Seluruh umat manusia di muka bumi ini telah menyadari bahwa ada Satu Kekuatan Yang Maha Besar, yang telah menciptakan, mengatur dan memelihara alam semesta ini beserta segala isinya. Tetapi sayangnya, keyakinan itu tidak diteruskan dengan upaya untuk membuktikan sekaligus mengenal kepada keberadaan Dzat yang mempunyai Kekuatan Yang Maha Besar tersebut, sehingga pada akhirnya keyakinan akan adanya Sang Maha Pencipta itu, hanya sekedar menjadi kepercayaan yang bersifat “lipstick” atau sebatas di mulut saja, tanpa mengakar di dalam rohani dan aktivitas kehidupan umat manusia.
“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya sebatas huruf atau tulisan … “. ( QS Al Hajj 22 : 11 )
“Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya….,” (QS Al Hajj 22 : 74)
“….. kecuali hanya menyembah Asma-Nya yang kamu dan nenek moyangmu kamu buat-buat….” (QS Yusuf 12 : 40 )
Ketika terlahir di atas dunia, kita sudah dihadapkan oleh nilai-nilai kemasyarakatan, agama, dan moral yang mau tidak mau kita telah berada di dalamnya dan kita dituntut untuk mengambil sikap, apakah sikap menerima, menolak ataupun sikap netral terhadap nilai-nilai tersebut. Tetapi harus diingat, bahwa kita terlahir di atas dunia ini sebagai salah satu dari suku atau ras bangsa tertentu yang ada di dunia ini, yang yang menentukannya adalah bukan diri kita sendiri. Begitu pula tentang kelahiran kita sebagai seorang anak bayi di dalam sebuah keluarga, apakah keluarga itu beragama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha ataupun sebuah keluarga yang tidak beragama, proses itu semuanya yang menentukan bukan diri kita sendiri. Setelah kita lahir dan menginjak usia akhil baligh barulah kita secara perlahan-lahan menyadari bahwa kita telah ditakdirkan menjadi apakah itu orang Eropa, Asia, Amerika, Australia atau orang Afrika. Begitu pula dengan agama orang tua kita. Dan biasanya, orang tua kita berusaha untuk menanamkan nilai-nilai agama yang dianutnya kepada kita (anaknya) sedini mungkin, sehingga secara sadar ataupun tidak sadar kita telah memeluk agama yang dianut oleh orang tua kita. Inilah yang disebut bahwa kita beragama karena keturunan.
Setelah menginjak dewasa, barulah kita menggunakan akal dan kehendak yang merdeka untuk mencermati kembali agama yang kita anut sejak kecil, sehingga saat itulah kita memulai proses pencarian terhadap kebenaran yang Absolut. Tetapi sayangnya, sebagian besar manusia sudah puas dengan agama yang dianutnya tanpa mau mencermati kebenaran agama yang dianutnya, bahkan yang lebih parah lagi mereka terjebak dalam sikap fanatik buta terhadap agamanya masing-masing, yang pada gilirannya akan menimbulkan sikap saling membenarkan agamanya masing-masing dan menyalahkan agama orang lain, padahal umat manusia itu sebenarnya adalah umat yang satu.
“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih”. (QS Yunus 10 : 19)
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan kebenaran, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman tentang hal yang mereka perselisihan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada Jalan yang Lurus”. (QS Al Baqarah 2 : 213)
Beda pendapat diantara manusia tentang kebenaran adalah suatu hal yang manusiawi dan wajar, hal ini sesuai dengan firman Allah, yakni :
Sesungguhnya kamu sekalian selalu dalam keadaan berbeda-beda pendapat”. (QS Adz Azariyaat 51 : 8)
Perbedaan pendapat tentang suatu kebenaran, diantara umat manusia sangat dimaklumi oleh Allah. Bahkan Nabi Muhammad Saw pernah bersabda :
“Perbedaan pendapat di dalam umatku adalah rahmat”. (Al Hadits)
Tetapi perbedaan pendapat yang menjurus kepada perpecahan dan permusuhan, sangatlah dibenci Allah.
“….…janganlah kamu termasuk golongan orang-orang yang mempersekutukan Allah (yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS Ar Ruum 30 : 32)
Berdasarkan ayat tersebut di atas, dapat simpulkan bahwa salah satu sifat orang yang menyekutukan Allah adalah orang-orang yang suka memecah belah agamanya dan ia merasa paling benar, paling suci dari golongan lainnya. Seluruh golongan di luar golongannya dianggapnya sebagai golongan batil dan ia bangga atas kebenaran golongannya. Padahal, Yang Paling Haq, Yang Paling Suci adalah Allah Swt sajalah sebagai satu-satunya Dzat yang menjadi sesembahan umat manusia.
“….sesungguhnya Allah adalah kebenaran (Al Haq) dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah, itulah yang batil. Sesungguhnya Dia-lah Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (QS Luqman 31 : 30)
“…kebenaran itu datangnya dari Allah….” ( QS Al Baqarah 2 : 147 )
Ayat-ayat di atas secara tegas mengatakan bahwa Al Haq yang sebenarnya adalah Allah sendiri. Jadi sangatlah keliru apabila ada orang yang mengaku bahwa dirinyalah yang paling benar, atau mereka mengaku bahwa golongannya yang paling benar. Bahkan berdasarkan ayat tersebut di atas, orang atau golongan yang mengklaim atau mengaku paling benar, sebenarnya justru telah menyekutukan Allah, karena ia atau mereka telah mensejajarkan dirinya atau golongannya setara dengan Allah. Padahal Allah telah berfirman dalam Al Qur’an :
“….tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (QS An Najm 53 : 32)
Jadi, janganlah kita mengklaim bahwa diri atau golongan kitalah yang paling benar, haq dan suci, sedangkan orang lain atau golongan lain dianggap batil, salah, tidak suci dan kafir. Sebab, yang paling mengetahui siapa yang haq, benar dan siapa yang termasuk kafir atau batil, adalah hanya Allah Swt sajalah yang dapat mengetahuinya.
“…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”. (QS An Najm 53 : 32)
“Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS Al An’am 6 : 117)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi’in dan orang-orang musyrik, sesungguhnya Allah akan memberi keputusan antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu”. (QS Al hajj 22 : 17)
Dalam Al Qur’an banyak ungkapan kata “kafir” yang dapat kita baca. Ungkapan kata tersebut juga sering kita dengar dalam setiap pengajian yang kita ikuti. Dan biasanya kita memahami kata tersebut dengan pengertian orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan biasanya ditujukan kepada golongan non muslim. Atau dengan kata lain, orang kafir adalah orang-orang yang memeluk agama selain agama Islam, yaitu golongan Yahudi, Nasrani, Majusi, Hindu, Budha dan golongan lainnya. Yang lebih parah, adalah ketika kata kafir itu mulai ditujukan kepada golongan di luar golongan yang diyakininya walaupun masih dalam satu agama Islam. Sehingga tidaklah mengherankan jika dalam agama Islam, satu golongan mengkafirkan golongan yang lainnya, bahkan mereka kadang menghalalkan segala cara untuk dapat menghancurkan golongan yang dianggapnya kafir tersebut. Hal ini dikarenakan mereka keliru dalam memahami apa arti yang sesungguhnya dari kata kafir tersebut. Mereka hanya mengutip ayat-ayat dalam Al Qur’an dan menafsirkannya secara harfiah tanpa mau merenungi apa sesungguhnya hakikat kekafiran itu sendiri.
Dalam Al Qur’an, banyak ayat-ayat yang menyuruh orang beriman untuk berjihad memerangi orang-orang kafir bahkan orang-orang kafir harus dibunuh di manapun mereka berada. Bahkan kalau perlu kita harus mengorbankan jiwa dan raga untuk memerangi orang-orang kafir tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis ….” (QS At Taubah 9 : 28).
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang-orang yang beriman untuk berperang …. “(QS Al Anfal 8 : 65)
“… Bunuhlah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai dan tangkaplah mereka, kepunglah dan dudukilah setiap markas mereka ….” (QS At Taubah 9 : 5)
“…. Bunuhlah pemimpin-pemimpin orang kafir, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya ….” (QS At Taubah 9 : 12)
“Bunuhlah (orang-orang kafir), Allah akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu, Dia memberikan kehinaan kepada mereka dan Dia akan menolong kamu terhadap mereka serta Dia melegakan hati kaum yang beriman”. (QS At Taubah 9 : 14)
“Bunuhlah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah….” (QS At Taubah 9 : 29)
‘Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka …..” QS At Taubah 9 : 73)
“Hai sekalian orang-orang yang beriman, bunuhlah orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu dan hendaklah mereka merasakan kekerasan daripadamu ….”. (QS At Taubah 9 : 123)
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta benda mereka dengan surga kepada mereka, mereka membunuh di jalan Allah maka mereka membunuh atau terbunuh…. Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan dengan-Nya dan itulah kemenangan yang besar”. (QS At Taubah 9 : 111)
“Ambillah sebagian dari harta mereka (orang kafir) sebagai sedekah untuk membersihkan dan menyucikan mereka dengannya. Dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu itu menjadi ketentraman bagi mereka ……” (QS At Taubah 9 : 103)
Demikian beberapa ayat dalam Al Qur’an yang memerintahkan agar orang kafir harus dibunuh (qital) sehingga ada beberapa golongan dalam umat Islam yang menghalalkan berbagai cara untuk membunuh orang-orang kafir yang berada di sekitarnya, seperti beberapa kasus bom bunuh diri yang banyak menewaskan orang-orang yang mereka anggap kafir. Padahal, kalau kita kaji lebih dalam lagi, sebenarnya kata “Kafir” itu berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti “Tertutup”. Kata kafir merupakan kata antonim dari kata “Syakir”, yang artinya terbuka. Jadi kata “kufur” lawan kata “syukur”. Dari kata ini orang inggris menyerapnya dalam bahasa mereka dengan kata “Cover” yang artinya “Tutup”. Misalnya kata cover buku artinya tutup buku atau sampul buku. Berdasarkan asal usul kata tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa orang-orang kafir adalah orang-orang yang tertutup. Pertanyaan selanjutnya, tertutup dari apa? Dan apanya yang tertutup? Jawabannya cukup sederhana, yaitu mereka tertutup dari melihat kebenaran karena “mata qalbunya” yang tertutup alias buta. Siapakah kebenaran itu? Jawabannya adalah Al Haq atau Allah (annallaha huwal haqqu sesungguhnya Allah Dia-lah yang Haq QS 31 : 30). Jadi orang kafir adalah orang yang tidak melihat kebenaran (Allah) karena mata qalbunya tertutup, karena mata qalbunya tertutup maka orang kafir mengingkari adanya Kebenaran (Allah).
Orang-orang yang mengingkari kebenaran, akan berada di jalan Thagut dan sekaligus menjadikan Thagut sebagai pelindung mereka. Thagut akan mengeluarkan mereka dari Cahaya dan menuju zhulumat (kegelapan). Kata “zhulumat” itu seakar dengan kata zhalim atau lalim. Perbuatan yang menyakitkan atau merugikan baik terhadap orang lain maupun dirinya sendiri. Karena itu, zhulumat diterjemahkan kegelapan. Dengan demikian, orang yang mengabdi pada Thagut adalah orang yang hidup di area yang gelap atau “dark area”.
Di tempat yang gelap, manusia tidak akan mampu mengetahui arah. Tidak akan bisa membedakan sesuatu yang menguntungkan atau yang merugikan. Tak akan tahu mana yang benar dan mana yang salah. Itulah wilayah Thagut. Jadi, di daerah yang gelap, meski mata tidak buta tapi tak akan bisa melihat. Meski telinga tidak tuli, tapi tak akan dapat menuntun ke sumber kebenaran. Akibatnya, orang tersebut ngawur. Kalau akibat perbuatannya yang zhalim itu hanya mengenai dirinya, itu tidak apa-apa. Masalahnya, perbuatan zhalim itu mengenai juga orang-orang di sekitarnya. Bahkan menghancurkan mereka yang baik-baik yang tinggal di wilayah paket yang tak aman itu. Sehingga yang zhalim saat ini aman-aman saja, tapi mereka yang baik-baik malah terlanda musibah. Oleh karena itu orang yang kafir (tertutup) dan zhalim (kegelapan) haruslah diperangi dan dibunuh di manapun ia berada, agar ia tidak membahayakan dirinya dan orang lain.
Jadi berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat kekafiran adalah tertutupnya mata qalbu setiap manusia dari menyaksikan kebenaran yaitu Allah, sehingga ia terjebak dalam kegelapan (zhulmah) tidak mengetahui (jahil) mana yang benar dan mana yang batil, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang indah dan mana yang jelek.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai qalbu tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (keberadaan Allah) dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (kalam Allah). Mereka itu binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lupa diri”. (QS Al A’raf 7 : 179)
“… karena sesungguhnya bukanlah mata jasmani yang buta tetapi yang buta adalah mata qalbu….”. (QS Al Hajj 22 : 46)
“Dan barang siapa yang buta mata qalbunya di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. (QS Al Isra’ 17 : 72)
“… seperti gelap gulita di lautan yang dalam dan diliputi ombak yang berlapis-lapis dan diatasnya lagi ada awan hitam yang gelap gulita berlapis-lapis. Apabila ia mengangkat tangannya tidaklah ia dapat melihatnya, dan barang siapa yang tiada ditunjuki Cahaya Allah, maka tiadalah dia mempunyai Cahaya sedikitpun”. (QS An Nur 24 : 40)
Berdasarkan ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang mata batinnya tertutup alias buta, adalah orang tidak melihat Nur Allah, sehingga ia berada dalam Kekafiran (ketertutupan) dan kegelapan (zhulmah). Karena kekafiran atau ketertutupan mata qalbunya tersebut, membuat dirinya tidak ingat atau tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil, yang pada akhirnya dia akan terjerumus dalam perbuatan yang merugikan dirinya dan orang lain. Untuk membebaskan orang tersebut dari keadaan seperti itu, hanya ada satu cara yang bisa ditempuh yaitu dengan “membunuh kekafiran” yang ada pada orang tersebut, sesuai dengan firman Allah :
“Dan sesungguhnya apabila Kami perintahkan kepada mereka : “Bunuhlah dirimu dan keluarlah dari rumahmu, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mau melakukannya kecuali sebagian kecil diantara mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka mau melaksanakan perintah yang diberikan kepada mereka tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka. Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka karunia (Cahaya) dari sisi Kami. Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus”. (QS An Nisa 4 : 66 – 68)
“… bertaubatlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu, dan bunuhlah dirimu, hal itu lebih baik bagimu pada sisi Tuhanmu…..” (QS Al Baqarah 2 : 54)
“Katakanlah : “malaikat maut (tekad atau karep atau keinginan untuk mati) yang diserahi kepadamu akan mematikan kamu, kemudian (saat itu juga) kamu akan kembali menemui Tuhanmu”. (QS As Sajadah 32 : 11)
“Sesungguhnya kamu (harus mempunyai) keinginan (untuk) mati sebelum kamu menghadapi (mati yang sesungguhnya), sekarang sungguh kamu telah melihatnya dan mengalaminya”. 9QS Ali Imran 3 : 143)
“Matikan dirimu sebelum mati” (Al Hadits)
Berdasarkan ayat tersebut, kita diperintahkan untuk memerangi atau membunuh sifat kekafiran (ketertutupan) mata qalbu kita, agar kita dapat melihat Al Haq atau Allah. Inilah yang disebut dengan jihad di jalan Allah dan mati syahid, yaitu mati dalam menyaksikan Al Haq atau Allah. Bagi orang yang sudah mengalami mati syahid maka ia akan menyaksikan Cahaya Allah dan berjalan serta hidup kembali di atas bumi ini dengan dibimbing oleh Cahaya-Nya.
“Dan apakah orang-orang yang sudah mati (syahid) kemudian Kami beri Cahaya, dan dengan Cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, sama dengan orang yang dalam kegelapan yang tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah orang-orang kafir itu memandang baik apa yang mereka kerjakan”. (QS Al An’am 6 : 122)
Orang-orang yang telah berhasil membunuh sifat kekafiran yang menutupi mata qalbunya, maka Allah akan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada Cahaya-Nya. Tetapi jangan ditafsirkan dulu kata “Cahaya” tersebut. Agar tidak mempersempit ruang untuk cahaya. Kita alami, kita rasakan dulu, proses yang membawa kita dari daerah gelap ke daerah yang bercahaya. Rasa sejuk yang menyeliputi kita, rasa segar dan damai yang membebaskan kekalutan pikiran kita, itulah pekerjaan Allah. Dengan kesejukan batin dan kejernihan pikiran, maka Allah mengeluarkan dari kegelapan dan membawa kita ke Cahaya-Nya.
“Dialah yang mengeluarkan mereka (yang menjadikan Allah sebagai Pelindung) dari kegelapan menuju Cahaya”. (QS Al Baqarah 2 : 257)
“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya Allah itu seolah-olah sebuah ceruk yang berisi lampu. Lampu itu ditudungi kaca, dan kacanya bak bintang yang memancarkan sinar gemerlapan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkati yaitu pohon zaitun yang tidak tumbuh di timur maupun di barat. Minyaknyapun bercahaya meski tidak disentuh api. Cahaya di atas Cahaya. Allah menunjukan Cahaya-Nya kepada orang yang menghendaki Cahaya-Nya. Allah membuat parabel-parabel untuk manusia, karena sesungguhnya Dia memiliki ilmu tentang segala sesuatu”. (QS An Nur 24 : 35)
Orang-orang yang sudah menyaksikan Cahaya Allah dengan mata qalbunya adalah orang yang sudah terbebas dari kekafiran (ketertutupan), maka dia wajib untuk melakukan jihad atau perjuangan yang sungguh-sungguh dan tidak kenal lelah untuk memerangi kekafiran yang masih menjerat orang-orang disekitarnya. Inilah yang dimaksudkan Allah dalam firman-Nya , bahwa kita wajib memerangi dan membunuh orang-orang yang masih kafir (tertutup) “mata qalbunya” agar mereka mendapatkan pengalaman mati. Karena untuk membuka “mata qalbu” orang-orang kafir maka ia harus dibunuh atau dimatikan terlebih dahulu dengan suatu metode yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw, yang dikenal dengan nama metode “Husnul Khotimah”.
Orang yang sudah merasakan “mati syahid”, maka ia akan terus berkeinginan mengulang pengalaman tersebut terus-menerus, hal ini dikarenakan mereka sudah merasakan kenikmatan dan kelebihan yang diterima oleh “para syuhada” atau orang yang sudah mengalami mati syahid.
“Seseorang yang meninggal dunia sedang dia mempunyai kebaikan pada sisi Tuhan, tiada menyukai untuk kembali ke dunia, biarpun diberikan kepadanya dunia dan seisinya, kecuali orang yang mati syahid, karena telah dilihatnya kelebihan mati syahid itu. Sesungguhnya dia suka kembali ke dunia lalu terbunuh sekali lagi”. (HR Bukhari)
“Rasulullah Saw bersabda : “Dan demi Tuhan yang diriku ditangan-Nya, sesungguhnya saya amat ingin terbunuh dalam perang di jalan Allah kemudian dihidupkan, kemudian terbunuh lagi dan dihidupkan lagi, kemudian terbunuh dan dihidupkan lagi dan akhirnya terbunuh lagi”. (HR Bukhari)
“Tuhan tertawa pada dua orang, yang satu membunuh yang lain dan keduanya masuk surga. Yaitu ketika seorang berperang di jalan Allah, lalu ia terbunuh. Kemudian Tuhan menerima taubat orang yang membunuh lalu ia mati syahid”. (HR Bukhari)
Kedua Hadits tersebut di atas apabila dikaji dengan kajian hakikat akan bermakna dalam sekali bagi orang yang mengerti tetapi akan sangat sulit untuk dimengerti oleh orang yang kafir mata qalbunya.
Kembali ke masalah perbedaan di kalangan umat Islam yang berakibat saling mengkafirkan satu sama lainnya, sebenarnya Allah telah membuatkan solusinya, yaitu agar manusia mengembalikan permasalahan tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia (masalah itu) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS An Nissa 4 : 59)
Sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa apabila kita berbeda pendapat dalam urusan kebenaran, maka perkara itu diselesaikan dengan cara menelaah kembali Al Qur’an dan Al Hadits. Tetapi anehnya setelah mereka sama-sama menelaah permasalahan tersebut ke dalam Al Qur’an dan Al Hadits, tetap saja tidak ditemukan kata sepakat, bahkan perbedaan pendapat diantara mereka semakin tajam saja, walaupun dalil-dalil atau ayat yang dipedomaninya sama. Hal ini sering terjadi di kalangan umat Islam dan juga di kalangan umat beragama lainnya, sehingga kita sering melihat di kalangan umat beragama terjadi perpecahan dan bergolong-golongan dalam memahami ajaran agamanya. Khusus untuk umat Islam, perpecahan di antara umatnya sudah diramalkan oleh Nabi Muhammad Saw, sesuai dengan sabda beliau :
“Sepeninggalku nanti, umat Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka, hanya satu golongan yang benar yaitu yang berpegang teguh kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Al Hadts)
Seruan untuk kembali kepada Al Qur’an dan Al Hadits, apabila di kalangan umat Islam terjadi perbedaan pendapat, tidak akan berhasil dengan baik, jika kita belum mendapatkan Petunjuk atau Hidayah dari Allah dalam menelaah dan mengkaji ajaran-ajaran-Nya yang tertuang dalam Kitabullah, karena untuk bisa memahami Kalam Allah di dalam Al Qur’an diperlukan Petunjuk atau Wahyu terlebih dahulu, sesuai dengan firman Allah :
“Dan tidak seorangpun manusia yang dapat memahami Kalimat Allah kecuali dengan bantuan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya siapa yang dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Kitab dan apa iman itu, tetapi Kami jadikan wahyu itu Cahaya, yang dengannya Kami memberi Petunjuk orang-orang yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau menunjuki kepada jalan yang lurus”. (QS Asy Syura 42 51-52)
“Maha Tinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa menyimpulkan isi Al Qur’an sebelum disempurnakan Wahyu kepadamu, dan katakanlah : “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS Thaha 20 : 114)
“Dan Allah akan menambah Petunjuk kepada mereka yang telah mendapat Petunjuk”. (QS Maryam 19 : 76)
“Dia telah menurunkan para malaikat dan Roh untuk membawa Wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya”. (QS An Nahl 16 : 2)
Berdasarkan ayat tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk membaca wahyu Allah harus dengan wahyu pula, sebab mustahil kita dapat memahami wahyu Allah tanpa menerima petunjuk atau wahyu dari Allah.
“Dan kebanyakan mereka hanyalah mengikuti persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak dapat mengalahkan kebenaran sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS Yunus 10 : 36)
Untuk mendapatkan wahyu dari Allah, dipelukan usaha yang sungguh-sungguh dari setiap umat manusia untuk mengenal Allah (Ma’rifatullah) dan menemui Allah (Liqa’ Allah), dengan bantuan dan bimbingan dari orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut.
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kamu kepada ahli Dzikir jika kamu tidak mengetahui”. (QS An Nahl 16 : 43)