Rabu, 31 Agustus 2016

Hakekat Qiyamat

Kiamat=Qiyamat= Qiyamah=Iqomah= Qomat=bangkit berdiri. Secara hakekat kiamat itu adalah proses kebangkitan ruhani ke dalam jasmani, peristiwa ini disebut dengan milad atau natal atau lahir. Makanya kalau setiap bayi lahir di perdengarkan IQOMAH dan ADZAN.
Kiamat juga mempunyai makna hakekat yaitu suatu proses kebangkitan ruhani dari jasmani. Peristiwa ini dinamakan dengan wafat atau mati. Makanya orang mati kalau mau dikubur juga di perdengarkan IQOMAH dan ADZAN.
Kiamat juga mempunyai makna hakekat yaitu suatu proses kebangkitan ruhani dari jasmani, dan bermi'raj menuju Ilahi pada waktu melaksanakan sholat. Peristiwa ini dinamakan mati syahid. Makanya pada waktu akan melaksanakan sholat, juga diperdengarkan IQOMAH dan ADZAN.
Tapi sayangnya kebanyakan manusia sudah jadi shummum bukmun dan 'umyun makanya walaupun sudah berkali kali diperdengarkan Iqomat, masih saja nggak mau bangkit bangkit juga.

Hakekat Qurban

Qurban artinya kedekatan. Hakekat Qurban adalah proses pendekatan diri kepada Ilahi dengan cara “memenggal” apa saja yang kita cintai yang menimbulkan kemelekatan kepada dunia, sehingga kita dapat Liqa dengan-Nya

Hanya “hewan” yang sudah “diqurbankan” saja yang dapat kita tunggangi untuk menyeberangi titian jembatan Shirotol Mustaqim sehingga kita dapat Liqa' dengan-Nya.

Oleh karena itu pilihlah dan milikilah "Hewan Qurban" yang sehat dan kuat, agar dapat kita tunggangi menyeberangi titian jembatan Shirothol Mustaqim dengan selamat sampai di ujungnya, karena kalau tidak, dikhawatirkan nanti pas di tengah Jembatan Shirothol Mustaqim, "hewan qurban" yang kita tunggangi sudah ngos-ngosan kehabisan nafas dan kecape'an, padahal belum sampai ke tujuan.

Minggu, 28 Agustus 2016

Khatam Nurul Qur'an

Al kisah konon tersebutlah seorang Kyai ingin menguji santrinya yang telah Khatam Quran, dengan cara si santri di masukan ke kamar yang gelap gulita tanpa alat penerangan apapun, lalu si santri di suruh membaca lembaran Quran (bukan menghafal) sesuai perintah ayat yang harus di baca oleh Kyai tersebut, jika tidak bisa membaca maka Santri tersebut belumlah dianggap khatam Quran.

Kyai tersebut sebenarnya bermaksud menjelaskan bahwa orang yang sudah khatam Quran itu, berarti "Pelita" di dalam hatinya sudah bersinar, yang mampu menerangi Lahir dan Bathinnya sendiri sehingga mampu melihat Terang di dalam Gelap dan melihat Terang di dalam Terang, sehingga Nyatalah bahwa Allah itu adalah Cahaya Langit dan Bumi, di mana Nur-Nya itu maujud dzohir bathin tanpa perantara lagi.

Sabtu, 27 Agustus 2016

Memelihara Nurul Iman

Setiap orang yang menempuh perjalanan rohani, akan mendapatkan banyak halangan yang biasanya akan mengakibatkan kejenuhan bahkan merasa putus asa. Hal ini biasanya terjadi karena pada saat pertama kali liqo' dengan Allah melalui proses pengangkatan oleh Guru Mursyidnya, mereka tidak mendapatkan pengalaman Rohani yang maksimal. Atau dengan kata lain, mereka dalam pengalaman mi’raj-mi’rajnya tidak menemukan apa-apa dari penyaksiannya. Sehingga dari pengalamannya itu, mereka tidak memberikan penghargaan yang pantas kepada Allah. Akibatnya, mereka dalam melaksanakan perjalanan mi’rajnya hanyalah bersifat ritual semata, tanpa diimbangi dengan perasaan, penghayatan, perenungan dan kotemplasi terhadap pengalaman pribadinya. Hal ini telah diinformasikan oleh Allah dalam Al Qur’an yaitu :

“Dan mereka tak menghargai Allah dengan penghargaan yang pantas diberikan kepada-Nya, tatkala mereka berkata : Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia . Katakan : Siapakah yang menurunkan Kitab yang dibawa oleh Musa, yaitu NUR dan PETUNJUK bagi manusia, yang kamu buat menjadi lembaran-lembaran (yang berhamburan), yang kamu perlihatkan dan yang kebanyakan kamu sembunyikan? Dan kamu diajarkan tentang apa yang kamu dan orang tua kamu tidak tahu . Katakanlah : Allah. Lalu biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya”. (QS Al An’am 6 : 91)

Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang mereka yang baru menempuh jalan rohani (baru melalui prosesi pengangkatan yang pertama kalinya) namun tidak mendapatkan pengalaman penyaksian yang maksimal. Maka mereka berkata : “ Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia “.

Mereka mengatakan yang demikian bukan karena Allah tidak menurunkan apa-apa tetapi karena mereka belum menemukan “rasa pertemuan” dengan Dzat Yang Maha Suci, Allah SWT.

Mereka pantas berkata demikian, tetapi “ Dirinya yang paling dalam berujar “ : Siapakah yang menurunkan Kitab yang dibawa oleh Musa ( Guru Musryid yang mengantarkan dirinya kepada Pencerahan – Pengangkatan ) yaitu NUR dan PETUNJUK bagi manusia, yang kamu buat menjadi lembaran-lembaran?. Karena pengalaman mi’raj itu sulit untuk diungkapkan, maka dibuatlah oleh mereka (para kaum ma’rifatullah) dalam bentuk ungkapan-ungkapan tertulis berupa syair-syair, puisi-puisi, atau kisah-kisah dan yang kebanyakan kamu sembunyikan ( dibuat dalam bentuk perumpamaan ayat-ayat mutasyabihat ). Dan kamu diajarkan tentang apa yang kamu dan orang tua kamu tidak tahu. Dengan NUR ( Nurul Iman ) itu mereka memperoleh petunjuk untuk membimbing dirinya dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan ini.

Katakanlah : “Allah” Dialah yang menurunkan kepahaman itu kepada mereka. Dengan kepahaman itu mereka merasa “plong” menghadapi permasalahan yang berat sekalipun. Mereka mengetahui cara mensikapi permasalahan dengan sewajarnya. Lalu biarkanlah mereka yang ragu-ragu tentang apa yang sudah diturunkan oleh Allah kepada dirinya dalam kesesatan. Bagi mereka yang telah memperoleh Cahaya Keimanan, hendaknya tidak terlalu risau dengan kegelisahan saudara-saudara seimannya yang masih menggerutu denagn pengalamannya, karena mereka belum menemukan keindahan dan keyakinan yang mantap dari mi’raj-mi’rajnya.

Memang sangat banyak faktor yang dapat menghambat evolusi jiwa/ruhani kita dalam pencapaian tingkat yang lebih sempurna. Agar di dalam menghadap menuju Sang Sumber penuh dengan kepasrahan untuk menyatu ke dalam relung-relung keabadian. Faktor penghambat itu antara lain adalah gambaran, khayalan, lamunan atau anggapan-anggapan yang merintangi dan menghalangi atau mengganggu diri kita dalam mencapai derajat tinggi disisiNya. Haruslah segala ringtangan itu dibuang jauh-jauh, harus disingkirkan. Segala emosi yang melekat pada diri kita disaat berinteraksi dengan keduniaan, hapuslah semuanya. Supaya jiwa kita dan semangat kita berkembang dengan teguh serta bebas sehingga dapat memantapkan kepercayaan kepada diri pribadi kita sebagaimana yang telah kita saksikan di alam Cahaya Ilahi.

Adapun yang sering menimbulkan halangan itu adalah berasal dari diri sendiri, yaitu perasaan kita yang sering merasa kecewa, marah, ragu, merasa rendah, dhaif, merasa bodoh, bimbang, khawatir, suka, duka dan gembira yang selalu mudah untuk dikuasai oleh emosi kita.

Hal ini merintangi diri kita dalam penyaksian terhadap Nur Ilahi yang sangat jauh dari cacat dan kekurangan sedikitpun. Buanglah jauh-jauh pikiran yang menganggap remeh apa yang telah kita saksikan, memang setiap individu berbeda-beda kadar penyaksiannya, tetapi bagi kita yang belum mencapai tingkat penyaksian yang sempurna atau sedikitnya tawhid (menyatu) terhadap Cahaya yang kita saksikan untuk memasuki lorong Nurun Ala Nurin dalam gilang-gemilang kemegahan CahayaNya, jangan lantas berpikir Cahaya yang ada di dalam diri kita itu kalah dengan Cahaya yang ada di luar. Itu adalah suatu hal yang amat buruk dan keburukannya (akibatnya) akan menimpa dirinya sendiri.

Berusahalah dengan kesungguhan yang mantap memperkuat karep (tekad) kita dalam mengikuti kehendak Tuhan, dengan tuntunan kitab yang ada dalam diri pribadi kita masing-masing. Muliakanlah, Agungkanlah, sanjunglah dan hormatilah sebagai barang yang amat berharga yang ada pada diri pribadi kita. Tebalkanlah keyakinan kita dan sentausakanlah Iman kita serta pergunakan kejujuran hati kita untuk menghindari perbuatan yang sesat yaitu : kebohongan. Usahakanlah agar kita selalu ingat dan waspada, bijaksana dan selalu berbuat kebajikan. Perhatikan hasil dan keuntungan yang keluar dari prosesnya pikiran pribadi yang baik, disertai dengan laku yang benar. Berdasarkan pada kesopanan dan kesantunan serta kejujuran, menggunakan pikiran yang tajam, jernih dan merdeka.

Singkirkanlah sifat-sifat yang buruk, yaitu menuruti hawa nafsu yang rendah dan juga hilangkanlah sifat-sifat yang mementingkan diri sendiri serta pandangan yang keliru dan picik. Bertindaklah untuk mengikuti jalan utama. Sempurnakanlah dalam memelihara keimanan yang teguh untuk mendekati dan memegang kesempurnaannya. Agar nanti kita tidak akan kekurangan penerangan dalam perjalanan menuju ketentraman dimana kita akan menerima warisan keberkahan yang abadi.

Maka tiada lain bagi kita yang masih baru dalam mengenal dan berusaha akrab dengan diri pribadi kita, haruslah melatih diri dengan pekerti luhur, memberi dorongan kepada tujuan yang semestinya.Beruzlah atau tafakur untuk berusaha membuang (melepaskan) beban sampah dikepala. berkonsentrasi, kemudian mencurahkan segenap cipta ke arah sasaran yang sering kita sebut Wujud Yang Absolut, sebagaimana kita semua saksikan. Hendaklah hal demikian (tafakur) itu dilakukan dengan rutin dan dengan penuh kesungguhan dalam melewati fase-fase untuk mencapai tafakur sempurna yang penuh dengan kenikmatan. Karena telah mampu mengalahkan diri sendiri dari tabiat-tabiatnya kearah negatif (Nafsu rendah) dan membawa ke dalam pimpinan yang telah disinari Nur Muhammad. Sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an, bahwa dalam diri setiap manusia ada Nur Muhammad yang harus dijadikan panutan.

“Ketahuilah bahwa pada engkau ada Rasul Allah, Dia dalam banyak urusan selalu mengikuti engkau, tetapi jika engkau tidak mengikuti dia tentulah engkau akan mendapat kesusahan, maka Allah menjadikan engkau Cinta kepada keimanan dan menjadikan Iman suatu hiasan dalam hatimu, dan menjadikan engkau benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Yang demikian itulah orang-orang yang mengikuti Jalan lurus.” (QS. Al Hujarat , 49 ayat 7 )

“Maka berimanlah engkau kepada Allah dan Rasulnya yaitu CAHAYA yang telah kami turunkan, dan Allah maha mengetahui apa yang engkau kerjakan.” (QS. At Taqhabun, 64 ayat 8)

“Orang-orang yang beriman itu hatinya menjadi tentram/senang dikarenakan senantiasa ingat kepada Allah. Ketahuilah, karena selalu ingat kepada Allah, manusia itu pada merasa senang.” (QS. Ar Raad, 13 ayat 28)

Untuk itulah, bagi para penempuh jalan spiritual harus terus-menerus istiqomah memperbaiki diri, meningkatkan kadar pencerahan ruhani kita agar evolusi ruhani kita semakin maju ketingkat/maqam yang lebih baik, dari hari kehari. Sehingga kita tidak mengalami stagnasi/berhenti ditempat atau bahkan mundur dan melupakan amanat yang telah diberikan, yaitu Cahaya yang ada pada diri kita masing-masing.

Ada beberapa cara agar kita terhindar dari stagnasi perkembangan evolusi rohani kita :

A. Kita harus meneliti persiapan saat akan melakukan Mi’raj. Persiapan ini dilakukan mulai seharian. Dimulai dari persiapan puasa khusus, perut di isi 1/3 udara, 1/3 makanan dan 1/3 minuman (Teori Al-Faqir). Kemudian cara tidur dan kegiatan sehari-hari kita yang telah bersesuaian dengan sunatullah. Pada saat akan melaksanakan Mi’raj, kita harus memperhatikan, apakah cara duduk kita, cara memusatkan perhatian atau mengkonsentarasikan pikiran, cara menarik nafas, cara bermi'raj dan cara membuka mata batin kita (memfokuskan mata hati-Tawajuh) atau tauhid Syuhudi. Paling tidak persiapan ini mestinya banyak dilatih dengan tekun dan sabar sebelum melakukan Mi’raj sampai mencapai evolusi ruhani yang stabil / sempurna (Minimal 40 hari berturut-turut secara Istiqomah). Jika belum banyak dilakukan penelitian ke dalam diri, bisa berdiskusi dengan saudara seiman yang sudah tahu. Atau sebelum Mi’raj banyak-banyaklah melakukan penyucian batin sebagai pembersihan dengan membaca Istigfar (gunakan bahasa yang lembut-bahasa Jiwa) sampai pada kondisi jiwa masuk dalam getaran mutmainah (tenang) yang ditandai kekacauan pikiran telah dikendalikan dan mulai dapat berkonsentrasi dengan baik.

B. Jika kondisi Mutmainah telah kita masuki maka secara perlahan-lahan kita mengkonsentarsikan diri. Dalam tahap ini titik-titik rawan yang mungkin muncul adalah cara memfokuskan kepada Cahaya yang kita saksikan masih sering terabaikan. Titik sasaran yang benar adalah berada di “tengah-tengah” (sebaik-baik urusan berada ditengah / tawazun). Bukan dikiri, dikanan, diatas, atau dibawah. Hal ini terjadi karena kurang menekan pandangan lahir atau batin kearah titik konsentarsi.

C. Titik rawan berikutnya setelah Cahaya terfokus adalah kurang menguatkan “pelengan” atau memandang mata batin dengan nanar karena barang kali sudah merasa puas. Perasaan cepat puas dan cepat selesai kurang kondusif untuk cepatnya evolusi ruhani. Sebaliknya perasaan haus ruhani akan semakin menguatkan tekad atau karep (Iradat) kita untuk terus berdisiplin diri dalam kondisi tafakur/Mi’raj yang panjang atau lama. Mungkin juga yang dahalunya banyak “tanaman” atau Implan berupa susuk dan sebagainya yang dimasukan dari luar tubuh ke dalam dirinya, hal ini tidak akan cukup lama/kuat dalam bermi’raj. Hal ini diibaratkan bagaikan air dengan minyak (air = Ruhani, minyak = hawa nafsu / kegelapan) yang kadang kalau ditepuk sejenak (dengan pancaran Cahaya Ilahi) akan berpencar dan kemudian kembali seperti semula. Minyak menutupi air. Sehingga ingin cepat-cepat selesai dan merasa panas dalam menyambut / menerima pancaran Cahaya tadi. Jika hal ini terjadi, kuatkan tekat dan tekun dalam beruzlah karena sesuatu yang mendarah daging akan terkikis habis dengan pola Mi’raj secara intens dan intensif. Jika malas justeru mengembalikan kondisi ruhani masuk dalam perangkap gelap (kufur). Hal ini dapat menghijab diri kita dari pandangan / Cahaya Allah SWT.

D.Titik rawan selanjutnya saat fase Tauhid Syuhudi (Penyaksian keindahan Cahaya Ilahi) atau fase penemuan Cahaya Ilahi. Cahaya pada saat penyaksian (syahadat Tauhid dan Rasul) terkadang memiliki pola-pola yang berbeda-beda (Addien sesuai ukuran kemampuan hambanya). Al Ghazali menamakan sesuai Al Qur’an dalam bukunya Miskat Al Anwar (Cahaya yang berlapis-lapis). Untuk menempatkan Cahaya Ilahi pada pandangan yang tepat, haruslah menemukan inti pancaran Cahaya Ilahi. Inti itu adalah berupa Mutiara Mutu Manikam yang berada tepat ditengah atau berada di dalam Cahaya tersebut (kilauannya paling memancar, berkilau tanpa warna), inilah yang disebut Maqam ISTIQOMAH. Pola ini sering terabaikan oleh si penerima. Karenanya tidak sedikit diantara saudara seiman jika baru beroleh Cahaya tadi, akhirnya merasa bangga yang terkesan berlebihan. Padahal ini baru seseorang memulai beragama dihadapan Allah SWT (Awaluddinni Ma’rifatullah). Jika kondisi ini tidak pernah dicatat pola-pola perubahannya, diteliti dan disadari maka akan terjadi keangkuhan Pribadi (Kesombongan Ruhani) yang sering menutupi kebenaran yang disampaikan oleh saudara seiman.

Mungkin secara garis besar titik-titik rawan itulah yang menyebabkan kegelapan ruhani walaupun masih banyak kendala yang harus diperhatikan dalam menyikapi hal-hal yang dapat menghambat pencerahan. Tetapi dengan modal yang sedikit ini kiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan, pemikiran, serta perenungan agar kita selalu Eling (ingat), Sabar dan Waspada terhadap segala sesuatu yang dapat mempengaruhi kedekatan kita pada Allah SWT.

“ Wahai manusia ! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk bertemu dengan Tuhanmu, sampai kamu bertemu dengan-Nya “. ( QS Al Insyqoq 84 : 6 )

“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Dienullah…..”. (QS Ar-Rum 30 : 30)

MENUJU GEMILANG CAHAYA ILAHI

Bukan mudah meniti langkah ke Angkasa
Bukan mudah mengubah mimpi menjadi asa pasti
Apapun jua bisa terbukti
Andai langkahmu tidak terhenti

Bukan mudah menggapai Bintang Yang Berkilauan
Bukan mudah jalan ini untuk di arungi
Apapun jua bisa terbukti
Andai langkahmu tidak terhenti

Menuju Puncak gemilang Cahaya
Mengukir cinta seindah asa
Menuju puncak impian di hati
Bersatu janji kawan sejati
Pasti berjaya di Alam Nur Ilahi

Jumat, 26 Agustus 2016

Fungsi Humor Dalam Kehidupan



”Belum pernah aku menemukan orang yang paling banyak tersenyum seperti halnya Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam “. (Riwayat At-Tirmidzi)

"Berilah humor dalam perkataan dengan ukuran seperti Anda memberi garam dalam makanan.” (Ali ra.).

"Sederhanalah engkau dalam bergurau, karena berlebihan dalam bergurau itu dapat menghilangkan harga diri dan menyebabkan orang-orang bodoh berani kepadamu, tetapi meninggalkan bergurau akan menjadikan kakunya persahabatan dan sepinya pergaulan.” (Sa’id bin Ash).

Seseorang mendatangi Sufyan bin ‘Uyainah Rahimahullah dan berkata kepada Sufyan, “Canda adalah suatu keaiban (sesuatu yang harus diingkari).” Mendengar pernyataan itu Sufyan berkata, “Tidak demikian, justru canda sunnah hukumnya bagi orang yang membaguskan candanya dan menempatkan canda sesuai dengan situasi dan kondisi.”

Allah Swt. berfirman, Artinya: “Dan sesungguhnya Dia-lah yang membuat orang tertawa dan menangis” (QS An-Najm: 43).

Menurut Ibnu ‘Abbas, berdasarkan ayat ini, canda dengan sesuatu yang baik adalah mubah (boleh). Rasulullah Saw. pun sesekali juga bercanda, tetapi Rasulullah Saw. tidak pernah berkata kecuali yang benar. Imam Ibnu Hajar al-Asqalany menjelaskan ayat di atas bahwa Allah Swt. telah menciptakan dalam diri manusia tertawa dan menangis. Karena itu silakanlah Anda tertawa dan menangis.

Hidup terasa hambar dan datar tanpa humor dan canda bagaikan masakan tanpa garam. Namun hanya dalam kadar kuantitas, kualitas dan penyajian tertentu akan menjadi penyedap kehidupan. Suatu kali Imam Al Ghazali melontarkan 6 pertanyaan kepada murid-muridnya yang hadir dalam majelis ta’limnya. Salah satunya adalah: Benda apa yang paling tajam di dunia ini?. Beragam jawaban muncul dari murid-murid beliau. Pisau, silet, sampai pedang. Imam Al Ghazali menanggapi jawaban murid-muridnya tersebut. “Betul, semua benda yang kalian sebutkan itu tajam. Tapi ada yang lebih tajam dari itu semua. Yaitu LIDAH”.

Meskipun lidah tidak bertulang, namun memang lidah bisa lebih tajam dari apapun, karena dia bisa ‘merobek’ hati. Bahkan kadang lidah bisa membuat lubang menganga di hati lawan bicara yang mungkin perlu waktu lama untuk mengembalikannya ke kondisi semula.

Dalam keseharian, kewajiban menjaga lidah ini tidak saja harus kita laksanakan baik di kala sedang bicara serius ataupun di kala bercanda. Point terakhir ini seringkali membuat kita tidak sadar telah melukai hati teman kita. Kata-kata yang kita maksudkan sebagai candaan, seringkali menusuk hati teman kita, bisa karena bercanda yang keterlaluan, bercanda di saat yang tidak tepat, dan sebagainya. Karena di saat bercanda, seringkali kita tidak memperhatikan bagaimana mood teman kita itu yang sebenarnya.

Memang bercanda kadang diperlukan untuk memecahkan kebekuan suasana sebagaimana yang dikatakan Said bin Al-’Ash kepada anaknya. “Kurang bercanda dapat membuat orang yang ramah berpaling darimu. Sahabat-sahabat pun akan menjauhimu.” Namun canda juga bisa berdampak negatif, yaitu apabila canda dilakukan melampaui batas. Canda yang berlebihan juga dapat mematikan hati, mengurangi wibawa, dan dapat menimbulkan rasa dengki.

Beberapa riwayat humor dan canda Rasulullah saw. berikut semoga dapat menjadi inspirasi humor yang sehat, cerdas, positif dan menyegarkan.

Seseorang sahabat mendatangi Rasulullah SAw, dan dia meminta agar Rasulullah SAW membantunya mencari unta untuk memindahkan barang-barangnya. Rasulullah berkata: “Kalau begitu kamu pindahkan barang-barangmu itu ke anak unta di seberang sana”. Sahabat bingung bagaimana mungkin seekor anak unta dapat memikul beban yang berat. “Ya Rasulullah, apakah tidak ada unta dewasa yang sekiranya sanggup memikul barang-barang ku ini?” Rasulullah menjawab, “Aku tidak bilang anak unta itu masih kecil, yang jelas dia adalah anak unta. Tidak mungkin seekor anak unta lahir dari ibu selain unta” Sahabat tersenyum dan dia-pun mengerti canda Rasulullah. (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi. Sanad sahih)

Seorang perempuan tua bertanya pada Rasulullah: “Ya Utusan Allah, apakah perempuan tua seperti aku layak masuk surga?” Rasulullah menjawab: “Ya Ummi, sesungguhnya di surga tidak ada perempuan tua”. Perempuan itu menangis mengingat nasibnya Kemudian Rasulullah mengutip salah satu firman Allah di surat Al Waaqi’ah ayat 35-37 “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya”. (Riwayat At Tirmidzi, hadits hasan)

Seorang sahabat bernama Zahir, dia agak lemah daya pikirannya. Namun Rasulullah mencintainya, begitu juga Zahir. Zahir ini sering menyendiri menghabiskan hari-harinya di gurun pasir. Sehingga, kata Rasulullah, “Zahir ini adalah lelaki padang pasir, dan kita semua tinggal di kotanya”. Suatu hari ketika Rasulullah sedang ke pasar, dia melihat Zahir sedang berdiri melihat barang-barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah memeluk Zahir dari belakang dengan erat. Zahir: “Heii……siapa ini?? lepaskan aku!!!”, Zahir memberontak dan menoleh ke belakang, ternyata yang memeluknya Rasulullah. Zahir-pun segera menyandarkan tubuhnya dan lebih mengeratkan pelukan Rasulullah. Rasulullah berkata: “Wahai umat manusia, siapa yang mau membeli budak ini??” Zahir: “Ya Rasulullah, aku ini tidak bernilai di pandangan mereka” Rasulullah: “Tapi di pandangan Allah, engkau sungguh bernilai Zahir. Mau dibeli Allah atau dibeli manusia?” Zahir pun makin mengeratkan tubuhnya dan merasa damai di pelukan Rasulullah. (Riwayat Imam Ahmad dari Anas ra)

Suatu ketika, Rasulullah saw dan para sahabat ra sedang ifthor. Hidangan pembuka puasa dengan kurma dan air putih. Dalam suasana hangat itu, Ali bin Abi Tholib ra timbul isengnya. Ali ra mengumpulkan kulit kurma-nya dan diletakkan di tempat kulit kurma Rasulullah saw. Kemudian Ali ra dengan tersipu-sipu mengatakan kalau Rasulullah saw sepertinya sangat lapar dengan adanya kulit kurma yang lebih banyak. Rasulullah saw yang sudah mengetahui keisengan Ali ra segera “membalas” Ali ra dengan mengatakan kalau yang lebih lapar sebenarnya siapa? (antara Rasulullah saw dan Ali ra). Sedangkan tumpukan kurma milik Ali ra sendiri tak bersisa. (HR. Bukhori)

Aisyah RA berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan, saat itu tubuhku masih ramping. Beliau lalu berkata kepada para sahabat beliau, ”Silakan kalian berjalan duluan!” Para sahabat pun berjalan duluan semua, kemudian beliau berkata kepadaku, “Marilah kita berlomba.” Aku pun menyambut ajakan beliau dan ternyata aku dapat mendahului beliau dalam berlari. Beberapa waktu setelah kejadian itu dalam sebuah riwayat disebutkan:”Beliau lama tidak mengajakku bepergian sampai tubuhku gemuk dan aku lupa akan kejadian itu.”-suatu ketika aku bepergian lagi bersama beliau. 

Beliau pun berkata kepada para sahabatnya. “Silakan kalian berjalan duluan.” Para sahabat pun kemudian berjalan lebih dulu. kemudian beliau berkata kepadaku, “Marilah kita berlomba.” Saat itu aku sudah lupa terhadap kemenanganku pada waktu yang lalu dan kini badanku sudah gemuk. Aku berkata, “Bagaimana aku dapat mendahului engkau, wahai Rasulullah, sedangkan keadaanku seperti ini?” Beliau berkata, “Marilah kita mulai.” Aku pun melayani ajakan berlomba dan ternyata beliau mendahului aku. Beliau tertawa seraya berkata, ” Ini untuk menebus kekalahanku dalam lomba yang dulu.” (HR Ahmad dan Abi Dawud)

Rasulullah SAW juga pernah bersabda kepada ‘Asiyah, “Aku tahu saat kamu senang kepadaku dan saat kamu marah kepadaku.” Aisyah bertanya, “Dari mana engkau mengetahuinya?” Beliau menjawab, ” Kalau engkau sedang senang kepadaku, engkau akan mengatakan dalam sumpahmu “Tidak demi Tuhan Muhammad” Akan tetapi jika engkau sedang marah, engkau akan bersumpah, “Tidak demi Tuhan Ibrahim!”. Aisyah pun menjawab, “Benar, tapi demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak akan meninggalkan, kecuali namamu saja” (HR Bukhari dan Muslim)

Contoh Untuk Memudahkan Memahami Maqom Tajrid dan Asbab Dalam Kehidupan Sehari-hari

Berikut beberapa contoh untuk memudahkan memahami maqom tajrid dan asbab dalam kehidupan sehari hari :

A. Contoh Pertama

Sekelompok orang bersiap-siap untuk haji, sebagian ada yang terbebas dari tanggung jawab dan berkonsentrasi untuk
melaksanakan ibadah dan ta'at. Dan sebagian lain ada yang menjadi dokter yang bertanggung jawab untuk menangani serta
mengobati para jamaah haji. Maka orang pertama berada pada maqam yang di sebut Ibnu 'Atha'illah dengan maqam tajrid dan
dia di tuntut untuk memperbanyak ibadah, dzikir-dzikir atau banyak-banyak melakukan shalat sunnah. Sedangkan orang nomer dua ada pada maqam yang di sebut maqam asbab, dan dia dituntut untuk mengurusi asbab, Jadi para dokter-dokter itu di suruh untuk memperhatikan kesehatan para pasien yang sedang menjalankan ibadah haji itu.

B. Contoh Kedua

Ada pemuda yang di perintah oleh ayahnya : "Aku akan mengurusi dan memenuhi segala keperluanmu, yang aku kehendaki kamu Cuma konsentrasi mempelajari kitab Allah dan syari'at-Nya!" Maka santri ini oleh Allah SWT telah di tempatkan di maqam tajrid. Oleh karena itu dia dituntut untuk melakukan hal yang sesuai dengan maqamnya, yaitu mempelajari al-Quran dan ilmu syri'at. Orang seperti ini tidak boleh dikataan : "Syara' memerintahmu untuk mencari rizqi dan mencegah untuk melakukan pengangguran". karena yang diperintahkan syara' untuk pergi ke pasar dan mencari rizqi itu adalah orang-orang yang tidak memiliki tanggung jawab seperti orang tua dan para pejabat.
Adapun orang yang telah di beri Allah SWT kebutuhan rizqi, seperti santri maka di dia syari'atkan tidak mencari rizqi. Yang di larang Syara' adalah jadi pengangguran padhal santri bukan menganggur tetapi waktunya di alihkan dari maqam asbab(cari
rizki) ke maqam tajrid (mempelajari agama).


C. Contoh Ketiga

Seseorang yang bekerja di sebuah toko, dia mengetahui jika dia bekarja dari jam 07.00 pagi sampai jam 17.00 sore, maka dia akan mendapatkan uang yang cukup. Maka syara' akan berkata kepadanya : "Allah SWT telah menempatkan dirimu dari jam 07.00 pagi-jam17.00 sore di maqam asbab dan kamu wajib bekerja dengan keras. Adapun sebelum dan sesudah waktu tersebut, Allah menepatkan dirimu pada maqam tajrid. Oleh karena itu kamu harus menggunakan waktu untuk mendalami pengetahuan tentang Islam dn beribadah.

D. Contoh keempat

Seseorang yang sedang berada di Amerika untuk belajar, setelah itu dia berkeinginan mendapatkan harta dan kehidupan
baik. Kemudian dia menetap bersama keluarganya dan mencari pekerjaan disana. Apakah yang demikian itu sesuai dengan tuntunan syari'at ? Realitalah yang akan menjawabnya.realita yang ada mengatakan bahwa orang yang hidup di Amerika dan Eropa bersama anak-anak dan keluarganya rusak moralnya karena lingkungan di Amerika dan Eropa yang bebas dalam pergaulan. Oleh karena itu semestinya orang tersebut sedang menjalankan maqam tajrid bukan maqam asbab, buktinya jika orang tersebut masih mencari harta di Amerika, maka anak-anaknya akan terjerumus pada pemikiran-pemikiran yang tidak Islami.

Inilah yang di sebut Ibnu 'Atha'ilah :

"…Sedang kamu ingin maqam asbab padahal Allah menempatkanmu di maqam tajrid itu adalah penurunan dari cita luhur."

Orang yang ditempatkan pada Maqom Sabab, hukum untuk orang seperti itu harus ridho (rela), sabar dan pasrah. Yang dimaksud Maqom Sabab yaitu melakukan pekerjaan atau berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup didunia, ciri-ciri orang yang ditempatkan pada maqom Sabab adalah bisa lancar pekerjaannya serta bisa memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan dan orang ini senang melakukan pekerjaan dan kewajiban-kewajiban agama dalam pekerjaannya.

Orang yang ditempatkan pada Maqom Tajrid, (yang dimaksud dengan Maqom Tajrid yaitu meninggalkan bekerja), orang seperti ini harus selalu bersyukur kepada Alloh, harus giat dan tidak boleh kendor atau sembrono dalam menjalankan ibadah, ciri-ciri orang yang ditempatkan pada
maqom Tajrid adalah selalu bisa mencukupi hak-hak dan menjauhi pergaulan dengan manusia.

Sedangkan orang yang tidak berada pada maqom Tajrid maupun
Maqom Sabab ini harus selalu berhati-hati dalam menjalankan pekerjaannya, umpamanya pindah dari satu
Sabab ke Sabab lain, jika ia sudah tahu bahwa Sabab itu tidak bisa diandalkan, maka berpindahlah ia ke maqom Tajrid,
juga sebaliknya jika ia ingin menempatkan diri pada maqom Tajrid, tapi masih cenderung ke duniawi, maka pindahlah ia
ke maqom Sabab. Semua itu karena tanda-tandanya Alloh menempatkan pada
Maqom Sabab atau Maqom Tajrid yaitu istiqomah (teguh), macam-macam ibadah dan wirid dilaksanakan dengan
selamat, jika istiqomah itu tidak ada berarti diizinkan pindah pada maqom yang lain, karena kewajiban seorang hamba itu
harus bertempat pada maqom yang telah ditempatkan oleh Alloh dan tidak boeh memilih yang lain atas apa yang telah
diberikan oleh Alloh. Sejatinya orang pada maqom Tajrid itu juga bertempat pada
maqom Sabab, sebagaimana firman Alloh SWT dalam surat Ath Tholaq ayat 2-3 :

“Barang siapa yang bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberi rezeki yang tiada disangka-sangkanya, dan barang siapa yang bertawakal kepada Alloh, maka alloh akan mencukupkan keperluannya”.

Orang2 yang bertakwa kpd Allah setiap menghadapi kesulitan maka ia akan dibebaskan dari kesulitan tersebut dan Allah memberikan rizkinya yg datangnya tidak ter-duga-duga. Ringkasnya yang jadi sababnya adalah Takwa, yg dinamakan
takwa adalah rangkaian ilmu, amal dan istiqomah, maksudnya mengetahui kewajiban- kewajiban dan larangan-larangan lalu diamalkan secara terus menerus. Untuk mengukur bahwa orang tersebut berada dalam maqam tajrid yaitu Takwa lahir & Bathin.

Syahwat yaitu gerakan nafsu untuk mendapatkan apa yang
patut untuk nafsu tersebut tanpa memandang sifat2 gerakan
nafsu tersebut. Sedang dinamakan “syahwat yang samar” karena orang yang bertempat pada tajrid itu sakit menurut
lahirnya. Karena Tajrid itu meninggalkan apa yang menjadi kebiasaan dan menyalahi apa yang menjadi keinginan hawa
nafsu. Tapi orang yang menempati maqam tajrid itu bisa juga dikatakan ingin enak, tidak susah bekerja yang kemungkinan
akhirnya menjadi beban orang lain dengan meminta secara terang-terangan maupun dengan isyarat, yang seperti ini
sudah menyimpang dari petunjuk Nabi.

Bekerjanya orang yang Tajrid tadi dianggap sebagai inhithath (penurunan dari atas kebawa) karena dia ingin mengganti
ketentraman dengan kesulitan, asalnya tentram hatinya menjadi gelisah dan menempatkan dirinya pada sebab-sebabnya kerusakan sebab bercampurnya dengan selain Allah dan meninggalkan Nur dari Allah.

Maqom Tajrid dan Maqom Asbab

Dalam kitabnya, al-Hikam, Syaikh Ibnu Athaillah memberikan pengajaran penting kepada kita sebagai berikut :

اِرَادَتُكَ التَّجْرِيْد مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّاكَ فِي الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ وَ اِرَادَتُكَ الأَسْبَابَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْد اِنْحِطَاطٌ مِنَ الهِمَّةِ العَلِيَّة

Artinya : "Kehendakmu agar semata-mata beribadah padahal Allah sudah menempatkan dirimu sebagai golongan orang-orang yang harus berusaha untuk mendapatkan kehidupan duniamu sehari-hari, maka keinginan seperti itu termasuk perbuatan tau keinginan syahwat yang halus. Sedangkan keinginanmu untuk berusaha, padahal Allah telah menempatkan dirimu di antara golongan yang semata-mata beribadah, mengikuti keinginanmu itu, berarti engkau telah turun dari semangat dan cita-cita yang tinggi."

Ungkapan tajrid di atas berarti meninggalkan sebab yang menjadi jalan untuk menemukan apa yang seharusnya dijalankan oleh orang-orang shadiqin, yakni dengan melaksanakan suatu sebab tidak membiarkan dirinya jatuh kepada perbuatan yang salah, karena berniat meninggalkan urusan duniawi, sebab semata-mata hendak beribadah.

Watak yang dimiliki oleh orang shadiqin, ialah tidak meninggalkan dunia karena akhirat dan tidak meninggalkan akhirat sebab dunia. Hubungan timbal balik antara dunia dan akhirat seperti yang dikehendaki oleh islam, adalah suatu keharusan yang patut diusahakan dan ditunjang dengan perilaku akhlak islami yang akan menunjang semua hal yang menyangkut urusan duniawi dan ukhrawi.

Menempatkan kedua masalah tersebut di atas adalah suatu jalan yang benar bagi orang shadiqin yang memandang kehidupan dunia dan akhirat dalam semua perilaku manusia, saling menunjang dan tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.


Kedudukan manusia dalam tajrid, karena kehendak mentaati Allah, lalu meninggalkan kasab atau usaha, padahal ia masih memerlukan kasab itu sebagai keperluan yang wajar secara duniawi, maka kehendak tajrid seperti ini termasuk syahwat badani yang tidak pada tempatnya. Oleh karena ia membutuhkan seperti pada umumnya manusia berhubungan dalam hidup melalui tolong-menolong yang berkaitan dengan sesama manusia.

Syahwat badani seperti ini memang syahwat yang halus, karena bukan perbuatan yang tidak dibolehkan, akan tetapi tidak pada tempatnya, apalagi kalau tajrid seperti itu adalah suatu keinginan agar dianggap sebagai manusia zuhud (orang yang tidak berkehendak kepada dunia, semata-mata karena Allah). Kehendak seperti ini bertentangan dengan kehendak Allah sendiri, karena akan menjerumuskannya kepada syirik yang halus pula.

Sebaliknya, orang yang telah mendapatkan keputusan Allah untuk beribadah saja (dalam maqam tajrid saja) berarti ia sudah tidak mempunyai tugas duniawi yang melibatkan dirinya pada ikhtiar duniawi, hanyalah semata-mata beribadah, karena Allah telah memilih ia untuk hal itu. Orang seperti ini bukanlah karena ia tidak memerlukan lagi kehidupan dunia, untuk keperluannya yang primer, akan tetapi Allah telah menjamin kehidupan dunianya dengan rizki yang tak dapat diduga-duga. Dalam urusan duniawi ia tidak terlalu mengharapkan mendapatkannya, karena ia telah siap menerima anugerah Allah dengan jalan beribadah kepadaNya semata.

Inilah orang yang shidiqin di atas jalannya. Ia tidak tamak menghadapi hidup melewati jalan tajrid, karena menempatkan dunia sebagai hal yang tidak mengikatnya sebagai belenggu yang merusak ibadahnya kepada Allah ta'ala. Dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah, ada dua hal yang perlu diingat, lalu menempatkan diri secara teguh (istiqamah) pada tempat yang dipilih si hamba untuk perjuangan hidupnya di dunia dan di akhirat. Kedudukan dua hal ini tidak berbea. Karena niat yang muncul dari perbuatan seperti itu sama kedudukannya, yakni untuk beribadah. Masalahnya sekarang adalah bagaimana seseorang menekuni perilaku ibadahnya. Di satu pihak keinginan tajrid lebih kuat dan lebih dominan, di pihak lain keinginan duniawi lebih condong mengikuti semua perbuatan sebagai ibadah juga.

Untuk menghilangkan keraguan dalam diri hamba yang shadiqin, maka harus menekuni dua perilaku tersebut, sehingga masing-masing mampu memberikan nilai lebih dan menjadikannya sebagai ibadah yang bermanfaat dunia dan akhirat.

Meskipun demikan, perlu dipahami bahwasanya maqam tajrid yang telah dipilih seorang hamba yang shadiqin, adalah maqam yang mulia, karena tidak semua orang mampu berada pada maqam tersebut. Maqam tajrid adalah pilihan Allah atas hambaNya dalam hubungannya dengan peribadatan yang khusus.

Adapun ciri-ciri hamba yang shadiqin dan tajrid diantaranya:

Mendekatkan diri kepada Allah akan tetapi tidak mengabaikan duniawinya. Mengkhususkan diri beribadah semata-mata kepada Allah, karena Allah telah menjamin hidup duniawinya, karena ibadah-ibadah yang ia amalkan. Menempatkan diri dalam hidup sederhana atau qanaah dan menjaga kehormatannya (iffah) dalam hubungan sesama manusia. Tidak menyia-nyiakan pemberian Allah yang telah diterima oleh si hamba (seperti rizki) yang tak terduga, untuk kepentingan manusia lainnya. Kemudian ia tetap istiqamah dalam ibadah yang dijalankannya. Jiwa dan ruh mereka tenang menikmati ibadah kepada Allah. Mengembalikan seluruh persoalan yang telah terjadi dan yang akan terjadi kepada Allah, serta mengerjakan sesuatu perbuatan semata-mata karena izin Allah.

Demikianlah sifat-sifat orang-orang shadiqin yang beriman kepada Allah atas segala ciptaannya, menerima atas segala kejadian baik dan buruk yang datang dari Allah, kemudian berusaha untuk memberi faedah kepada sesama hamba Allah.

Benar


Ketahuilah sesungguhnya menjadi "Benar" itu penting, namun "Merasa Benar" itu tidak baik. Kearifan akan membuat seorang menjadi Benar, tetapi "bukan" Merasa Benar.

Perbedaan "Orang Benar" dan "Orang Yg Merasa Benar" :

1. Orang Benar, "tidak akan berpikiran" bahwa ia adalah yg "paling" benar.


2. Sebaliknya orang yg "merasa benar", di dalam pikirannya hanya dirinyalah yg "paling" benar.

3. Orang "Benar", bisa "menyadari" kesalahannya.

4. Sedangkan Orang Yg "Merasa Benar", merasa "tidak perlu untuk Mengaku Salah".

5. Orang "Benar", setiap saat akan "introspeksi" diri dan "bersikap Rendah Hati".

6. Tetapi Orang Yg "Merasa Benar", merasa "tidak perlu introspeksi", Karena merasa "paling benar", mereka cenderung "Tinggi Hati".

7. Orang "Benar" memiliki "Kelembutan Hati". Ia dapat "menerima masukan" dan kritikan dari siapa saja, "sekalipun itu dari anak kecil".

8. Orang Yg "Merasa Benar", Hatinya Keras Ia sulit untuk menerima nasihat dan masukan apalagi kritikan.

9. Orang Benar akan selalu Menjaga Perkataan dan Perilakunya, serta berucap Penuh Kehati-hatian.

10. Orang Yg Merasa Benar : berpikir, berkata, dan berbuat sekehendak hatinya, tanpa pertimbangan atau mempedulikan perasaan orang lain.

11. Pada akhirnya, orang Benar akan dihormati, dicintai dan disegani oleh hampir semua orang.

12. Sedangkan orang yg Merasa Benar Sendiri hanya akan disanjung oleh mereka yg berpikiran sempit, dan yg sepemikiran dgnnya, atau mereka yg hanya 'sekedar ingin memanfaatkan' dirinya.

13. Mari terus memperbaiki diri untuk bisa Menjadi Benar, agar tidak selalu Merasa Benar.

14. Bila kita sudah termasuk tipe Orang Benar, tetaplah dalam Kebenaran dan selalu Rendah Hati.

Semoga menginspirasi kita untuk menjadi benar tidak merasa benar

Kamis, 25 Agustus 2016

Mengingat Allah Setelah Menjadi Tamu Allah


"Apabila kamu telah menyelesaikan ibadat hajimu, maka ingatlah Allah, sebagaimana kamu mengingat orang tuamu atau (bahkan) mengingat lebih dari itu..........." (QS 2 : 200)

Perintah ini hanya bisa dilakukan oleh para Tamu Allah yang telah bertemu dengan Allah, kalau belum bertemu dengan Allah, bagaimana bisa mengingat Allah, paling banter cuma menyebut-nyebut Nama Allah.


Rabu, 24 Agustus 2016

Rahasianya Rahasia

Ketika kita melihat Cahaya dalamTafakur, tidak disarankan untuk menceritakannya kemana-mana. Ada tatakrama dalam bercerita soal ini, tidak seperti anak-anak TK yang boleh menceritakan apa saja yang mereka lihat.

Di dunia Cahaya-pun juga banyak sekali Cahaya yang "palsu". Ciri-ciri Cahaya yang kita lihat "palsu" adalah, pengalaman melihat Cahaya dalam Tafakur membuat kita menjadi bercerita kemana-mana, menjadi bahan memperkuat ego, membuat kita menjadi angkuh dan congkak.


Sedangkan ciri-ciri Cahaya yang kita lihat asli adalah, pengalaman melihat Cahaya dalam Tafakur membuat kita diam tidak bercerita kemana-mana, menjadi bahan untuk semakin rendah hati, membuat kita menjadi penuh belas kasih dan kebaikan. Kalaupun harus menceritakannya, rahasianya dibuka dengan bahasa puitis yang halus. Seperti Kabir dalam puisinya : “Cahaya itu hanya muncul beberapa detik, tapi merubah saya menjadi seorang pelayan untuk selama-lamanya”.

Ketika kita melihat Cahaya dalam Tafakur, yang disarankan adalah menggunakan Cahaya yang ada di alam sebagai pantulan dari Cahaya sesungguhnya yang ada di dalam diri. Kita ada disini tidak untuk mencari Cahaya diluar, tapi untuk memancarkan Cahaya dan berbagi Cahaya di dalam diri.

Ketika kita dapat mengenali selapis demi selapis tubuh kita sebagai manusia, melalui ketekunan Tafakur dan melaksanakan ibadah syariat, disana kita akan mengerti bahwa tubuh manusia adalah tubuh yang sangat bercahaya di alam ini. Itu sebabnya semua Kekasih Tuhan mengalami pencerahan ketika mengenakan tubuh manusia. Cahaya Sejati di dalam diri tersembunyi dalam keheningan, Cahaya Rahmah dan kebaikan.

Rabu, 17 Agustus 2016

Menjadi Pribadi Yang Menang

Sepanjang hidup manusia selalu berada di dalam arena peperangan “Baratayudha/Brontoyudho” (jihad) antara kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) melawan nafsu negatif (100 pasukan Kurawa). Perang berlangsung di medan perang yang bernama “Padang Kurusetra” (Kalbu). Peperangan yang paling berat dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabilillah) atau perang di jalan kebenaran. 
Kemenangan Pendawa Lima diraih tidak mudah. Dan sekalipun kalah pasukan Kurawa 100 selamanya sulit dibrantas tuntas hingga musnah. 

Maknanya sekalipun hawa nafsu positif telah diraih, artinya hawa nafsu negatif (setan) akan selalu mengincar kapan saja si hawa lengah. Kejawen mengajarkan berbagai macam cara untuk memenangkan peperangan besar tersebut. Di antaranya dengan laku prihatin untuk meraih kemenangan melalui empat tahapan yang harus dilaksanakan secara tuntas. Empat tahapan tersebut dikiaskan ke dalam nada suara salah instrumen Gamelan Jawa yang dinamakan Kempul atau Kenong dan Bonang yang menimbulkan bunyi; Neng, Ning, Nung, Nang.



1. Neng; artinya jumeneng, berdiri, sadar atau bangun untuk melakukan tirakat, semedi, maladihening, atau mesu budi. Konsentrasi untuk membangkitkan kesadaran batin, serta mematikan kesadaran jasad sebagai upaya menangkap dan menyelaraskan diri dalam frekuensi gelombang Tuhan.

2. Ning; artinya dalam jumeneng kita mengheningkan daya cipta (akal-budi) agar menyambung dengan daya rasa- sejati yang menjadi sumber cahaya nan suci. Tersambungnya antara cipta dengan rahsa akan membangun keadaan yang wening. Dalam keadaan “mati raga” kita menciptakan keadaan batin (hawa/jiwa/nafs) yang hening, khusuk, bagai di alam “awang-uwung” namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran batiniah. Sehingga kita dapat menangkap sinyal gaib dari sukma sejati.

3. Nung; artinya kesinungan. Bagi siapapun yang melakukan Neng, lalu berhasil menciptakan Ning, maka akan kesinungan (terpilih dan pinilih) untuk mendapatkan anugrah agung dari Tuhan Yang Mahasuci. Dalam Nung yang sejati, akan datang cahaya Hyang Mahasuci melalui rahsa lalu ditangkap roh atau sukma sejati, diteruskan kepada jiwa, untuk diolah oleh jasad yang suci menjadi manifestasi perilaku utama (lakutama). Perilakunya selalu konstruktif dan hidupnya selalu bermanfaat untuk orang banyak.

4. Nang; artinya menang; orang yang terpilih dan pinilih (kesinungan), akan selalu terjaga amal perbuatan baiknya. sehingga amal perbuatan baik yang tak terhitung lagi akan menjadi benteng untuk diri sendiri. Ini merupakan buah kemenangan dalam laku prihatin. Kemenangan yang berupa anugrah, kenikmatan, dalam segala bentuknya serta meraih kehidupan sejati, kehidupan yang dapat memberi manfaat (rahmat) untuk seluruh makhluk serta alam semesta. Seseorang akan meraih kehidupan sejati, selalu kecukupan, tentram lahir batin, tak bisa dicelakai orang lain, serta selalu menemukan keberuntungan dalam hidup (meraih ngelmu beja). 

Neng adalah syariatnya, Ning adalah tarekatnya, Nung adalah hakekatnya, Nang adalah makrifatnya. Ujung dari empat tahap tersebut adalah kodrat (sastrajendra hayuning Rat pangruwating diyu).

Jumat, 12 Agustus 2016

Menutup Celah Dalam Sholat

"Luruskanlah shaf, rapatkanlah bahu-bahu, dan tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kalian. Dan jangan biarkan ada celah diantara shaf untuk diisi setan-setan. Barangsiapa menyambung shaf niscaya Allah akan menyambungnya, dan barangsiapa memutuskan shaf niscaya Allah akan memutusnya”(HR. Abu Daud).

Diperintahkan untuk "menutup celah" ketika sholat, supaya setan tidak menyelinap, eh malah cari kaki orang lain untuk di injak-injak.

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan diatas (kepala) kamu tujuh buah jalan (tujuh celah pintu inderawi) dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami)". (QS. Al Mu'minun 23 : 17).



Celah Pintu itu harus dijaga. 
Digunakan sebagaimana mestinya. 
Sesuai dengan tuntunan-Nya. 
Jangan biarkan celah pintu itu terus terbuka. 
Tanpa lupa menutupnya. 
Bila celah pintu itu terus terbuka. 
Akan selalu terlihat dunia. 
Yang penuh canda dan tawa. 
Juga nestapa. 
Oh dunia. 
Engkau hanya panggung sandiwara. 
Yang hanya sementara. 
Bila celah pintu itu terus terbuka. 
Niscaya hawa nafsu setan akan terus masuk. 
Melalui celah pintu yang di telinga. 
Melalui celah pintu yang di mata. 
Melalui celah pintu yang di hidung. 
Melalui celah pintu yang di mulut. 
Dan hawa nafsu setan itu akan membelenggu. 
Hingga manusia lupa. 
Dan mengkhianati perjanjian dengan Tuhannya. 
Yang akan membawa malapetaka. 
Di dunia dan di akherat nanti. 
Karena itu. 
Jangan biarkan celah pintu itu terbuka. 
Tanpa lupa menutupnya. 
Supaya pencuri tidak leluasa masuk ke rumah. 
Yang akan menyekap dan mengganggu si penghuni. 
Sedemikan rupa. 
Sehingga lupa segalanya. 
Khususnya kepada Tuhannya.

"Dan ketika Rasulullah,saw., sedang bersama-sama dengan sahabatnya, beliau bertanya : ‘Adakah di antara kalian orang asing ? yakni ahl al-kitab.’ Mereka menjawab, ‘tidak ada yaa Rasulullah.’ Maka Rasulullah Saw bersabda : Angkatlah tanganmu dan tutuplah pintu lalu bersaksilah ‘Laa Ilaaha Illallaah.’ Maka seluruh sahabat yang berada diruangan itu mengangkat tangannya dan bersaksi ‘Laa Ilaaha Illallaah.’ Lalu Rasulullah,saw., bersabda : ‘Yaa Allah, sungguh Engkau mengutusku dengan kesaksian ini, menyuruhku dengannya, kau janjikan kepadaku Jannah dengannya, dan sungguh Engkau tidak pernah menyalahi janji.’ Kemudian beliau bersabda : ‘Berbahagialah kalian semua, karena Allah akan mengampuni kamu semua.’ (HR. Al Hakim)

Kamis, 11 Agustus 2016

Al-Hujurat

Peristiwa yang menyebabkan turunnya Surat Al Hujurat akan terus terjadi, tentunya dengan situasi dan kondisi yang berbeda. Dan ayat tersebut akan selalu mengingatkan semua umat Islam, tentang bagaimana kita bersikap sesama umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.

Surah Al-Hujurat adalah surah ke-49 dalam Al-Qur'an. Surah ini tergolong surah madaniyah, terdiri atas 18 ayat.

Dinamakan Al-Hujurat yang berarti kamar-kamar, diambil dari perkataan Al-Hujurat yang terdapat pada ayat ke-4 surat tersebut.

Imam Bukhari dari lain-lainnya mengetengahkan sebuah hadis melalui jalur Ibnu Juraij yang bersumber dari Ibnu Abu Mulaikah, bahwasanya Abdullah bin Zubair menceritakan kepadanya, bahwa pada suatu hari datang menghadap kepada Rasulullah saw. utusan atau delegasi dari Bani Tamim, Abu Bakar berkata, "Jadikanlah Qa'qa' bin Ma'bad sebagai amir atas kaumnya." Umar mengusulkan "Tidak, tetapi jadikanlah Aqra' bin Habis sebagai amirnya." Abu Bakar berkata, "Kamu tidak lain hanyalah ingin berselisih denganku." Umar menjawab, "Aku tidak bermaksud untuk berselisih denganmu." Akhirnya keduanya saling berbantah-bantahan sehingga suara mereka berdua makin keras karena saling berselisih. Lalu turunlah berkenaan dengan peristiwa itu firman-Nya,



"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian mendahului di hadapan Allah dan Rasul-Nya..." (Q.S. Al Hujurat : 1) sampai dengan firman-Nya, "Dan kalau sekiranya mereka bersabar..." (Q.S. Al Hujurat : 5).

Ibnu Jarir mengetengahkan pula hadis lainnya yang juga melalui Qatadah, bahwa para sahabat selalu mengeraskan suaranya kepada Rasulullah saw. bila berbicara dengannya, maka Allah swt. segera menurunkan firman-Nya, "Janganlah kalian meninggikan suara kalian ..." (Q.S. Hujurat 2).

Apakah hakekatnya meninggikan suara atau mengeraskan suara di hadapan Rasulullah ? Selama hal ini belum difahami, maka peristiwa yang menyebabkan turunnya surat Al Hujurot akan terus terulang dan terulang kembali !

Haji

Kata Haji berasal dari kata Al Hajju Al Hujja, yang mempunyai arti Bukti. Secara hakekat Haji itu adalah suatu proses pembuktian bahwa Allah itu ada, dengan cara menjadi tamu Allah untuk bertemu dengan Allah di Baitullah. Makanya orang yang sudah melaksanakan ibadah Haji dinamakan orang yang sudah “Naik Haji” karena ia sudah menaikkan derajat keimanannya kepada Allah dengan Bukti, bukan hanya sekedar katanya, katanya dan katanya.


Nabi Muhammad Saw pernah bersabda : "Al hajju 'arafah" yang artinya “Haji itu Mengenal”. Yang mengandung arti bahwa untuk membuktikan bahwa Allah itu ada, kita harus mengenal ('arafah = mengenal) Allah, yang diawali menjadi tamu Allah yang bertemu Allah dengan cara wuquf di “Padang ‘Arafah” yang pepadang.

Rabu, 10 Agustus 2016

Tahukah Anda Mana Masjid Al-Aqsa yang Sebenarnya?

Pada awalnya kita melihat, mungkin sebagian besar dari kita akan menyangka bahwa inilah masjid Al Aqsha. Masjid Al Aqsha memiliki nilai sejarah yang sangat luar biasa ketika Rasulullaah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan Isra Mi’raj, akan tetapi ini yang kita lihat ini adalah masjid kubah Al Shakhrah مسجد قبة الصخرة (The Dome of The Rock) , Namun sangat disayangkan ternyata banyak media dalam dan luar negeri mampu di exploitasi oleh yahudi untuk memberikan kesan pada dunia bahwa  masjid Kubah Al Shakhrah مسجد قبة الصخرة(The Dome of The Rock) adalah masjid Al Aqsha yang asli dan masih berdiri kokoh.

Gambar : Masjid Kubah Al Shakhrah
Ada salah satu media sengaja (Maaf) menggiring opini para umat Muslim supaya tak mengenali masjid Al Aqsha yang asli, itu semua bertujuan agar para kaum zionis dapat dengan leluasa dapat melemahkan pondasi dan bisa merobohkan masjid Al-Aqsha yang asli dengan cara membuat terowongan dibawah masjid pada bulan desember 2009, yang pada saat itu bertepatan dengan bulan suci ramadhan, pada bulan tersebut israel mulai melakukan pekerjaan penggalian untuk membangun terowongan-terowongan di dekat masjid Al-Aqsha.

Beberapa dari terowongan tersebut dibuat  saling terhubung di bawah kawasan Arab Silwan, dengan kedalaman 120 meter, lebar 1,5 meter serta tinggi 3 meter, dan mengarah ke bagian utara Masjid Al-Aqsha.

Sementara itu 100.000 orang lebih warga Palestina tidak dapat menuju ke masjid Al-Aqsha untuk shalat Jum’at (11/12/09) karena dilarang oleh tentara  srael. Sejak Jumat pagi, ribuan warga Palestina tersebut berdatangan dari seluruh kota-kota Tepi Barat mengantri supaya diizinkan masuk ke dalam area masjid.

Pihak Palestina meyakini bahwa Israel ingin meng-yahudinisasi Yerusalem dan merobohkan Masjid Al-Aqsha, selanjutnya mendirikan kuil kedua di atas tanah bekas Masjid. Namun pihak Israel beralasan melakukan penggalian terowongan tersebut untuk fasilitas pariwisata yang pembangunannya dimulai di bawah tanah.dan kegiatan ini juga dengan alasan ingin mencari sisa-sisa peninggalan sejarah mereka.

Sementara itu di tahun 2010 Pemerintah Israel telah berkeras meneruskan rencana untuk memperbesar alun-alun doa Yahudi di Tembok Barat di Kota Lama Yerusalem, meskipun diperingatkan akan beresiko memicu intifadhah ketiga.


Inilah masjid al-aqsa yg sebenarnya

Gambar : Masjid Al Aqsha
Inilah masjid Al Aqsha (المسجدالاقص)yang sesungguhnya yang Rasululloh sebutkan dalam hadist Beliau sebagai” masjid biru” krn mempunyai kubah yg berwarna biru. Hingga saat ini Zionis Yahudi membut terowongan-terowongan yg berkedalaman 120 m,lebar 1,5 m,dan tinggi 3 m di dasar masjid Al Aqsha. Mereka bersembunyi di dalamnya dengan alasan pariwisata dan hanya mencari sisa-sisa peninggalan sejarah mereka. Namun sayang, ternyata alasan yang sebenarnya adalah supaya masjid Al Aqsha segera roboh.

Gambar : Masjid Al Aqsha
Zionis yahudi (Israel)mengklaim bahwa masjid Al Aqsha adalah bekas bangunan”solomon temple”( kuil Sulaiman) yang kini hanya bersisa sebuah dinding batu yang memanjang atau yang disebut dengan tembok ratapan. Bagi Umat Yahudi sangat meyakini dalam Kitab Perjanjian Lama (Taurat) bahwa akan datang diakhir zaman seorang yang mereka anggap sebagai dewa penolong yahudi yang dinamakan “Messiah” (Dalam bahasa Arab disebut Al Masih) apabila mereka mengadakan ritual agama di Kuil Solomon  dengan mempersembahkan seekor sapi betina yang berwarna merah (Al Baqarah), yakni  tujuan utamanya adalah media Yahudi (dengan eksploitasi berita di CNN) adalah ingin menyamarkan Masjid Sakhra sebagai Masjid Al Aqsha yang asli adalah agar Zionis Yahudi bisa menghancurkan masjid Al Aqsha yg asli dan segera membangun Kuil Solomon  pada bekas reruntuhan masjid Al Aqsha,  Astaghfirullah Aladziim di kutip dari The Guardian Magazine.

Gambar : Masjid Al Aqsha
Semoga dengan postingan ini, Insya Allah ilmu kita bertambah dan semakin besar kesempatan kita untuk mengetahui bagaimanakah keadaan masjid Al Aqsha yg sebenarnya saat ini agar kita bisa mendokan dan berusaha untuk mengabarkannya kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.. Wallahu ‘A’lamu Bishowaab

THE DOME OF THE ROCK (AL SHAKHRAH MOSQUE)

Masjid Qubbah As Sakhrah atau di kenal dengan Dome of the Rock dibangun pada sekitar tahun 690M oleh Abdul Malik bin Marwan yang merupakan salah satu raja dalam bani Umayah dan kemudian diikuti dengan pembangunan Masjidil Aqsha yang selesai pada tahun 710M, Sebagian orang mengatakan ini adalahMasjid Khalifah Umar Bin Khattab ra.yang dibangun setelah penaklukan Baitul Maqdis yang pertama kali ,di dalam mesjid ini terdapat batu yang dipercaya tempat isra mi’raj.Bangunan itu bukanlah masjid melainkan hanya tumpukan batu besar dan sekali lagi Masjid Qubbah As Sakhrah juga wajib kita lindungi.

Jumat, 05 Agustus 2016

Estafet Tongkat Kemusyidan

Estafet "tongkat" kemusyidan dalam satu Paguron atau Tarekat di dunia tasawuf, merupakan faktor terpenting bagi kesinambungan pewarisan keilmuan dari generasi ke generasi berikutnya. Tapi dalam sejarah tasawuf, hampir seluruh tarekat atau paguron banyak yg mengalami "keguncangan" ketika melalui fase ini. 


Begitu juga, dalam paguron Isbatuliyah, sependek pengetahuan saya, juga sempat mengalami "keguncangan" ketika memasuki fase peralihan kemursyidan, pasca wafatnya GBM alm. Eyang Niti Prana. Belajar dari pengalaman tersebut, GBM alm. Ki. Empu Penitis DW, jauh sebelum beliau wafat, sudah menunjuk penerus kemursyidan beliau di tahun 2002. 

Sehingga masalah estafet tongkat kemursyidan di Az Zukhruf berjalan dengan baik tanpa ada masalah ketika beliau wafat pada tanggal 27 Februari 2016 lalu.

Kamis, 04 Agustus 2016

Pintu Rahasia

Seluruh alam mempunyai asalnya
Yang dapat dianggap sebagai IBU-nya,
Siapa yang mengenal IBU-nya
Akan mengenal ANAK-nya juga,

Siapa yang mengenal ANAKnya
dengan terus menjaga IBUnya.
Sampai pada ajalnya
takkan masuk bahaya.

Sumbatlah lubangmu
Tutuplah pintumu
Sampai pada wafat
kamu takkan menderita

Bukalah lubangmu,
Desaklah nafasmu
Sampai pada wafat
kamu takkan berhasil

Gambar : Illustrasi Pintu Rahasia


Dapat melihat barang lembut disebut : awas,
Dapat menjaga kelemahan disebut : kuat

Siapa yang menggunakan sinarnya,
Tetapi menyembunyikan apinya,
Inilah yang disebut : “Menutupi Rahasianya”.

(Lao Tse)

Semoga bagi "anak" yang sudah mengenal "Ibunya" tetap selalu berbakti...berbakti dan berbakti kepadanya "ibunya".

“Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu.’ Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ayahmu’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rabu, 03 Agustus 2016

Murtad Setelah Ma'Rifat

Sesungguhnya orang yang menghasut dengan membangun opini agar orang membenci dan menghina sesuatu, lebih jahat dan kejam daripada perbuatan jahil yang merugikan orang lain. Siapakah paman Rasulullah Saw yang paling kejam ? Jawabannya adalah Abu Jahal. Tapi mengapa Al-Qur'an tidak pernah mengabadikan nama Abu Jahal ? Justru Al-Qur'an mengabadikan nama Abu Lahab dalam surat Al-Lahab.


Ternyata Abu Lahab lebih berbahaya dibandingkan Abu Jahal. Mengapa ?Karena Abu lahab menghasut kaum Quraisy untuk membenci dan menghina figur dan ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, agar Islam tidak berkembang dengan cara membangun opini bahwa ilmu ma'rifatullah dengan teknik menutup tujuh pintu yang diajarkan oleh Gurunya itu sesat, yang mengakibatkan Abu Lahab mendapatkan hukum karma diakhir hidupnya yaitu kecelakaan pada tangannya yang sudah dipergunakan untuk mempraktekkan teknik menutup tujuh pintu tetapi tidak mempercayai pada apa yang sudah disaksikannya dan nampaknya sejarah itu sepertinya terus terulang kembali.


"Celakalah kedua tangan Abu Lahab dan celakalah dia.

Tidak berguna baginya hartanya dan apa yang diusahakan.

Kelak dia akan masuk ke dalam api yang menyala nyala. (QS Al Lahab 111: 1-3)

Keutamaan Berdo'a Dalam Islam

Setiap agama di dunia ini, mengajarkan tentang keutamaan berdoa. Begitupula dalam agama Islam.

Ud’uni astajib lakum ”

“Berdoalah padaku, maka niscaya akan kukabulkan” (QS. Mu'min : 60)

Doa artinya memanggil. Secara hakekat, doa itu merupakan proses memanggil Kekuatan Yang Maha Besar untuk menciptakan apa yang kita inginkan. Doa merupakan amalan yang sangat penting untuk dikerjakan oleh setiap orang Islam.

Dalam beberapa riwayat, Nabi Muhammad SAW telah bersabda tentang keutamaan berdoa, yaitu antara lain :

“Addua-u silakhul mu’min waimaduddin wanurussamawati wal- ard”

“Doa adalah pedang nya orang beriman, tiangnya agama, dan cahayanya langit dan bumi” (HR. Tirmidzi)

“Laisa saiun akroma alallohi ta-ala minaddu-a”

“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia disisi Allah kecuali doa” (HR. Tirmidzi)

“Addua-u mukh khul ibadah”

“Doa itu otak nya ibadah” (HR. Tirmidzi)

“Wala yaruddul qodaro illaddua’ ”

“Tidak bisa menolak qodar kecuali dengan Doa” (HR. Ibnu Majah)

“Mallam yas-alillaha yagh dob’ alaihi ”

“Barang siapa yang tidak berdoa kepada Allah,maka Allah marah padanya” (HR. Tirmidzi)

“Setelah kamu selesai sholat, maka duduklah dan bacalah dzikir kepada Allah, lalu baca sholawat untukku, kemudian berdoalah, maka pasti akan dikabulkan Allah". (HR. Tirmidzi)

“Sesungguhnya Nabi ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, maka Nabi tidak meletakkan kedua tangannya sampai kedua tangannya mengusap wajahnya” (HR. Abu Dawud)

“Barang siapa yang ingin dikabulkan doanya oleh Allah saat menghadapi cobaan yang berat dan kesusahan, maka memperbanyaklah doa pada waktu LONGGAR nya” (HR. Tirmidzi)

“Doa akan dikabulkan oleh Allah, selagi dia TIDAK TERGESA GESA". (HR. Abu Dawud)

“Kamu Jangan berdoa dengan mengatakan : "Ya Allah ampunilah aku JIKA KAMU MENGHENDAKI, Ya Allah kasihinilah aku JIKA KAMU MENGHENDAKI. Tapi kalian supaya MENETAPKAN permintaan kalian. Sesungguhnya perbuatan tersebut bukanlah sebuah paksaan pada Allah ” (HR. Abu Dawud)

“Barang siapa yang berdoa dengan doanya Nabi Yunus (saat diperut ikan), lalu minta apa saja pasti dikabulkan Allah” (HR. Tirmidzi)

Gambar : Berdo'a dalam Islam

Doanya adalah : ” Lailaha illa anta subhanaka inni kuntu minazholimin ”

"Ada seorang lelaki yang berdoa” Allohumma inni as-aluka bianni as hadu annaka antallohu la ilaha illa-antal -akhadussomad’ alladhi lam yalid’ walam yulad’ walam yakullahu kufuan akhad’ ”

Lalu Nabi mendengar doa tersebut dan berkata : "Barang siapa yang berdoa dengan nama Allah diatas, maka Doanya akan dikabulkan. Jika dia meminta, maka DIBERI” (HR. Tirmidzi)

“Wa’lamu annalloha layastajibu dua-an min qolbin ghofilil lah”

“Ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa nya orang yang qalbunya lupa pada Allah” (HR. Tirmidzi)

“Ud’ulloha wa-antum muqinuna bil-ijabati”

“Berdoalah kamu pada Allah dengan hati merasa YAKIN bahwa doa tersebut pasti dikabulkan Allah” (HR. Tirmidzi)

Bijak Dalam Menggunakan Pengeras Suara Untuk Peribadatan

Merupakan sebuah kenyataan bahwa dengan kemajuan teknologi seperti zaman sekarang ini, hampir semua masjid dan mushola di seluruh dunia telah memiliki dan menggunakan alat pengeras suara. Tujuan digunakanya alat tersebut tidak lain adalah untuk menunjang tercapainya dakwah Islam kepada masyarakat luas di dalam masjid maupun di luar. Maksudnya juga agar jamaah atau umat Islam yang tinggal agak berjauhan dari masjid dapat mendengar suara azdan dengan adanya pengeras suara. Selin itu, dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, menjadikan jamaah masjid membludak, sehingga perlu pengeras suara agar suara imam atau khatib dapat didengar oleh jamaah.


Gambar : Masjid Padang
Memang keberadaan pengeras suara di masjid sangat membantu dalam kegiatan dakwah Islam saat ini. Hanya saja kita tidak boleh berlebihan dalam menggunakannya. Ada segelintir diantara kita yang salah dalam memanfaatkan dan tidak menggunakan sebagaimana patutnya.

Apa Yang salah Dalam Menggunakan Pengeras Suara

Di beberapa tempat masih banyak masjid yang menyimpang dan menyalahi aturan yang diizinkan agama maupun pemerintah. Dalam shalat dan doa hanya untuk kepentingan jama’ah (dalam masjid), tidak perlu corongnya diarahkan keluar, sehingga tidak melanggar ajaran Islam yang melarang bersuara keras dalam shalat dan doa.

“Dan janganlah engkau keraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula terlalu merendahkannya, dan carilah jala tengah di antara keduanya”. (Al Isra` 110).

Dalam ayat lain: “Dan berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Ala’raf; 55).

Kemudian zikir merupakan ibadah individu langsung kepada Allah swt, oleh sebab itu tidak perlu menggunakan pengeras suara baik ke dalam maupun ke luar.

“Dan berzikirlah (ingatlah) kamu akan Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri serta lembut tanpa mengeraskan suara pada pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”(AlA’raf:205).

Terutama di perkotaan, pengurus masjid harus benar-benar memperhatikan penggunaan pengeras suara. Sudah tidak aneh lagi di perkotaan di sekitar masjid terdapat tempat tinggal non-muslim, sehingga keadaan dan kondisi mereka tetap dipertimbangkan. Karena kita juga perlu menelaah hadits nabi yang mengatakan :”Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. demi Allah tidak beriman”. Lalu ada orang yang bertanya: Siapa itu ya Rasulullah (orang yang tidak beriman)”, Rasulullah menjelaskan bahwa, orang yang tidak beriman itu adalah orang yang tidak (pernah) aman tetangganya karena gangguan (kejahatannya).” Jangan sampai akibat salah dalam menggunakan pengeras suara masjid, membuat tetangga-tetangga menjadi merasa terganggu, lebih-lebih jangan sampai menimbulkan kebencian tetangga yang nonmuslim terhadap masjid.

Dalam suatu riwayat, pernah Ali RA membaca keras-keras bacaan shalat dan doanya, padahal orang-orang sedang tidur, lalu rasulullah menegurnya: “Bacalah untuk dirimu sendiri, karena engkau tidak menyeru Tuhan yang tuli dan jauh, Sesungguhnya kamu menyeru Allah Yang Maha Mendengar dan Dekat”.
Ketentuan Dalam Penggunaan Pengeras Suara

Soal pengeras suara di masjid sebenarnya sudah diatur dalam Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Keputusan itu ditandatangani Dirjen Bimas Islam saat itu, H.M. Kafrawi, MA., pada 17 Juli 1978.

Berikut diantara aturan Bimas Islam mengenai syarat-syarat penggunaan pengeras suara:

Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya.Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Di dalam instruksi itu juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras suara baik suara ke dalam ataupun keluar. Juga penggunaan pengeras suara di waktu-waktu salat. Secara terperinci penggunaan pengeras suara di masjid sebagai berikut:

1. Waktu Subuh

Sebelum waktu subuh dapat dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini digunakan untuk pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dimaksudkan untuk membangunkan kaum muslimin yang masih tidur, guna persiapan shalat, membersihkan diri, dan lain-lain.Kegiatan pembacaan ayat suci Al-Qur’an tersebut dapat menggunakan pengeras suara ke luar. Sedangkan ke dalam tidak disalurkan agar tidak mengganggu orang yang sedang beribadah dalam masjid.Adzan waktu subuh menggunakan pengeras suara ke luar.Shalat subuh, kuliah subuh, dan semacamnya menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jama’ah) dan hanya ditujukan ke dalam saja.

2. Waktu Dzuhur dan Jum’at

Lima menit menjelang dzuhur dan 15 menit menjelang waktu dzuhur dan Jum’at supaya diisi dengan bacaan Al-Qur’an yang ditujukan ke luar.Demikian juga suara adzan bilamana telah tiba waktunya.Bacaan shalat, do’a, pengumuman, khutbah, dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.

3. Ashar, Maghrib, dan Isya’

Lima menit sebelum adzan pada waktunya, dianjurkan membaca Al-Qur’an.Pada waktu datang waktu shalat dilakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam.Sesudah adzan, sebagaimana lain-lain waktu hanya ke dalam.

4. Takbir, Tarhim, dan Ramadhan

Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara ke luar. Pada Idul Fitri dilakukan malam 1 Syawal dan hari 1 Syawal. Pada idul Adha dilakukan 4 hari berturut-turut sejak malam 10 Dzulhijjah.Tarhim yang berupa do’a menggunakan pengeras suara ke dalam. Dan tarhim dzikir tidak menggunakan pengeras suara.Pada bulan Ramadhan sebagaimana pada siang hari dan malam biasa dengan memperbanyak pengajian, bacaan Al-Qur’an yang ditujukan ke dalam seperti tadarusan dan lain-lain.

Untuk lebih jauhnya, silakan membaca Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushala.