Bagi sebagian orang, peristiwa kematian adalah suatu fenomena kehidupan yang anggap sebagai sesuatu yang sangat mengerikan. Kita hanya dapat berdoa dan berusaha untuk menunda kedatangannya. Tetapi kita tidak mampu menaklukkannya. Sebagian orang berusaha untuk melupakan dan menghibur dirinya. Ketika peristiwa kematian datang, maka semua kebanggaan, prestasi, kenikmatan dan hak milik duniawi tiba-tiba direngutnya dan dipisahkan selama-lamanya. Adakah kematian merupakan akhir dari segala-galanya ataukah masih ada serial kehidupan lain dari jiwa yang sama ? Pertanyaan ini muncul tak lain dari rasa ketakutan akan kehilangan hidup duniawi di satu sisi dan bayangan kengerian akan kematian di sisi lain. Absurd dan paradoks, memang. Mayoritas orang tetap enggan berpisah dari kehidupan duniawi, sekalipun kehidupan ini tidak selalu memberikan kebahagiaan dan bahkan lebih sering menyuguhkan penderitaan.
Makanya di mana-mana muncul rumah sakit. Pabrik obat selalu bertambah. Dukun dan orang pintar dicari banyak orang. Kesemuanya dimintai jasa untuk menunda datangnya kematian agar kehidupan ini lebih panjang durasinya. Padahal, sekali lagi, kematian adalah kemestian yang tak terelakkan.
RENUNGAN TENTANG WAKTU
Perjalanan waktu jika diperkirakan hanyalah sekejap. Umur manusia sesungguhnya amatlah pendek. Namun begitu ketika rentang umur itu dijalani, hidup ini serasa panjang sekali. Terlebih bagi seseorang yang tengah menderita, maka perjalanan waktu itu dirasakan amat lamban. Orang yang tinggal di ruang penjara, misalnya, yang tidak mampu menciptakan kesibukan, maka waktu dirasakan bagaikan berhenti. Pergeseran tanggal, hari, dan minggu tak mempunyai makna apa-apa. Ruang dan waktu tak lagi mengenal batas. Keduanya hadir bagaikan penjara, bahkan lebih kokoh dan lebih pengap dari ruang bangunan penjara itu sendiri. Jadi, ternyata persoalan ruang dan waktu bagi manusia lebih bersifat psikologis bukannya produk dan kesadaran kalkulasi matematis-geometris. Ini sangat kita sadari. Oleh karenanya ketika seseorang dalam suasana pesta penuh ceria, perjalanan waktu dirasakan sangat cepat. Terlalu singkat acara pesta itu berlangsung. Padahal, dimanapun kita berada, suka atau tidak suka, setiap detik kita mengonsumsi waktu.
UPAYA MANUSIA UNTUK MELUPAKAN KEMATIAN
Karena kematian sudah merupakan kepastian, dan menurut sebagian besar orang, merupakan peristiwa yang menakutkan, maka orang lebih memilih tidak memikirkannya dan berusaha menghindarinya agar bisa merasakan kebahagiaan setiap saat yang dilaluinya. Begitulah, kadangkala manusia bertingkah mirip burung unta. Cara yang praktis untuk menghindar bahaya adalah dengan jalan memasukkan kepalanya ke dalam pasir sehingga musuh yang ditakuti tidak kelihatan, sekalipun sangat bisa jadi dalam hatinya tetap merasa takut, sebuah perasaan yang ditekan agar tidak mengemuka. Memang, perasaan, pikiran dan tindakan manusia selalu berubah-ubah. Perasaan,pikiran dan kehendak manusia dalam dirinya selalu bergerak dan selalu menciptakan gerak pada organ tubuh yang lain. Fluktuatif memang. Ketika menderita, kita berharap langkah waktu dipercepat. Sebaliknya, ketika bergembira kita ingin sekali agar waktu berjalan lamban atau bahkan berhenti.
Entah dalam suasana suka atau duka, entah seseorang hidup bahagia ataukah menderita, para psikolog dan filosof meyakini betul bahwa kesadarannya yang paling dalam setiap manusia dibayangi oleh keyakinan akan datangnya kematian. Lagi-lagi, ini suatu paradoks dan absurditas penalaran dan perasaan manusia. Padahal kematian adalah realitas yang tak terelakkan yang pasti datang dan akan mengakhiri drama kehidupan setiap individu. Namun justru karena kematian adalah sebuah realitas dan peristiwa pamungkas dari eksistensi kehidupan duniawi ini, maka banyak orang lalu mencoba dan berusaha untuk melupakan, mengelakkan dan tak mau memikirkannya. Sesuatu yang sudah pasti tidak perlu lagi dipikirkan. Yang menjadi obyek pikiran dan perjuangan manusia adalah hal-hal yang belum pasti. Karena jalan kematian setiap orang belum pasti, maka yang perlu dipikirkan bukan peristiwa kematiannya melainkan jalan atau penyebab menuju kematian. Begitu juga halnya dengan pertanyaan mengenai adakah kehidupan lain setelah mati ataukah dengan kematian berarti akhir segala-galanya dari esensi dan eksistensi manusia, pertanyaan tersebut merupakan obyek kajian, renungan, spekulasi dan perdebatan sepanjang sejarah. Sejak dari orang awam yang buta huruf sampai dengan para teolog, psikolog, antropolog, ilmuwan, filosof, politikus dan konglomerat kesemuanya tidak terbebaskan dari rasa takut dan rasa ingin tahu tentang hakikat kematian dan apa yang akan terjadi setelahnya.
Tetapi, lagi-lagi, karena mereka semua belum pernah mengalami, meskipun hal itu pasti akan terjadi, maka renungan tentang hakikat kematian lalu bersifat psikologis dan spekulatif. Disini pendekatan ilmiah yang bersifat empiris dan induktif tidak berlaku dan diulangi oleh aktor yang pernah mengalaminya sekalipun peristiwa ini jumlahnya sudah jutaan kali. Kita semua pernah menyaksikan sendiri orang yang, katakanlah, pekan lalu masih gagah perkasa, tiba-tiba hari ini telah berubah menjadi seonggok daging yang tidak bergerak dan sangat cepat membusuk sehingga harus segera dipendam dalam-dalam. Dia telah menjadi mayat. Menjadi bangkai, bekas manusia. Karena itu merupakan peristiwa sehari-hari, akhirnya kita menganggap sebagai kejadian biasa yang seakan “terlupakan”.
MISTERI KEMATIAN
Kematian menurut sebagian besar orang merupakan misteri yang menakutkan. Makanya masyarakat menganggap tabu berbicara tentang kematian. Sekalipun orangtua yang sakit sudah dalam keadaan kritis, para dokter dan anggota keluarganya tidak berani dan merasa tidak etis untuk membuat prediksi dan analisis tentang datangnya kematian. Kalau kematian sudah tiba, tetangga dan teman-teman lalu datang menyampaikan rasa simpati. Berbagai doa dipanjatkan untuk menghibur keluarganya yang tengah berkabung di rumah duka. Berbagai ungkapan kata, doa, pakaian dan gerak-gerik perilaku yang berkaitan dengan kematian semuanya mengekspresikan satu pandangan yang begitu mapan bahwa kematian itu sebuah malapetaka. Sebuah tragedi dan sebuah musibah yang mendatangkan kesedihan. Benarkah demikian ?
PANDANGAN KAUM SUFI TENTANG HAKIKAT KEMATIAN
Dalam dunia kesufian, fenomena kematian merupakan tema sentral yang banyak dibahas. Mereka berpendapat bahwa jiwa manusia yang bersifat ruhani bagaikan sang rajawali yang terkurung dalam sangkar tubuh. Ruh manusia berasal dari Allah dengan misi agung mengendalikan instrumen tubuh, akal dan emosi untuk melaksanakan kekhalifahan Allah dimuka bumi, memakmurkan kehidupan di muka bumi sebagai manifestasi penghambaan diri pada-Nya. Tetapi misi keruhanian adakalanya gagal ketika seseorang lebih tertarik pada perintah dan tawaran hawa nafsu yang menyajikan kesenangan dan kenikmatan sesaat yang bersifat badani sehingga bisikan, ajakan, peringatan dan daya ruhani untuk melakukan bakti yang lebih mulia dan meraih kebahagiaan yang lebih tinggi menjadi terbengkalai. Qalbunya mengeras, telinganya menjadi tuli, dan penglihatannya buta terhadap Al H. Demikianlah firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah (2) : 18 dan Al A’araf (7) : 179. Orang yang demikian itu derajatnya lebih hina dari binatang.
Para sufi selalu berdoa dan berusaha jangan sampai jeratan kenikmatan duniawi membuat “Sang Rajawali” ruhani tidak mampu terbang dan mi’raj ke angkasa nan luas, terbebas dari sekat dan jeratan fisik agar kita dimudahkan dan diringankan perjalanannya untuk mendekat dan menemui Allah Yang maha Kasih dan Maha Luas. Ilahi anta maqshudi wa ridhoka mahlubi (Ya Allah hanya Engkau yang menjadi tujuan akhir perjalanan hidup kami, dan hanya rida-Mu yang menjadi dambaan kami).
Dalam dunia kesufian terdapat kisah anekdot yang menarik untuk kita renungi., yaitu tentang kisah burung rajawali yang terkurung dalam sangkar emas. Kisahnya sebagai berikut :
Ada seorang sufi yang telah membeli seekor burung rajawali dari sebuah pasar burung. Burung rajawali tersebut mempunyai penampilan yang yang gagah perkasa. Agar gerakannya lebih leluasa, maka sang sufi membuat sangkar yang lumayan besar. Selama bertahun-tahun sang sufi memelihara burung rajawali tersebut dengan penuh kasih sayang. Dipenuhi semua segala kebutuhan sang rajawali dengan baik dari segi makan dan minumnya. Namun dalam hati sang sufi, selalu muncul rasa bersalah dan kasihan, mengapa mesti mengurung makhluk Tuhan yang dengan sayapnya itu mestinya secara leluasa bisa terbang bebas menikmati alam lepas ? Berulang kali sang sufi ingin melepasnya, namun segera muncul keraguan dalam hatinya : Andaikan burung itu itu dilepas, apakah dia bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik ? Bagaimana kalau nanti ditangkap orang dan kemudian malah dikurung dalam sangkar yang lebih sempit ? Atau, adakah dia masih bisa terbang lincah dan dengan mudah memperoleh makanan di alam bebas kelak?. Sering hati dan pikiran sang sufi bimbang antara ingin melepas dan menahan.
Setelah lama menimbang nimbang, akhirnya pada suatu hari, sang sufi mendekati burung rajawali tersebut. Dia memanjatkan istigfar pada Allah, mohon ampun karena telah merampas kebebasan makhluk-Nya. Lalu sang sufi berkata : “Hai temanku burung rajawali. Aku sangat sayang dan berterima kasih padamu. Bertahun-tahun kamu telah menghiburku. Tetapi aku juga minta maaf telah memenjarakanmu selama ini. Dan pada hari ini aku beri kamu kebebasan untuk terbang menikmati alam bebas. Tetapi kalau kamu merasa betah di sangkar ini, silahkan tinggal dan aku sediakan makan. Pintu akan aku buka, sehingga kamu bebas keluar masuk. Tentunya aku akan lebih senang jika kamu tetap bersama aku”. Demikianlah, sudah berhari-hari sangkar itu terbuka pintunya, tetapi burung rajawali itu masih juga tidak keluar. Sang Sufi itu kebingungan. Di dalam hatinya dia bertanya-tanya, mengapa burung rajawali itu tidak mau keluar ? Apakah ia memang tidak mau keluar ? Ataukah tidak tahu bagaimana caranya keluar ? Akhirnya ia bertanya kepada gurunya, dan gurunya menjelaskan : “Wahai, muridku burung rajawali itu sudah terkurung lama dalam sangkarnya sehingga tidak lagi mampu menangkap peluang untuk memasuki hidup baru. Takut untuk memasuki dunia yang lebih luas karena sudah merasa nyaman, sekalipun terpenjara dalam sangkarnya”.
Dari kisah tersebut diatas, kita dapat mengambil hikmahnya, yaitu apa yang terjadi pada burung rajawali itu, sesungguhnya seringkali menimpa anak manusia. Bahwa seseorang yang sudah lama tinggal di zona nyaman (comport zone) tidak berani melakukan perubahan untuk mencari kehidupan baru yang lebih luas dan menantang. Ini pernah terjadi pada penghuni penjara yang sudah 20 tahun mendekam di rumah tahanan, ketika hari pembebasan tiba, bukannya kegembiraan yang muncul tetapi malah kegamangan menapakkan kaki ke alam bebas. Dia merasa malu, takut dan gamang membangun pergaulan baru dan mencari pekerjaan baru. Akhirnya ia memilih melamar kerja sebagai tukang kebun rumah tahanan yang suasananya sudah menyatu dengan dirinya.
Istilah zona nyaman (comport zone) sangat popular di lingkungan sarjana psikologi. Istilah ini menunjuk pada keadaan, situasi dan wilayah yang dirasakan mendatangkan rasa nyaman, aman, dan tidak berbahaya sehingga seseorang enggan keluar dari wilayah itu. Namun sesungguhnya kenyaman itu belum tentu sejati, sebab bisa saja menipu dan membatasi terbukanya peluang untuk memperoleh kemajuan dan kebahagiaan yang lebih tinggi, sebagaimana kasus burung rajawali di atas. Dia sudah merasa nyaman, padahal di luar sangkar terbentang kebun, hutan dan udara bebas yang telah disediakan Sang Pencipta.
Terdapat beragam zona nyaman yang selalu dipagari oleh seseorang dan pintunya pun ditutup rapat-rapat agar tidak terganggu oleh orang lain ataupun masuknya gagasan-gagasan baru yang menggelisahkan. Misalnya saja, seorang yang telah lama mengenakan seragam militer lengkap dengan pangkatnya, ketika jalan-jalan di tempat keramaian dengan pakaian biasa dan tidak memakai pistol, maka dirinya akan merasa gelisah, kurang percaya diri. Seseorang yang sudah belasan tahun menekuni sebuah karir ataupun profesi, gamang hatinya untuk memasuki dan pindah pada profesi baru. Seseorang yang di lingkungan sosialnya biasa dielu-elukan, di sanjung dan di hormati, bisa jadi akan canggung duduk mengikuti sebuah training dan diperlakukan sebagaimana peserta lain yang tidak memiliki status sosial tinggi.
Demikianlah, zona nyaman itu bisa terbentuk oleh kebiasaan dan paham yang sudah mapan baik berupa fanatisme aliran politik, mahzab keilmuan, kelompok pergaulan maupun paham keagamaan dan spiritual sehingga seseorang merasa nyaman berada dalam bangunan rumah virtual yang telah dihuni bertahun-tahun. Bahkan seseorang yang sudah belasan tahun mengendarai mobil, beraninya hanya melintasi jalan Thamrin-Sudirman, akan merasa gamang ketika harus mengambil jalur lain, padahal adakalanya jalur lain lebih nyaman ketika jalan Sudirman-Thamrin macet akibat adanya demonstrasi massa.
Apakah ada hubungannya zona nyaman dengan judul tulisan diatas ? Jawabnya tentu ada, yaitu fungsi dan misi keruhanian kita sebagai abdullah dan khalifatullah akan mengalami kegagalan ketika instrumen akal, emosi dan jiwa lebih tertarik pada kenikmatan dan kenyamanan duniawi yang bersifat sementara, sehingga melupakan kebahagiaan spiritual yang lebih sejati sebagaimana dijanjikan Allah. Jika hati, pikiran dan nafsu kita masih sangat kuat terikat dengan bagasi duniawi, pasti sulit untuk lari dan terbang mendekati Allah. Maka bersyukurlah para saudara seiman yang memiliki pangkat, jabatan dan prestise yang selama ini dibangga-banggakan, sebagian sudah mulai sadar bahwa “bagasi dan topeng” itu mulai ditanggalkan meskipun awalnya tampak agak berat melepaskannya.
“Hadiah bagi orang yang beriman adalah mati”. (HR Ahmad)
“Janganlah kamu anggap mati orang-orang yang terbunuh di jalan Allah. Mereka hidup disisi Allah dan mereka diberi rezeki yang baik-baik”. (QS Ali Imran 3 : 169)
“Dan janganlah kamu katakana terhadap orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah bahwa mereka itu mati, bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadari”. (QS Al Baqarah 2 : 154)
“Dan apakah orang-orang yang sudah mati kemudian Kami menghidupkannya dan Kami berikan kepadanya Cahaya yang dengan Cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, sama dengan orang yang dalam kegelapan yang tidak dapat keluar daripadanya ? Demikianlah orang-orang kafir itu memnadang baik apa yang mereka amalkan”. (QS Al An’am 6 : 122)
RENUNGAN TENTANG WAKTU
Perjalanan waktu jika diperkirakan hanyalah sekejap. Umur manusia sesungguhnya amatlah pendek. Namun begitu ketika rentang umur itu dijalani, hidup ini serasa panjang sekali. Terlebih bagi seseorang yang tengah menderita, maka perjalanan waktu itu dirasakan amat lamban. Orang yang tinggal di ruang penjara, misalnya, yang tidak mampu menciptakan kesibukan, maka waktu dirasakan bagaikan berhenti. Pergeseran tanggal, hari, dan minggu tak mempunyai makna apa-apa. Ruang dan waktu tak lagi mengenal batas. Keduanya hadir bagaikan penjara, bahkan lebih kokoh dan lebih pengap dari ruang bangunan penjara itu sendiri. Jadi, ternyata persoalan ruang dan waktu bagi manusia lebih bersifat psikologis bukannya produk dan kesadaran kalkulasi matematis-geometris. Ini sangat kita sadari. Oleh karenanya ketika seseorang dalam suasana pesta penuh ceria, perjalanan waktu dirasakan sangat cepat. Terlalu singkat acara pesta itu berlangsung. Padahal, dimanapun kita berada, suka atau tidak suka, setiap detik kita mengonsumsi waktu.
UPAYA MANUSIA UNTUK MELUPAKAN KEMATIAN
Karena kematian sudah merupakan kepastian, dan menurut sebagian besar orang, merupakan peristiwa yang menakutkan, maka orang lebih memilih tidak memikirkannya dan berusaha menghindarinya agar bisa merasakan kebahagiaan setiap saat yang dilaluinya. Begitulah, kadangkala manusia bertingkah mirip burung unta. Cara yang praktis untuk menghindar bahaya adalah dengan jalan memasukkan kepalanya ke dalam pasir sehingga musuh yang ditakuti tidak kelihatan, sekalipun sangat bisa jadi dalam hatinya tetap merasa takut, sebuah perasaan yang ditekan agar tidak mengemuka. Memang, perasaan, pikiran dan tindakan manusia selalu berubah-ubah. Perasaan,pikiran dan kehendak manusia dalam dirinya selalu bergerak dan selalu menciptakan gerak pada organ tubuh yang lain. Fluktuatif memang. Ketika menderita, kita berharap langkah waktu dipercepat. Sebaliknya, ketika bergembira kita ingin sekali agar waktu berjalan lamban atau bahkan berhenti.
Entah dalam suasana suka atau duka, entah seseorang hidup bahagia ataukah menderita, para psikolog dan filosof meyakini betul bahwa kesadarannya yang paling dalam setiap manusia dibayangi oleh keyakinan akan datangnya kematian. Lagi-lagi, ini suatu paradoks dan absurditas penalaran dan perasaan manusia. Padahal kematian adalah realitas yang tak terelakkan yang pasti datang dan akan mengakhiri drama kehidupan setiap individu. Namun justru karena kematian adalah sebuah realitas dan peristiwa pamungkas dari eksistensi kehidupan duniawi ini, maka banyak orang lalu mencoba dan berusaha untuk melupakan, mengelakkan dan tak mau memikirkannya. Sesuatu yang sudah pasti tidak perlu lagi dipikirkan. Yang menjadi obyek pikiran dan perjuangan manusia adalah hal-hal yang belum pasti. Karena jalan kematian setiap orang belum pasti, maka yang perlu dipikirkan bukan peristiwa kematiannya melainkan jalan atau penyebab menuju kematian. Begitu juga halnya dengan pertanyaan mengenai adakah kehidupan lain setelah mati ataukah dengan kematian berarti akhir segala-galanya dari esensi dan eksistensi manusia, pertanyaan tersebut merupakan obyek kajian, renungan, spekulasi dan perdebatan sepanjang sejarah. Sejak dari orang awam yang buta huruf sampai dengan para teolog, psikolog, antropolog, ilmuwan, filosof, politikus dan konglomerat kesemuanya tidak terbebaskan dari rasa takut dan rasa ingin tahu tentang hakikat kematian dan apa yang akan terjadi setelahnya.
Tetapi, lagi-lagi, karena mereka semua belum pernah mengalami, meskipun hal itu pasti akan terjadi, maka renungan tentang hakikat kematian lalu bersifat psikologis dan spekulatif. Disini pendekatan ilmiah yang bersifat empiris dan induktif tidak berlaku dan diulangi oleh aktor yang pernah mengalaminya sekalipun peristiwa ini jumlahnya sudah jutaan kali. Kita semua pernah menyaksikan sendiri orang yang, katakanlah, pekan lalu masih gagah perkasa, tiba-tiba hari ini telah berubah menjadi seonggok daging yang tidak bergerak dan sangat cepat membusuk sehingga harus segera dipendam dalam-dalam. Dia telah menjadi mayat. Menjadi bangkai, bekas manusia. Karena itu merupakan peristiwa sehari-hari, akhirnya kita menganggap sebagai kejadian biasa yang seakan “terlupakan”.
MISTERI KEMATIAN
Kematian menurut sebagian besar orang merupakan misteri yang menakutkan. Makanya masyarakat menganggap tabu berbicara tentang kematian. Sekalipun orangtua yang sakit sudah dalam keadaan kritis, para dokter dan anggota keluarganya tidak berani dan merasa tidak etis untuk membuat prediksi dan analisis tentang datangnya kematian. Kalau kematian sudah tiba, tetangga dan teman-teman lalu datang menyampaikan rasa simpati. Berbagai doa dipanjatkan untuk menghibur keluarganya yang tengah berkabung di rumah duka. Berbagai ungkapan kata, doa, pakaian dan gerak-gerik perilaku yang berkaitan dengan kematian semuanya mengekspresikan satu pandangan yang begitu mapan bahwa kematian itu sebuah malapetaka. Sebuah tragedi dan sebuah musibah yang mendatangkan kesedihan. Benarkah demikian ?
PANDANGAN KAUM SUFI TENTANG HAKIKAT KEMATIAN
Dalam dunia kesufian, fenomena kematian merupakan tema sentral yang banyak dibahas. Mereka berpendapat bahwa jiwa manusia yang bersifat ruhani bagaikan sang rajawali yang terkurung dalam sangkar tubuh. Ruh manusia berasal dari Allah dengan misi agung mengendalikan instrumen tubuh, akal dan emosi untuk melaksanakan kekhalifahan Allah dimuka bumi, memakmurkan kehidupan di muka bumi sebagai manifestasi penghambaan diri pada-Nya. Tetapi misi keruhanian adakalanya gagal ketika seseorang lebih tertarik pada perintah dan tawaran hawa nafsu yang menyajikan kesenangan dan kenikmatan sesaat yang bersifat badani sehingga bisikan, ajakan, peringatan dan daya ruhani untuk melakukan bakti yang lebih mulia dan meraih kebahagiaan yang lebih tinggi menjadi terbengkalai. Qalbunya mengeras, telinganya menjadi tuli, dan penglihatannya buta terhadap Al H. Demikianlah firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah (2) : 18 dan Al A’araf (7) : 179. Orang yang demikian itu derajatnya lebih hina dari binatang.
Para sufi selalu berdoa dan berusaha jangan sampai jeratan kenikmatan duniawi membuat “Sang Rajawali” ruhani tidak mampu terbang dan mi’raj ke angkasa nan luas, terbebas dari sekat dan jeratan fisik agar kita dimudahkan dan diringankan perjalanannya untuk mendekat dan menemui Allah Yang maha Kasih dan Maha Luas. Ilahi anta maqshudi wa ridhoka mahlubi (Ya Allah hanya Engkau yang menjadi tujuan akhir perjalanan hidup kami, dan hanya rida-Mu yang menjadi dambaan kami).
Dalam dunia kesufian terdapat kisah anekdot yang menarik untuk kita renungi., yaitu tentang kisah burung rajawali yang terkurung dalam sangkar emas. Kisahnya sebagai berikut :
Ada seorang sufi yang telah membeli seekor burung rajawali dari sebuah pasar burung. Burung rajawali tersebut mempunyai penampilan yang yang gagah perkasa. Agar gerakannya lebih leluasa, maka sang sufi membuat sangkar yang lumayan besar. Selama bertahun-tahun sang sufi memelihara burung rajawali tersebut dengan penuh kasih sayang. Dipenuhi semua segala kebutuhan sang rajawali dengan baik dari segi makan dan minumnya. Namun dalam hati sang sufi, selalu muncul rasa bersalah dan kasihan, mengapa mesti mengurung makhluk Tuhan yang dengan sayapnya itu mestinya secara leluasa bisa terbang bebas menikmati alam lepas ? Berulang kali sang sufi ingin melepasnya, namun segera muncul keraguan dalam hatinya : Andaikan burung itu itu dilepas, apakah dia bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik ? Bagaimana kalau nanti ditangkap orang dan kemudian malah dikurung dalam sangkar yang lebih sempit ? Atau, adakah dia masih bisa terbang lincah dan dengan mudah memperoleh makanan di alam bebas kelak?. Sering hati dan pikiran sang sufi bimbang antara ingin melepas dan menahan.
Setelah lama menimbang nimbang, akhirnya pada suatu hari, sang sufi mendekati burung rajawali tersebut. Dia memanjatkan istigfar pada Allah, mohon ampun karena telah merampas kebebasan makhluk-Nya. Lalu sang sufi berkata : “Hai temanku burung rajawali. Aku sangat sayang dan berterima kasih padamu. Bertahun-tahun kamu telah menghiburku. Tetapi aku juga minta maaf telah memenjarakanmu selama ini. Dan pada hari ini aku beri kamu kebebasan untuk terbang menikmati alam bebas. Tetapi kalau kamu merasa betah di sangkar ini, silahkan tinggal dan aku sediakan makan. Pintu akan aku buka, sehingga kamu bebas keluar masuk. Tentunya aku akan lebih senang jika kamu tetap bersama aku”. Demikianlah, sudah berhari-hari sangkar itu terbuka pintunya, tetapi burung rajawali itu masih juga tidak keluar. Sang Sufi itu kebingungan. Di dalam hatinya dia bertanya-tanya, mengapa burung rajawali itu tidak mau keluar ? Apakah ia memang tidak mau keluar ? Ataukah tidak tahu bagaimana caranya keluar ? Akhirnya ia bertanya kepada gurunya, dan gurunya menjelaskan : “Wahai, muridku burung rajawali itu sudah terkurung lama dalam sangkarnya sehingga tidak lagi mampu menangkap peluang untuk memasuki hidup baru. Takut untuk memasuki dunia yang lebih luas karena sudah merasa nyaman, sekalipun terpenjara dalam sangkarnya”.
Dari kisah tersebut diatas, kita dapat mengambil hikmahnya, yaitu apa yang terjadi pada burung rajawali itu, sesungguhnya seringkali menimpa anak manusia. Bahwa seseorang yang sudah lama tinggal di zona nyaman (comport zone) tidak berani melakukan perubahan untuk mencari kehidupan baru yang lebih luas dan menantang. Ini pernah terjadi pada penghuni penjara yang sudah 20 tahun mendekam di rumah tahanan, ketika hari pembebasan tiba, bukannya kegembiraan yang muncul tetapi malah kegamangan menapakkan kaki ke alam bebas. Dia merasa malu, takut dan gamang membangun pergaulan baru dan mencari pekerjaan baru. Akhirnya ia memilih melamar kerja sebagai tukang kebun rumah tahanan yang suasananya sudah menyatu dengan dirinya.
Istilah zona nyaman (comport zone) sangat popular di lingkungan sarjana psikologi. Istilah ini menunjuk pada keadaan, situasi dan wilayah yang dirasakan mendatangkan rasa nyaman, aman, dan tidak berbahaya sehingga seseorang enggan keluar dari wilayah itu. Namun sesungguhnya kenyaman itu belum tentu sejati, sebab bisa saja menipu dan membatasi terbukanya peluang untuk memperoleh kemajuan dan kebahagiaan yang lebih tinggi, sebagaimana kasus burung rajawali di atas. Dia sudah merasa nyaman, padahal di luar sangkar terbentang kebun, hutan dan udara bebas yang telah disediakan Sang Pencipta.
Terdapat beragam zona nyaman yang selalu dipagari oleh seseorang dan pintunya pun ditutup rapat-rapat agar tidak terganggu oleh orang lain ataupun masuknya gagasan-gagasan baru yang menggelisahkan. Misalnya saja, seorang yang telah lama mengenakan seragam militer lengkap dengan pangkatnya, ketika jalan-jalan di tempat keramaian dengan pakaian biasa dan tidak memakai pistol, maka dirinya akan merasa gelisah, kurang percaya diri. Seseorang yang sudah belasan tahun menekuni sebuah karir ataupun profesi, gamang hatinya untuk memasuki dan pindah pada profesi baru. Seseorang yang di lingkungan sosialnya biasa dielu-elukan, di sanjung dan di hormati, bisa jadi akan canggung duduk mengikuti sebuah training dan diperlakukan sebagaimana peserta lain yang tidak memiliki status sosial tinggi.
Demikianlah, zona nyaman itu bisa terbentuk oleh kebiasaan dan paham yang sudah mapan baik berupa fanatisme aliran politik, mahzab keilmuan, kelompok pergaulan maupun paham keagamaan dan spiritual sehingga seseorang merasa nyaman berada dalam bangunan rumah virtual yang telah dihuni bertahun-tahun. Bahkan seseorang yang sudah belasan tahun mengendarai mobil, beraninya hanya melintasi jalan Thamrin-Sudirman, akan merasa gamang ketika harus mengambil jalur lain, padahal adakalanya jalur lain lebih nyaman ketika jalan Sudirman-Thamrin macet akibat adanya demonstrasi massa.
Apakah ada hubungannya zona nyaman dengan judul tulisan diatas ? Jawabnya tentu ada, yaitu fungsi dan misi keruhanian kita sebagai abdullah dan khalifatullah akan mengalami kegagalan ketika instrumen akal, emosi dan jiwa lebih tertarik pada kenikmatan dan kenyamanan duniawi yang bersifat sementara, sehingga melupakan kebahagiaan spiritual yang lebih sejati sebagaimana dijanjikan Allah. Jika hati, pikiran dan nafsu kita masih sangat kuat terikat dengan bagasi duniawi, pasti sulit untuk lari dan terbang mendekati Allah. Maka bersyukurlah para saudara seiman yang memiliki pangkat, jabatan dan prestise yang selama ini dibangga-banggakan, sebagian sudah mulai sadar bahwa “bagasi dan topeng” itu mulai ditanggalkan meskipun awalnya tampak agak berat melepaskannya.
“Hadiah bagi orang yang beriman adalah mati”. (HR Ahmad)
“Janganlah kamu anggap mati orang-orang yang terbunuh di jalan Allah. Mereka hidup disisi Allah dan mereka diberi rezeki yang baik-baik”. (QS Ali Imran 3 : 169)
“Dan janganlah kamu katakana terhadap orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah bahwa mereka itu mati, bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadari”. (QS Al Baqarah 2 : 154)
“Dan apakah orang-orang yang sudah mati kemudian Kami menghidupkannya dan Kami berikan kepadanya Cahaya yang dengan Cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, sama dengan orang yang dalam kegelapan yang tidak dapat keluar daripadanya ? Demikianlah orang-orang kafir itu memnadang baik apa yang mereka amalkan”. (QS Al An’am 6 : 122)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar