Yang lebih parah, adalah ketika kata kafir itu mulai ditujukan kepada golongan di luar golongan yang diyakininya walaupun masih dalam satu agama Islam. Sehingga tidaklah mengherankan jika dalam agama Islam, satu golongan mengkafirkan golongan yang lainnya, bahkan mereka kadang menghalalkan segala cara untuk menghancurkan golongan yang dianggapnya kafir tersebut. Hal ini dikarenakan mereka keliru dalam memahami apa arti yang sesungguhnya dari kata kafir tersebut. Mereka hanya mengutip ayat-ayat dalam Al Qur’an dan menafsirkannya secara harfiah tanpa mau merenungi apa sesungguhnya hakikat kekafiran itu sendiri.
Dalam Al Qur’an, banyak ayat-ayat yang menyuruh orang beriman untuk berjihad memerangi orang-orang kafir bahkan orang-orang kafir harus dibunuh dimanapun mereka berada. Bahkan kalau perlu kita harus mengorbankan jiwa dan raga untuk memerangi orang-orang kafir tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis ….” (QS At Taubah 9 : 28).
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang-orang yang beriman untuk berperang …. “(QS Al Anfal 8 : 65)
“… Bunuhlah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai dan tangkaplah mereka, kepunglah dan dudukilah setiap markas mereka ….” (QS At Taubah 9 :5)
“…. Bunuhlah pimpinan-pimpinan orang kafir, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya ….” (QS At Taubah 9 : 12)
“Bunuhlah (orang-orang kafir), Allah akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu, Dia memberikan kehinaan kepada mereka dan Dia akan menolong kamu terhadap mereka serta Dia melegakan hati kaum yang beriman”. (QS At Taubah 9 : 14)
“Bunuhlah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah….” (QS At Taubah 9 : 29)
‘Hai Nabi berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka …..” QS At Taubah 9 : 73).
“Hai sekalian orang-orang yang beriman, bunuhlah orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu dan hendaklah mereka merasakan kekerasan daripadamu ….”. (QS At Taubah 9 : 123).
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta benda mereka dengan surga kepada mereka, mereka membunuh di jalan Allah maka mereka membunuh atau terbunuh…. Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan dengan-Nya dan itulah kemenangan yang besar”. (QS At Taubah 9 : 111).
“Ambillah sebagian dari harta mereka (orang kafir) sebagai sedekah untuk membersihkan dan menyucikan mereka dengannya. Dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu itu menjadi ketentraman bagi mereka ……” (QS At Taubah 9 : 103).
Demikian beberapa ayat dalam Al Qur’an yang memerintahkan agar orang kafir harus dibunuh (qital) sehingga ada beberapa golongan dalam umat Islam yang menghalalkan berbagai cara untuk membunuh orang-orang kafir yang berada di sekitarnya, seperti beberapa kasus bom bunuh diri yang banyak menewaskan orang-orang yang mereka anggap kafir. Padahal, kalau kita kaji lebih dalam lagi, sebenarnya kata “Kafir” itu berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti “Tertutup”.
Kata kafir merupakan kata antonim dari kata “Syakir”, yang artinya terbuka. Jadi kata “kufur” lawan kata “syukur”. Dari kata ini orang inggris menyerapnya dalam bahasa mereka dengan kata “Cover” yang artinya “Tutup”. Misalnya kata cover buku artinya tutup buku atau sampul buku. Berdasarkan asal usul kata tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa orang-orang kafir adalah orang-orang yang tertutup. Pertanyaan selanjutnya, tertutup dari apa? Dan apanya yang tertutup? Jawabannya cukup sederhana, yaitu mereka tertutup dari melihat kebenaran karena “mata qalbunya” yang tertutup alias buta. Siapakah kebenaran itu? Jawabannya adalah Al Haq atau Allah (annallaha huwal haqqu sesungguhnya Allah Dia-lah yang Haq QS 31 : 30). Jadi orang kafir adalah orang yang tidak melihat kebenaran (Allah) karena mata qalbunya tertutup, karena mata qalbunya tertutup maka orang kafir mengingkari adanya Kebenaran (Allah).
Orang-orang yang mengingkari kebenaran, akan berada di jalan Thagut dan sekaligus menjadikan Thagut sebagai pelindung mereka. Thagut akan mengeluarkan mereka dari Cahaya dan menuju zhulumat (kegelapan). Kata “zhulumat” itu seakar dengan kata zhalim atau lalim. Perbuatan yang menyakitkan atau merugikan baik terhadap orang lain maupun dirinya sendiri. Karena itu, zhulumat diterjemahkan kegelapan. Dengan demikian, orang yang mengabdi pada Thagut adalah orang yang hidup di area yang gelap atau “dark area”.
Di tempat yang gelap, manusia tidak akan mampu mengetahui arah. Tidaj akan bisa membedakan sesuatu yang menguntungkan atau yang merugikan. Tak akan tahu mana yang benar dan mana yang salah. Itulah wilayah Thagut. Jadi, di daerah yang gelap, meski mata tidak buta tapi tak akan bisa melihat. Meski telinga tidak tuli, tapi tak akan dapat menuntun ke sumber kebenaran. Akibatnya, orang tersebut ngawur. Kalau akbat perbuatannya yang zhalim itu hanya mengena dirinya, itu tidak apa-apa. Masalahnya, perbuatan zhalim itu mengenai juga orang-orang di sekitarnya. Bahkan menghancurkan mereka yang baik-baik yang tinggal di wilayah paket yang tak aman itu. Sehingga yang zhalim saat ini aman-aman saja, tapi mereka yang baik-baik malah terlanda musibah. Oleh karena itu orang yang kafir (tertutup) dari zhalim (kegelapan) haruslah diperangi dan dibunuh dimanapun ia berada, agar ia tidak membahayakan dirinya dan orang lain.
Jadi berdasarkan penjelasan tersebut di atas, hakikat kekafiran adalah tertutupnya mata qalbu setiap manusia dari menyaksikan kebenaran yaitu Allah, sehingga ia terjebak dalam kegelapan (zhulmah) tidak mengetahui ma’rifat) mana yang benar dan mana yang batil, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang indah dan mana yang jelek.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai qalbu tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (kebenaran) dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar kalam Allah. Mereka itu binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lupa diri”. (QS Al A’raf 7 : 179).
“… karena sesungguhnya bukanlah mata jasmani yang buta tetapi yang buta adalah mata qalbu….”. (QS Al Hajj 22 : 45).
“Dan barang siapa yang buta mata qalbunya di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. (QS Al Isra’ 17 : 72)
“… seperti gelap gulita di lautan yang dalam dan diliputi ombak yang berlapis-lapis dan diatasnya lagi ada awan hitam yang gelap gulita berlapis-lapis. Apabila ia mengangkat tangannya tidaklah ia dapat melihatnya, dan barang siapa yang tiada ditunjuki Cahaya Allah, maka tiadalah dia mempunyai Cahaya sedikitpun”. (QS An Nur 24 : 35)
Berdasarkan ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang mata batinnya tertutup alias buta, adalah orang tidak melihat Nur Allah, sehingga ia berada dalam Kekafiran (ketertutupan) kegelapan (zhulmah). Karena kekafiran atau ketertutupan mata qalbunya tersebut, membuat dirinya tidak ingat atau tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil, yang pada akhirnya dia akan terjerumus dalam perbuatan yang merugikan dirinya dan orang lain. Untuk membebaskan orang tersebut dari keadaan seperti itu, hanya ada satu cara yang bisa ditempuh yaitu dengan “membunuh kekafiran” yang ada pada orang tersebut, sesuai dengan firman Allah :
“Dan sesungguhnya apabila Kami perintahkan kepada mereka : “Bunuhlah dirimu dan keluarlah dari rumahmu, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mau melakukannya kecualui sebagian kecil diantara mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka mau melaksanakan perintah yang diberikan kepada mereka tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka. Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka karunia (Cahaya) dari sisi Kami. Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus”. (QS An Nisa 4 : 66 – 68).
“… bertaubatlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu, dan bunuhlah dirimu, hal itu lebih baik bagimu pada sisi Tuhanmu…..” (QS Al Baqarah 2 : 54)
“Katakanlah : “malaikat maut (tekad/karep/keinginan untuk mati) yang diserahi kepadamu akan mematikan kamu, kemudian (saat itu juga) kamu akan kembali menemui Tuhanmu”. (QS As Sajadah 32 : 11)
“Sesungguhnya kamu (harus mempunyai) keinginan (untuk) mati sebelum kamu menghadapi (mati yang sesungguhnya), sekarang sungguh kamu telah melihatnya dan mengalaminya”. 9QS Ali Imran 3 : 143)
“Matikan dirimu sebelum mati” (Al Hadits)
Berdasarkan ayat tersebut, kita diperintahkan untuk membunuh sifat kekafiran (ketertutupan) mata qalbu kita, agar kita dapat melihat Al Haq atau Allah. Inilah yang disebut dengan jihad di jalan Allah dan mati syahid, yaitu mati dalam menyaksikan Al Haq atau Allah. Bagi orang yang sudah mengalami mati syahid maka ia akan menyaksikan Cahaya Allah dan berjalan serta hidup kembali di atas bumi ini dengan dibimbing oleh Cahaya-Nya.
“Dan apakah orang-orang yang sudah mati (syahid) kemudian Kami Cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, sama dengan orang yang dalam kegelapan yang tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah orang-orang kafir itu memandang baik apa yang mereka kerjakan”. 9QS Al An’am 6 : 122).
Orang-orang yang telah berhasil membunuh sifat kekafiran yang menutupi mata qalbunya, maka Allah akan mengeluarka mereka dari kegelapan Cahaya-Nya. Tetapi jangan ditafsirkan dulu kata “Cahaya” tersebut. Agar tidak mempersempit ruang untuk cahaya. Kita alami, kita rasakan duku, proses yang membawa kita dari daerah gelap ke daerah yang cahayanya. Rasa sejuk yang menyeliputi kita, rasa segar dan damai yang membebaskan kekalutan pikiran kita, itulah pekerjaan Allah. Dengan kesejukan batin dan kejernihan pikiran, maka Allah mengeluarkan dari kegelapan dan membawa kita ke Cahaya-Nya.
“Dialah yang mengeluarkan mereka (yang menjadikan Allah sebagai Pelindung) dari kegelapan menuju Cahaya”. (QS Al Baqarah 2 : 257).
“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya Allah itu seolah-olah sebuah ceruk yang berisi lampu. Lampu itu ditudungi kaca, dan kacanya bak bintang yang memancarkan sinar gemerlapan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkati yaitu pohon zaitun yang tidak tumbuh di timur maupun di barat. Minyaknyapun bercahaya meski tidak disentuh api. Cahaya di atas Cahaya. Allah menunjukki orang yang berkehendak kepada Cahaya-Nya. Allah membuat parable-parabel untuk manusia, karena sesungguhnya Dia memiliki ilmu tentang segala sesuatu”. (QS An Nur 24 : 35)
Orang-orang yang sudah menyaksikan Cahaya Allah dengan mata qalbunya yang sudah terbebas dari kekafiran (ketertutupan), maka dia wajib untuk melakukan jihad atau perjuangan yang sungguh-sungguh dan tidak kenal lelah untuk memerangi kekafiran yang masih menjerat orang-orang disekitarnya.
Orang-orang yang mengingkari kebenaran, akan berada di jalan Thagut dan sekaligus menjadikan Thagut sebagai pelindung mereka. Thagut akan mengeluarkan mereka dari Cahaya dan menuju zhulumat (kegelapan). Kata “zhulumat” itu seakar dengan kata zhalim atau lalim. Perbuatan yang menyakitkan atau merugikan baik terhadap orang lain maupun dirinya sendiri. Karena itu, zhulumat diterjemahkan kegelapan. Dengan demikian, orang yang mengabdi pada Thagut adalah orang yang hidup di area yang gelap atau “dark area”.
Di tempat yang gelap, manusia tidak akan mampu mengetahui arah. Tidaj akan bisa membedakan sesuatu yang menguntungkan atau yang merugikan. Tak akan tahu mana yang benar dan mana yang salah. Itulah wilayah Thagut. Jadi, di daerah yang gelap, meski mata tidak buta tapi tak akan bisa melihat. Meski telinga tidak tuli, tapi tak akan dapat menuntun ke sumber kebenaran. Akibatnya, orang tersebut ngawur. Kalau akbat perbuatannya yang zhalim itu hanya mengena dirinya, itu tidak apa-apa. Masalahnya, perbuatan zhalim itu mengenai juga orang-orang di sekitarnya. Bahkan menghancurkan mereka yang baik-baik yang tinggal di wilayah paket yang tak aman itu. Sehingga yang zhalim saat ini aman-aman saja, tapi mereka yang baik-baik malah terlanda musibah. Oleh karena itu orang yang kafir (tertutup) dari zhalim (kegelapan) haruslah diperangi dan dibunuh dimanapun ia berada, agar ia tidak membahayakan dirinya dan orang lain.
Jadi berdasarkan penjelasan tersebut di atas, hakikat kekafiran adalah tertutupnya mata qalbu setiap manusia dari menyaksikan kebenaran yaitu Allah, sehingga ia terjebak dalam kegelapan (zhulmah) tidak mengetahui ma’rifat) mana yang benar dan mana yang batil, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang indah dan mana yang jelek.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai qalbu tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (kebenaran) dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar kalam Allah. Mereka itu binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lupa diri”. (QS Al A’raf 7 : 179).
“… karena sesungguhnya bukanlah mata jasmani yang buta tetapi yang buta adalah mata qalbu….”. (QS Al Hajj 22 : 45).
“Dan barang siapa yang buta mata qalbunya di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. (QS Al Isra’ 17 : 72)
“… seperti gelap gulita di lautan yang dalam dan diliputi ombak yang berlapis-lapis dan diatasnya lagi ada awan hitam yang gelap gulita berlapis-lapis. Apabila ia mengangkat tangannya tidaklah ia dapat melihatnya, dan barang siapa yang tiada ditunjuki Cahaya Allah, maka tiadalah dia mempunyai Cahaya sedikitpun”. (QS An Nur 24 : 35)
Berdasarkan ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang mata batinnya tertutup alias buta, adalah orang tidak melihat Nur Allah, sehingga ia berada dalam Kekafiran (ketertutupan) kegelapan (zhulmah). Karena kekafiran atau ketertutupan mata qalbunya tersebut, membuat dirinya tidak ingat atau tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil, yang pada akhirnya dia akan terjerumus dalam perbuatan yang merugikan dirinya dan orang lain. Untuk membebaskan orang tersebut dari keadaan seperti itu, hanya ada satu cara yang bisa ditempuh yaitu dengan “membunuh kekafiran” yang ada pada orang tersebut, sesuai dengan firman Allah :
“Dan sesungguhnya apabila Kami perintahkan kepada mereka : “Bunuhlah dirimu dan keluarlah dari rumahmu, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mau melakukannya kecualui sebagian kecil diantara mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka mau melaksanakan perintah yang diberikan kepada mereka tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka. Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka karunia (Cahaya) dari sisi Kami. Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus”. (QS An Nisa 4 : 66 – 68).
“… bertaubatlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu, dan bunuhlah dirimu, hal itu lebih baik bagimu pada sisi Tuhanmu…..” (QS Al Baqarah 2 : 54)
“Katakanlah : “malaikat maut (tekad/karep/keinginan untuk mati) yang diserahi kepadamu akan mematikan kamu, kemudian (saat itu juga) kamu akan kembali menemui Tuhanmu”. (QS As Sajadah 32 : 11)
“Sesungguhnya kamu (harus mempunyai) keinginan (untuk) mati sebelum kamu menghadapi (mati yang sesungguhnya), sekarang sungguh kamu telah melihatnya dan mengalaminya”. 9QS Ali Imran 3 : 143)
“Matikan dirimu sebelum mati” (Al Hadits)
Berdasarkan ayat tersebut, kita diperintahkan untuk membunuh sifat kekafiran (ketertutupan) mata qalbu kita, agar kita dapat melihat Al Haq atau Allah. Inilah yang disebut dengan jihad di jalan Allah dan mati syahid, yaitu mati dalam menyaksikan Al Haq atau Allah. Bagi orang yang sudah mengalami mati syahid maka ia akan menyaksikan Cahaya Allah dan berjalan serta hidup kembali di atas bumi ini dengan dibimbing oleh Cahaya-Nya.
“Dan apakah orang-orang yang sudah mati (syahid) kemudian Kami Cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, sama dengan orang yang dalam kegelapan yang tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah orang-orang kafir itu memandang baik apa yang mereka kerjakan”. 9QS Al An’am 6 : 122).
Orang-orang yang telah berhasil membunuh sifat kekafiran yang menutupi mata qalbunya, maka Allah akan mengeluarka mereka dari kegelapan Cahaya-Nya. Tetapi jangan ditafsirkan dulu kata “Cahaya” tersebut. Agar tidak mempersempit ruang untuk cahaya. Kita alami, kita rasakan duku, proses yang membawa kita dari daerah gelap ke daerah yang cahayanya. Rasa sejuk yang menyeliputi kita, rasa segar dan damai yang membebaskan kekalutan pikiran kita, itulah pekerjaan Allah. Dengan kesejukan batin dan kejernihan pikiran, maka Allah mengeluarkan dari kegelapan dan membawa kita ke Cahaya-Nya.
“Dialah yang mengeluarkan mereka (yang menjadikan Allah sebagai Pelindung) dari kegelapan menuju Cahaya”. (QS Al Baqarah 2 : 257).
“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya Allah itu seolah-olah sebuah ceruk yang berisi lampu. Lampu itu ditudungi kaca, dan kacanya bak bintang yang memancarkan sinar gemerlapan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkati yaitu pohon zaitun yang tidak tumbuh di timur maupun di barat. Minyaknyapun bercahaya meski tidak disentuh api. Cahaya di atas Cahaya. Allah menunjukki orang yang berkehendak kepada Cahaya-Nya. Allah membuat parable-parabel untuk manusia, karena sesungguhnya Dia memiliki ilmu tentang segala sesuatu”. (QS An Nur 24 : 35)
Orang-orang yang sudah menyaksikan Cahaya Allah dengan mata qalbunya yang sudah terbebas dari kekafiran (ketertutupan), maka dia wajib untuk melakukan jihad atau perjuangan yang sungguh-sungguh dan tidak kenal lelah untuk memerangi kekafiran yang masih menjerat orang-orang disekitarnya.
Inilah yang dimaksudkan Allah dalam firman-Nya yang telah disebutkan diawal tulisan ini, bahwa kita wajib memerangi dan membunuh orang-orang yang masih kafir (tertutup) “mata qalbunya” agar mereka mendapatkan pengalaman mati. Karena untuk membuka “mata qalbu” orang-orang kafir maka ia harus membunuh atau mematikan terlebih dahulu dengan suatu metode yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw, yang dikenal dengan nama metode “Husnul Khotimah”.
Orang yang sudah merasakan “mati syahid”, maka ia akan terus berkeinginan mengulang pengalaman tersebut terus-menerus, hal ini dikarenakan mereka sudah merasakan kenikmatan dan kelebihan yang diterima oleh “para syuhada” atau orang yang sudah mengalami mati syahid.
“Seseorang yang meninggal dunia sedang dia mempunyai kebaikan pada sisi Tuhan, tiada menyukai untuk kembali ke dunia, biarpun diberikan kepadanya dunia dan seisinya, kecuali orang yang mati syahid, karena telah dilihatnya kelebihan mati syahid itu. Sesungguhnya dia suka kembali ke dunia lalu terbunuh sekali lagi”. (HR Bukhari)
“Rasulullah SAW bersabda : “Dan demi Tuhan yang diriku ditangan-Nya, sesungguhnya saya amat ingin terbunuh dalam ;perang di jalan Allah kemudian dihidupkan, kemudian terbunuh lagi dan dihidupkan lagi, kemudian terbunuh dan dihidupakn lagi dan akhirnya terbunuh lagi”. (HR Bukhari)
“Tuhan tertawa pada dua orang, yang satu membunuh yang lain dan keduanya masuk surga. Yaitu ketika seorang berperang di jalan Allah, lalu ia terbunuh. Kemudian Tuhan menerima taubat orang yang membunuh lalu ia mati syahid”. (HR Bukhari)
Kedua hadits tersebut di atas apabila dikaji dengan kajian hakekat akan bermakna dalam sekali bagi orang yang mengerti tetapi akan sangat sulit untuk dimengerti oleh orang yang kafir mata qalbunya.
Yaa ayuhal ladziina haaduu in za’amtum annakum auliyaa-u lillahi min dunin naasi fa tamannawul mauta inkuntum shaadiqin.
“Hai orang-orang yang mendapat petunjuk, jika kamu menganggap bahwa kamu adalah kekasih Allah, bukan manusia yang lain, maka mohonlah diberi kematian, jika kamu orang yang benar” (QS Al Jumuah 62 : 6).
“Maha Suci Allah yang memperjalankan seorang hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang Kami berkahi sekeliling agar kami memperlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda Keberadaan Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. ( QS Al Isra 17 : 1 )
“Demi bintang apabila terbenam. Tidaklah sesat sahabat kamu itu dan tidak keliru. Dan dia tidak menuturkan pengalamannya itu menurut hawa nafsunya. (pengalaman itu) tiada lain kecuali wahyu yang diwahyukan. Yang diajari oleh Allah Yang Maha Kuat. Yang mempeunyai rupa yang Maha bagus lalu Dia menjelma dengan sempurna. Sedang dia berada di ufuk yang tertinggi. Kemudia mendekat, lalu bertamabah dekat, maka jadilah dekatnya sejarak dua busur atau lebih dekat. Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang hendak Daia wahyukan.
Orang yang sudah merasakan “mati syahid”, maka ia akan terus berkeinginan mengulang pengalaman tersebut terus-menerus, hal ini dikarenakan mereka sudah merasakan kenikmatan dan kelebihan yang diterima oleh “para syuhada” atau orang yang sudah mengalami mati syahid.
“Seseorang yang meninggal dunia sedang dia mempunyai kebaikan pada sisi Tuhan, tiada menyukai untuk kembali ke dunia, biarpun diberikan kepadanya dunia dan seisinya, kecuali orang yang mati syahid, karena telah dilihatnya kelebihan mati syahid itu. Sesungguhnya dia suka kembali ke dunia lalu terbunuh sekali lagi”. (HR Bukhari)
“Rasulullah SAW bersabda : “Dan demi Tuhan yang diriku ditangan-Nya, sesungguhnya saya amat ingin terbunuh dalam ;perang di jalan Allah kemudian dihidupkan, kemudian terbunuh lagi dan dihidupkan lagi, kemudian terbunuh dan dihidupakn lagi dan akhirnya terbunuh lagi”. (HR Bukhari)
“Tuhan tertawa pada dua orang, yang satu membunuh yang lain dan keduanya masuk surga. Yaitu ketika seorang berperang di jalan Allah, lalu ia terbunuh. Kemudian Tuhan menerima taubat orang yang membunuh lalu ia mati syahid”. (HR Bukhari)
Kedua hadits tersebut di atas apabila dikaji dengan kajian hakekat akan bermakna dalam sekali bagi orang yang mengerti tetapi akan sangat sulit untuk dimengerti oleh orang yang kafir mata qalbunya.
Yaa ayuhal ladziina haaduu in za’amtum annakum auliyaa-u lillahi min dunin naasi fa tamannawul mauta inkuntum shaadiqin.
“Hai orang-orang yang mendapat petunjuk, jika kamu menganggap bahwa kamu adalah kekasih Allah, bukan manusia yang lain, maka mohonlah diberi kematian, jika kamu orang yang benar” (QS Al Jumuah 62 : 6).
“Maha Suci Allah yang memperjalankan seorang hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang Kami berkahi sekeliling agar kami memperlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda Keberadaan Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. ( QS Al Isra 17 : 1 )
“Demi bintang apabila terbenam. Tidaklah sesat sahabat kamu itu dan tidak keliru. Dan dia tidak menuturkan pengalamannya itu menurut hawa nafsunya. (pengalaman itu) tiada lain kecuali wahyu yang diwahyukan. Yang diajari oleh Allah Yang Maha Kuat. Yang mempeunyai rupa yang Maha bagus lalu Dia menjelma dengan sempurna. Sedang dia berada di ufuk yang tertinggi. Kemudia mendekat, lalu bertamabah dekat, maka jadilah dekatnya sejarak dua busur atau lebih dekat. Lalu Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang hendak Daia wahyukan.
Tidaklah hatinya mendustakan apa yang dia lihat. Apakah kamu membantahnya atas apa yang dia lihatnya ? Dan sungguh dia telah melihat-Nya pada kali yang lain. Dekat Sidratul muntaha. Didekatnya ada Jannah tempat tinggal. Ketika Sidratul muntaha ditutupi oleh sesuatu yang menutupinya. Tiadalah penglihatan dia menyimpang dan tiada melampaui. Sungguh dia telah melihat sebagian tanda-tanda yang besar dari kehadiran Tuhannya”. ( QS AN Najm 53 :1-18 )
Ayat tersebut apabila dibaca sekilas saja, mungkin tidak mempunyai keistimewaan, tetapi apabila direnungkan secara mendalam, maka akan kita dapatkan suatu makna hakikat yang amat penting yaitu : bahwa setiap umat manusia dapat mengalami pengalaman Isra dan Mi’raj apabila dikehendaki oleh Allah.
Ayat tersebut apabila dibaca sekilas saja, mungkin tidak mempunyai keistimewaan, tetapi apabila direnungkan secara mendalam, maka akan kita dapatkan suatu makna hakikat yang amat penting yaitu : bahwa setiap umat manusia dapat mengalami pengalaman Isra dan Mi’raj apabila dikehendaki oleh Allah.
Hal ini dikarenakan dalam ayat tersebut secara tegas Allah menyatakan bahwa yang diperjalankan oleh Allah pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha adalah seorang hamba-Nya. Ayat tersebut tidak mencantumkan nama dari seseorang, hal ini dikarenakan ayat tersebut difirmankan oleh Allah untuk seluruh umat manusia dan setiap hamba-Nya berhak untuk diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, dengan syarat ia harus berusaha untuk mengadakan perjalanan Isra dan Mi’raj dengan tujuan untuk menemui dan menyaksikan Keberadaan Allah.
Pengalaman seorang hamba Allah yang telah berhasil bertemu dengan Allah, diceritakan secara simbolis oleh Allah di dalam AlQur’an
Pengalaman Isra dan Mi’raj dapat dicapai oleh setiap hamba Allah ketika ia sedang dalam keadaan melaksanakan sholat, sesuai dengan Hadits :
“Sholat itu Mi’rajnya orang mu’min”. ( Al Hadits )
Seorang mu’min sejati dapat bermi’raj menemui Allah ketika ia sedang melaksanakan ibadah sholat. Pengalaman Mi’raj tersebut sangat bersifat individual sekali dan sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Sehingga dikalangan mereka muncul suatu ungkapan :
“Man lam yadzul lam yadri” artinya “Siapa yang tidak merasa, tidak tahu”
“Mayakruju baina syatain illa isyarat wal itibar” artinya “Apa yang keluar dari buah bibir adalah hanya sekedar isyarat dan itibar”.
Pengalaman seorang hamba Allah yang telah berhasil bertemu dengan Allah, diceritakan secara simbolis oleh Allah di dalam AlQur’an
Pengalaman Isra dan Mi’raj dapat dicapai oleh setiap hamba Allah ketika ia sedang dalam keadaan melaksanakan sholat, sesuai dengan Hadits :
“Sholat itu Mi’rajnya orang mu’min”. ( Al Hadits )
Seorang mu’min sejati dapat bermi’raj menemui Allah ketika ia sedang melaksanakan ibadah sholat. Pengalaman Mi’raj tersebut sangat bersifat individual sekali dan sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Sehingga dikalangan mereka muncul suatu ungkapan :
“Man lam yadzul lam yadri” artinya “Siapa yang tidak merasa, tidak tahu”
“Mayakruju baina syatain illa isyarat wal itibar” artinya “Apa yang keluar dari buah bibir adalah hanya sekedar isyarat dan itibar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar