses menemui-Nya dalam satu ayat ? Adakah makna yang tersirat dari ayat tersebut ? Inilah permasalahan yang akan kita coba bahas dengan hati-hati, karena hal ini merupakan masalah yang sangat sensitif yang bisa menimbulkan kesalafahaman dan fitnah, seperti yang terjadi pada penulisan kitab “Darmogandul” dan Kitab “Gatoloco” yang menjadi polemik pada waktu itu sampai sekarang ini.





Proses bertemunya seorang manusia dengan Allah adalah melalui suatu proses yang mirip dengan proses awal mula penciptaan manusia (surat Al An’am 6 ayat 94). Kata “mirip” inilah yang harus diperhatikan dan dipahami dengan benar. Kata “mirip” ini merupakan terjemahan dari kata “kamaa”. Kita sering tidak menyadari arti kata “kamaa” ini. Dalam bahasa Arab, kata “kamaa” mempunyai banyak arti yaitu seperti, sebagaimana, bagaikan atau mirip. Dari arti ini dapat disimpulkan, bahwa proses bertemunya seorang manusia dengan Allah adalah seperti proses penciptaan awal mula kejadian manusia yaitu yang diawali dengan persenggamaan antara ayah ibu kita adalah bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi proses tersebut hanya bersifat mirip dengan proses awal mula penciptaan manusia (persenggamaan). Bagaimanakah kemiripannya ?

Untuk memahami permasalahan tersebut, kita harus menyadari bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan berpasangan (QS 51 : 49) Demikian juga diri kita, juga diciptakan dengan berpasangan

“Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (QS Yasin 36 : 36)

Pada bagian akhir ayat tersebut dijelaskan bahwa kita tidak mengetahui secara keseluruhan apa saja yang diciptakan Allah secara berpasangan. Tegasnya, masih banyak yang diciptakan secara berpasangan yang belum diketahui oleh kita, salah satunya adalah tentang diri kita sendiri yang ternyata juga berpasangan.

Diri kita yang bersifat jasmani mempunyai pasangannya yaitu diri yang bersifat ruhani. Diri jasmani kita juga mempunyai pasangan secara jenis kelamin, yaitu pria dan wanita. Dalam pandangan ahli hakikat, pada diri setiap manusia, terdapat syimbol kelakian dan kewanitaan, baik secara genital maupun secara sifat. Secara genital kelakian diberi tanda khusus dengan organ yang berbentuk “huruf alif” atau “lingga” atau “alu”. Sedangkan genital kewanitaan diberi tanda khusus dengan organ vital yang berbentuk “huruf ba” atau “Yoni” atau “lumpang”. Dalam bahasa Arab, organ vital kelakian di sebut Ad Dzakar, sedangkan organ vital kewanitaan disebut Al Untsa. Sifat kelakian disebut dengan istilah Ar Rizal, sedangkan sifat kewanitaan disebut dengan istilah An Nisa.

Setiap diri manusia juga mempunyai dua syimbol kelakian dan kewanitaan sekaligus (aprodite), yaitu tujuh lubang inderawi yang ada di kepala dan tiga lubang yang ada di badan sebagai syimbol kewanitaan, dan sepuluh jari tangan sebagai syimbol kelakian. Inilah makna syimbolis dari hakikat istri, yang di isyaratkan dalam Al Qur’an :

”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kamu istri dari anfusmu sendiri........”. (QS Ar Rum 30 : 21)

“Dia menciptakan kamu dari diri yang satu, kemudia Dia menjadikan daripadanya istrinya......”. (QS Az Zumar 39 : 6)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan istrinya....”. (QS An Nisa 4 : 1)
Tujuh lubang inderawi yang ada dikepala manusia merupakan tempat berkumpulnya empat rasa inderawi yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman dan pengucapan, oleh ahli hakikat dianggap sebagai syimbol “empat istri” yang harus dinikahi secara keseluruhan atau poligami, agar ke empat hawa nafsu yang ada pada lubang-lubang telinga, mata, hidung dan mulut dapat dipimpin dan dikendalikan oleh sang suami.
“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, hendaklah kamu menikahi siapa saja di antara perempuan-perempuan yang kamu sukai dua, tiga, atau empat tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau kamu mengambil budak-budak perempuan yang kamu miliki.........”. (QS An Nisa 4 : 3)





Seorang lelaki yang dapat mempunyai empat istri dan dapat mengendalikan dan memimpin ke empat istrinya adalah type seorang muslim yang terbaik, hal ini sesuai dengan hadits nabi Muhammad Saw :





“Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata : Ibnu Abbas berkata kepadaku : “Apakah engkau telah menikah?” Aku menjawab : “Belum”. Ia berkata : “Menikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baiknya orang Islam adalah yang lebih banyak istrinya”. (HR Bukhari dan Ahmad)





Secara syimbolis dalil tersebut menjelaskan tentang hakikat dari keberadaan hawa nafsu yang berada disetiap lubang telinga, mata, hidung dan mulut. Ke empat inderawi (telinga-mata-hidung-mulut) merupakan syimbol dari perempuan yatim, artinya perempuan yang hidup sendirian (yatim=sendiri, satu-satunya atau tidak berbapak). Aktifitas mendengar, melihat, mencium dan mengucap, mengalami pertumbuhan dan perkembangan dengan sendirinya (yatim), karena mereka sudah diprogram oleh Allah untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan perintah-Nya. Telinga hanya berfungsi untuk mendengar, mata hanya berfungsi untuk melihat, hidung hanya berfungsi untuk mencium dan mulut hanya berfungsi untuk mengucap dan mengecap saja. Singkatnya fungsi inderawi mereka tidak akan tertukar diantara mereka. Hal ini yang diisyaratkan dalam firman-Nya :





“Dan sungguh Kami telah mencptakan di atas (kepala) kamu tujuh (lubang) jalan (aktifitas inderawi).Dan tidaklah Kami lalai memelihara (fungsi inderawi) yang Kami ciptakan itu”. (QS Al Mu’minun 23 : 17)

Setiap inderawi mempunyai kebutuhan yang sangat fithrah yang harus dipenuhi. Apabila kebutuhan itu terpenuhi dengan baik maka ia akan bahagia atau sebaliknya ia akan tidak bahagia apabila kebutuhannya tidak terpenuhi. Kebutuhan mata adalah melihat. Kebutuhan telinga adalah mendengar. Kebutuhan hidung adalah mencium dan kebutuhan mulut adalah mengucap dan mengecap. Semua kebutuhan itu harus dipenuhi dengan adil, tetapi kadang kita tidak bisa berbuat adil, misalnya kita hanya mendahulukan kepentingan salah satu inderawi saja dibandingkan kebutuhan inderawi lainnya atau kita hanya mempercayai salah satu inderawi saja dibandingkan mempercayai inderawi lainnya. Inilah yang diisyaratkan secara syimbolis dalam firman-Nya :





“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu terlalu cenderung kepada istri yang kamu cintai sehingga engkau biarkan isrtri yang lain seperti tergantung (terlupakan)..........”. (QS An Nisa 4 : 129)





Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, kadang para istri atau wanita menjadi sumber fitnah dan dosa, karena mereka banyak menuntut kebutuhannya secara berlebihan, sehingga Nabi Muhammad Saw pernah bersabda :





“Perempuan adalah perangkap syeitan”. (Al Hadits)





“Aku tidak meninggalkan umatku fitnah yang kebih berbahaya buat lelaki lebih dari fitnah yang dibawa kaum wanita”. (Al Hadits)





“Bumi ini subur dan indah. Dan Tuhan telah menyerahkan amanah kepada kalian di muka bumi ini. Jika muncul godaan di dunia, berhati-hatilah kalian. Dan berhati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bangsa Isarail adalah fitnah wanita”. (HR Muslim)





Secara syimbolis, hadits tersebut menjelaskan bahwa keinginan dari hawa nafsu yang ada di lubang inderawi kita, bisa juga menjadi perangkap syeitan (syeitan adalah sifat menjauh atau merenggang dari kebenaran) yang seringkali menimbulkan permasalahan karena kita akan terus mengikuti kemauannya dan selalu memenuhi kebutuhannya, sehingga kita akan menjauh dari nilai-nilai kebenaran. Misalnya, kita selalu menuruti apa saja yang yang diinginkan oleh mulut, sehingga kita makan secara berlebihan tanpa mempedulikan apakah makanan itu halal atau haram, thayib atau tidak.





Untuk mengatasi masalah tersebut Allah telah memberikan jalan keluarnya yaitu agar setiap lelaki atau suami selalu mengendalikan dan memimpin wanita atau istri-istrinya atau hawa nafsunya yang terdapat pada telinga, mata hidung dan mulut.



Lelaki adalah pemimpin atas para wanita karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).....”. (QS An Nisa 4 : 34)



sang suami atau lelaki secara hakikat ? Secara hakikat syimbol “suami atau lelaki” adalah jari-jari tangan kita. Hanya jari-jari tangan kitalah yang dapat mengendalikan hawa nafsu atau keinginan yang berlebihan yang timbul dari ke empat istri kita yaitu telinga, mata, hidung dan mulut, dengan cara mengihramkan (melarang) mereka untuk beraktifitas seperti yang diisyaratkan dalam gerakan takbiratul ihram dalam setiap awal ibadah shalat.





Ketika keinginan untuk mendengar, melihat, mencium dan mungucap atau mengecap sudah sangat berlebihan, maka satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah dengan menutup lubang-lubang inderawi tersebut dengan jari-jari tangan kita, dengan gerakan takbiratul ihram (takbir larangan). Dengan tertutupnya lubang-lubang inderawi kita maka secara berangsur-angsur keinginan hawa nafsu dari para istri mulai menghilang.





Gerakan takbiratul ihram secara syimbolis juga mengisyaratkan hubungan antara “pernikahan atau perkawinan” syimbol kelakian yaitu jari-jari tangan, dengan syimbol kewanitaan yaitu lubang-lubang inderawi, dengan proses pertemuan dengan Allah, seperti yang diisyaratkan dalam firman-Nya :





“Istri-istrimu adalah seperti ladang (tempat bercocok tanam) bagimu, maka datangilah ladangmu (tempat bercocok tanammu) sebagaimana kamu sukai dan buatlah kebaikan untuk dirimu dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu akan menemui-Nya dan sampaikanlah kabar gembira ini untuk orang-orang yang beriman”. (QS Al Baqarah 2 : 223)





Ayat tersebut apabila ditafsirkan secara syimbolis, akan mempunyai arti sebagai berikut :





Pertama : Kata “istri-istri” dalam ayat tersebut mempunyai makna syimbolis tujuh lubang inderawi yang berada di kepala manusia. Sedangkan kata ganti kamu, pada ayat tersebut mempunyai makna syimbolis sepuluh jari tangan manusia.





Kedua : Pada ayat tersebut terdapat kalimat “Perempuan-perempuan (istri-istri) kamu adalah ladang bagi kamu. Maka datangilah ladangmu sebagaimana kamu kehendaki”. Kalimat tersebut mempunyai arti syimbolis bahwa ketujuh lubang inderawi kita adalah ladang bagi sepuluh jari tangan. (Ladang adalah tempat untuk bercocok tanam, apabila tempat itu cocok untuk ditanam dengan satu jenis tanaman tertentu maka ditanamlah tanaman tersebut). Hal ini berarti tujuh lubang inderawi yang ada di kepala adalah tempat yang cocok bagi jari-jari tangan untuk ditanamkan di lubang-lubang tersebut sesuai dengan keinginan kita. Bagaimana mencocokkannya, silahkan tanya kepada ahlinya.

Ketiga : Pada ayat tersebut juga terdapat kalimat “dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu akan menemui-Nya”. Kalimat ini mempunyai arti simbolis, bahwa ketika jari-jari tangan sudah ditanamkan ke dalam lubang-lubang inderawi maka dalam posisi demikian sesungguhnya kita sedang melakukan prosesi untuk bertemu dengan Allah. Jadi prosesi menemui Allah dapat terjadi ketika simbol kelakian (jari-jari tangan) dipertemukan dengan syimbol kewanitaan yaitu lubang-lubang inderawi. Inilah yang dimaksud dengan hakikat pernikahan “Bil yad” (pernikahan dengan mempergunakan tangan) atau “sirri” atau “rahasia”, yaitu pernikahan yang bersifat rahasia antara jari-jari tangan dengan lubang inderawi yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.

Keempat : Pada akhir ayat tersebut terdapat kalimat “dan sampaikanlah berita gembira ini kepada orang-orang yang beriman”. Kalimat ini mempunyai arti simbolis bahwa prosesi menemui Allah yang diisyaratkan dalam surat tersebut harus disebarluaskan kepada orang-orang yang beriman sebagai kabar gembira, agar mereka dapat mengetahui dan melaksanakan tatacara menemui Allah tersebut selagi mereka masih hidup di atas dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar