“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya”. (HR Bukhari)
‘Suatu hari Nabi saw. mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi saw. Segera memanggilnya. Lalu beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini!” Keruan saja, wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.” Nabi saw.
Berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu? Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan banyaknya orang yang lapar”. ( HR Bukhari)
Dengan hadits tersebut, sebenarnya Rasulullah saw. ingin menyadarkan kaum Muslim tentang hakikat puasa yang sebenarnya.
Istilah “shaum” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang mempunyai arti “menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak) sedang istilah puasa adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yang mempunyai arti menyiksa.
Dari pengertian tersebut, terlihat dengan jelas perbedaan arti dari kedua istilah itu. Akan tetapi dalam bahasa Indonesia, kedua istilah itu mempunyai arti yang sama. Yaitu menahan diri atau mengendalikan dari apa saja, termasuk dari aktivitas inderawi, salah satu contohnya adalah puasa berbicara. Hal ini dapat disimak dari ucapan wanita suci, Maryam a.s., tatkala dirinya diberondong pertanyaan perihal kelahiran putranya, ‘Isa al – Masih a.s., yang tanpa ayah itu
“ …. Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini (QS Maryam 19 : 26)
Dalam ayat ini, Maryam a.s. menggunakan kata puasa (shaum) untuk sikap yang diambilnya, yakni tidak mau berbicara dengan siapa pun. Sementara itu, menurut istilah fiqih, puasa berarti “menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri sepanjang hari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.”
Tampaknya puasa dalam pengertian seperti itulah yang dipahami sahabat wanita yang ditegur nabi Saw. Dalam riwayat di awal bab ini. Memang, tidak terlalu salah bila hal itu didasarkan pada ukuran fiqih. Sebab, sebagaimana diketahui, fiqih hanya mengatur persoalan-persoalan lahiriah atau esoteris semata. Menurut fiqih, puasa yang demikian itu sah, sekalipun hanya dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Dengn demikian, kewajiban puasa seseorang pun telah tertunaikan. Namun, ini terang saja tidak memadai bila diukur dengan menggunakan parameter Sunnah Nabi. Oleh karena itu, kaum arif (‘urafa’) membagi puasa dalam beberapa tingkatan, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
Menurut A. Hajar Sanusi, kaum arif memilah puasa dalam tiga kategori : puasa perut, puasa lisan, dan puasa qalbui. Puasa perut adalah puasa dalam pengertian para ulama fiqih (fuqaha). Puasa jenis ini hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri dan tidak lebih dari itu, sementara mata, telinga, lidah, dan anggota tubuh lainnya tetap bebas tanpa kendali. Dalam terminologi Imam Al Ghazali, puasa seperti ini disebut puasa awam.
Dalam khutbah menjelang bulan Ramadhan, Nabi Saw. dengan jelas mengatakan : “Peliharalah lidahmu, tundukan pandanganmu dari sesuatu yang matamu tidak dihalalkan melihatnya, dan palingkan pendengaran dari sesuatu yang haram untuk didengar telingamu” (HR Bukhari).
Karena itu, puasa tentu saja tidak bernilai di mata Allah dan tidak akan menghasilkan apa pun. Paling banter, yang dihasilkannya hanyalah lapar dan dahaga saja. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad Saw :
“Alangkah banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, selain rasa lapar dan dahaga semata” (HR An Nasa’i dan Ibnu Majah).
Tingkatan puasa yang lebih tinggi dari puasa perut adalah puasa lisan. Imam Abi Thalib menegaskan, “Puasa lisan lebih baik dari pada puasa perut”. Puasa lisan adalah puasa seperti yang didefinisikan para ulama fiqih, dibarengi dengan upaya mengendalikan mata, telinga, lidah, dan dan seluruh anggota tubuh dari segala yang diharamkan Allah. Dalam sebuah riwayat, misalnya disebutkan, bahwa Abu Abdillah r.a. (Imam Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Jika engkau berpuasa, maka puasakan pula pendengaran, penglihatan, san kulitmu. Janganlah samakan hari puasamu dengan hari berbukamu”.
Dalam riwayat lain, Imam Ja’far ash-Shadiq r.a mengatakan, “Jika engkau berpuasa, maka kendalikan pendengaran dan penglihatanmu dari segala sesuatu yang diharamkan. Tahanlah seluruh anggota tubuhmu dari segala keburukan. Tinggalkan perilaku yang dapat melukai perasaan pelayanmu, dan bila mampu, diamlah dari segala pembicaraan, kecuali untuk mengingat Allah (dzikrullah). Jangan jadikan hari-hari puasamu seperti hari-hari fitrahmu”.
Puasa lisan (Imam Al Ghazali menyebutnya puasa khusus) memang bukan pekerjaan mudah. Untuk menjalankan puasa itu, selain niat dan tekat yang kuat, diperlukan juga pertolongan dari Allah. Agaknya, tidak terlalu mengherankan bila mana Imam Ali Zainal ‘Abidin senantiasa memanjatkan permohonan agar Allah berkenan menyertainya dalam menjalankan ibadah yang satu ini setiap menjelang datangnya bulan Ramadhan.
Simak, misalnya doa beliau berikut ini : “Ya Allah, ilhamkan kepada kami untuk mengenal karunianya, mengagungkan kesuciannya, dan menjaga apa yang dilarangnya. Bantulah kami untuk menjalankan puasanya, dengan menahan anggota badan dari maksiat kepada-Mu dan menggunakannya untuk apa yang diridhai-Mu, agar telinga kami tidak kami arahkan kepada kesia-siaan, dan mata kami tidak kami pusatkan pada kealpaan; tangan kami tidak kami ulurkan pada larangan dan kaki kami tidak kami langkahkan pada keburukan, agar perut kami tidak kami isi kecuali yang Kau-halalkan dan lidah kami tidak berbicara kecuali yang Kau contohkan. Demikian rintihan Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin. Beliau yakin betul bahwa, untuk mencapai puasa tingkatan ini, diperlukan bantuan dan pertolongan dari Allah. (A. Hajar Sanusi 2001)
Tingkatan puasa terakhir adalah puasa qalbu. Inilah tingkatan puasa paling tinggi. Sayidina Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Puasa qalbu dari segala pikiran yang menyebabkan terjatuh pada dosa jauh lebih baik dari puasa lisan. Sementara itu, puasa lisan lebih baik daripada puasa perut”. Puasa qalbu dalam pandangan Sayidina Ali identik dengan puasa khushush al-khushush menurut Imam Al Ghazali. Inilah gabungan puasa jenis pertama dan puasa jenis kedua plus “puasa dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri dari segala sesuatu selain Allah: (Ihya’ ‘Ulumiddin, 1 : 277). Dalam tingkatan ini, puasa sudah dianggap batal hanya lantaran pikiran tertuju kepada sesuatu selain Allah seperti, misalnya, memikirkan perihal dunia bila hal itu tidak dimaksudkan sebagai wasilah untuk mencapai kehidupan di kampung akhirat nanti.
Demikianlah tingkatan-tingkatan puasa dalam pandangan kaum arif. Sebuah pertanyaan menarik segera mengemuka : Puasa tingkat manakah yang mempunyai kemungkinan besar mencapai tujuannya seperti dinyatakan Al Qur’an? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan puasa.
Puasa bertujuan untuk manusia yang bertakwa. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya dan juga Hadits :
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS Al Baqarah 2 : 183)
“Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya “. ( HR Bukhari)
“Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badan mu telanjang, mudah-mudahanan qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini”. ( HR Bukhari)
Berdasarkan dalil tersebut, terlihat dengan jelas bahwa puasa yang diwajibkan kepada umat Islam merupakan kewajiban yang juga diperintahkan oleh Allah kepada umat sebelum Nabi Muhammad Saw. menjadi Rasul. Hal ini berarti ada persamaan antara puasa umat Islam dengan puasa umat sebelumnya, tetapi pertanyaannya, puasa yang seperti apa ? Kemudian, dalil tersebut juga menjelaskan bahwa tujuan orang berpuasa adalah untuk menjadi orang yang bertakwa. Apakah yang dimaksud dengan takwa ? Dalam dalil tersebut juga dijelaskan bahwa orang berpuasa akan mendapat kenikmatan yaitu kenikmatan saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya. Puasa yang bagaimanakah yang dapat menghantarkan kita bertemu dengan Tuhan kita ?
Kata takwa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang arti sebenarnya adalah memelihara atau menjaga. Tujuan dari orang yang berpuasa adalah agar ia bisa memelihara iman yang telah ditanam oleh Allah dalam qalbunya agar ketika ia meninggal dunia tetap dalam keadaan beriman kepada Allah. Apakah iman itu ? Pada hakikatnya iman itu adalah Nur Allah yang telah disaksikan oleh setiap orang yang beriman ketika ia bertemu dengan Allah untuk pertamakalinya. Pertemuan dengan Allah itu dapat terjadi lantaran ia melakukan ibadah puasa. Inilah yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. bahwa ibadah puasa dapat digunakan sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah, dan pertemuan tersebut merupakan pengalaman yang sangat menggembirakan bagi para pelaku puasa.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa kegembiraan bertemu dengan Tuhan karena melakukan ibadah puasa, didapatkan nanti ketika kita berada di akhirat kelak, sehingga banyak umat Islam tidak peduli lagi dengan puasanya apakah dapat menghantarkan kepada pertemuan dengan Tuhan atau tidak. Padahal hadits tersebut tidak menjelaskan pertemuan dengan Allah itu nanti. Akan tetapi pertemuan dengan Allah itu terjadi ketika orang itu berpuasa. Maka merugilah orang yang berpuasa tetapi tidak merasakan kegembiraan dan kenikmatan bertemu dengan Tuhannya.
“Berapa banyak orang melakukan puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga semata”. (HR An Nasai dan Ibnu Majah)
Dengan tegas Al Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyaful Mahjub mengatakan : “ Buah lapar adalah menyaksikan Allah (musyahadah), sedangkan caranya adalah penundukan hawa nafsu. (mujahadah). Kenyang yang dipadu dengan menyaksikan Allah (musyahadah) lebih baik daripada lapar yang terpadu dengan mujahadah, karena menyaksikan Allah adalah medan perang manusia sementara mujahadah adalah tempat bermain anak-anak. Kemudian beliau menceritakan bahwa dirinya telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasihat dan Rasulullah Saw. menjawab : Tahanlah lidahmu dan indera-inderamu”.
Menurut Al Hujwiri, menahan indera-indera adalah mujahadat yang sempurna, karena semua pengetahuan diperoleh melalui panca indera : penglihatan,pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan. Empat dari indera-indera itu mempunyai suatu tempat yang khusus, tetapi yang kelima, yakni perabaan, tersebar ke seluruh badan. Segala sesuatu yang diketahui oleh manusia melewati pintu ini, kecuali pengetahuaan intuitif dan ilham Tuhan, dan pada masing-masing terdapat kesucian dan ketidaksucian. Karena, sebagaimana terbuka bagi pengetahuan, akal dan ruh,
Demikian pula mereka terbuka bagi imajinasi dan hawa nafsu yang merupakan organ-organ yang berperan dalam ketaatan dan dosa, juga berperan dalam kebahagiaan dan penderitaan. Karena itu, bagi orang yang melakukan puasa untuk memenjarakan semua indera itu agar mereka biasa berpaling dari ketidaktaatan kepada ketaatan. Berpantang hanya dari makanan dan minuman adalah permainan anak-anak. Orang harus berpantang dari kesenangan-kesenangan yang tidak berguna dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, bukan dari makanan yang halal.
‘Suatu hari Nabi saw. mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi saw. Segera memanggilnya. Lalu beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini!” Keruan saja, wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.” Nabi saw.
Berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu? Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan banyaknya orang yang lapar”. ( HR Bukhari)
Dengan hadits tersebut, sebenarnya Rasulullah saw. ingin menyadarkan kaum Muslim tentang hakikat puasa yang sebenarnya.
Istilah “shaum” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang mempunyai arti “menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak) sedang istilah puasa adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yang mempunyai arti menyiksa.
Dari pengertian tersebut, terlihat dengan jelas perbedaan arti dari kedua istilah itu. Akan tetapi dalam bahasa Indonesia, kedua istilah itu mempunyai arti yang sama. Yaitu menahan diri atau mengendalikan dari apa saja, termasuk dari aktivitas inderawi, salah satu contohnya adalah puasa berbicara. Hal ini dapat disimak dari ucapan wanita suci, Maryam a.s., tatkala dirinya diberondong pertanyaan perihal kelahiran putranya, ‘Isa al – Masih a.s., yang tanpa ayah itu
“ …. Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini (QS Maryam 19 : 26)
Dalam ayat ini, Maryam a.s. menggunakan kata puasa (shaum) untuk sikap yang diambilnya, yakni tidak mau berbicara dengan siapa pun. Sementara itu, menurut istilah fiqih, puasa berarti “menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri sepanjang hari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.”
Tampaknya puasa dalam pengertian seperti itulah yang dipahami sahabat wanita yang ditegur nabi Saw. Dalam riwayat di awal bab ini. Memang, tidak terlalu salah bila hal itu didasarkan pada ukuran fiqih. Sebab, sebagaimana diketahui, fiqih hanya mengatur persoalan-persoalan lahiriah atau esoteris semata. Menurut fiqih, puasa yang demikian itu sah, sekalipun hanya dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Dengn demikian, kewajiban puasa seseorang pun telah tertunaikan. Namun, ini terang saja tidak memadai bila diukur dengan menggunakan parameter Sunnah Nabi. Oleh karena itu, kaum arif (‘urafa’) membagi puasa dalam beberapa tingkatan, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
Menurut A. Hajar Sanusi, kaum arif memilah puasa dalam tiga kategori : puasa perut, puasa lisan, dan puasa qalbui. Puasa perut adalah puasa dalam pengertian para ulama fiqih (fuqaha). Puasa jenis ini hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri dan tidak lebih dari itu, sementara mata, telinga, lidah, dan anggota tubuh lainnya tetap bebas tanpa kendali. Dalam terminologi Imam Al Ghazali, puasa seperti ini disebut puasa awam.
Dalam khutbah menjelang bulan Ramadhan, Nabi Saw. dengan jelas mengatakan : “Peliharalah lidahmu, tundukan pandanganmu dari sesuatu yang matamu tidak dihalalkan melihatnya, dan palingkan pendengaran dari sesuatu yang haram untuk didengar telingamu” (HR Bukhari).
Karena itu, puasa tentu saja tidak bernilai di mata Allah dan tidak akan menghasilkan apa pun. Paling banter, yang dihasilkannya hanyalah lapar dan dahaga saja. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad Saw :
“Alangkah banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, selain rasa lapar dan dahaga semata” (HR An Nasa’i dan Ibnu Majah).
Tingkatan puasa yang lebih tinggi dari puasa perut adalah puasa lisan. Imam Abi Thalib menegaskan, “Puasa lisan lebih baik dari pada puasa perut”. Puasa lisan adalah puasa seperti yang didefinisikan para ulama fiqih, dibarengi dengan upaya mengendalikan mata, telinga, lidah, dan dan seluruh anggota tubuh dari segala yang diharamkan Allah. Dalam sebuah riwayat, misalnya disebutkan, bahwa Abu Abdillah r.a. (Imam Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Jika engkau berpuasa, maka puasakan pula pendengaran, penglihatan, san kulitmu. Janganlah samakan hari puasamu dengan hari berbukamu”.
Dalam riwayat lain, Imam Ja’far ash-Shadiq r.a mengatakan, “Jika engkau berpuasa, maka kendalikan pendengaran dan penglihatanmu dari segala sesuatu yang diharamkan. Tahanlah seluruh anggota tubuhmu dari segala keburukan. Tinggalkan perilaku yang dapat melukai perasaan pelayanmu, dan bila mampu, diamlah dari segala pembicaraan, kecuali untuk mengingat Allah (dzikrullah). Jangan jadikan hari-hari puasamu seperti hari-hari fitrahmu”.
Puasa lisan (Imam Al Ghazali menyebutnya puasa khusus) memang bukan pekerjaan mudah. Untuk menjalankan puasa itu, selain niat dan tekat yang kuat, diperlukan juga pertolongan dari Allah. Agaknya, tidak terlalu mengherankan bila mana Imam Ali Zainal ‘Abidin senantiasa memanjatkan permohonan agar Allah berkenan menyertainya dalam menjalankan ibadah yang satu ini setiap menjelang datangnya bulan Ramadhan.
Simak, misalnya doa beliau berikut ini : “Ya Allah, ilhamkan kepada kami untuk mengenal karunianya, mengagungkan kesuciannya, dan menjaga apa yang dilarangnya. Bantulah kami untuk menjalankan puasanya, dengan menahan anggota badan dari maksiat kepada-Mu dan menggunakannya untuk apa yang diridhai-Mu, agar telinga kami tidak kami arahkan kepada kesia-siaan, dan mata kami tidak kami pusatkan pada kealpaan; tangan kami tidak kami ulurkan pada larangan dan kaki kami tidak kami langkahkan pada keburukan, agar perut kami tidak kami isi kecuali yang Kau-halalkan dan lidah kami tidak berbicara kecuali yang Kau contohkan. Demikian rintihan Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin. Beliau yakin betul bahwa, untuk mencapai puasa tingkatan ini, diperlukan bantuan dan pertolongan dari Allah. (A. Hajar Sanusi 2001)
Tingkatan puasa terakhir adalah puasa qalbu. Inilah tingkatan puasa paling tinggi. Sayidina Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Puasa qalbu dari segala pikiran yang menyebabkan terjatuh pada dosa jauh lebih baik dari puasa lisan. Sementara itu, puasa lisan lebih baik daripada puasa perut”. Puasa qalbu dalam pandangan Sayidina Ali identik dengan puasa khushush al-khushush menurut Imam Al Ghazali. Inilah gabungan puasa jenis pertama dan puasa jenis kedua plus “puasa dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri dari segala sesuatu selain Allah: (Ihya’ ‘Ulumiddin, 1 : 277). Dalam tingkatan ini, puasa sudah dianggap batal hanya lantaran pikiran tertuju kepada sesuatu selain Allah seperti, misalnya, memikirkan perihal dunia bila hal itu tidak dimaksudkan sebagai wasilah untuk mencapai kehidupan di kampung akhirat nanti.
Demikianlah tingkatan-tingkatan puasa dalam pandangan kaum arif. Sebuah pertanyaan menarik segera mengemuka : Puasa tingkat manakah yang mempunyai kemungkinan besar mencapai tujuannya seperti dinyatakan Al Qur’an? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan puasa.
Puasa bertujuan untuk manusia yang bertakwa. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya dan juga Hadits :
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS Al Baqarah 2 : 183)
“Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya “. ( HR Bukhari)
“Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badan mu telanjang, mudah-mudahanan qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini”. ( HR Bukhari)
Berdasarkan dalil tersebut, terlihat dengan jelas bahwa puasa yang diwajibkan kepada umat Islam merupakan kewajiban yang juga diperintahkan oleh Allah kepada umat sebelum Nabi Muhammad Saw. menjadi Rasul. Hal ini berarti ada persamaan antara puasa umat Islam dengan puasa umat sebelumnya, tetapi pertanyaannya, puasa yang seperti apa ? Kemudian, dalil tersebut juga menjelaskan bahwa tujuan orang berpuasa adalah untuk menjadi orang yang bertakwa. Apakah yang dimaksud dengan takwa ? Dalam dalil tersebut juga dijelaskan bahwa orang berpuasa akan mendapat kenikmatan yaitu kenikmatan saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya. Puasa yang bagaimanakah yang dapat menghantarkan kita bertemu dengan Tuhan kita ?
Kata takwa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang arti sebenarnya adalah memelihara atau menjaga. Tujuan dari orang yang berpuasa adalah agar ia bisa memelihara iman yang telah ditanam oleh Allah dalam qalbunya agar ketika ia meninggal dunia tetap dalam keadaan beriman kepada Allah. Apakah iman itu ? Pada hakikatnya iman itu adalah Nur Allah yang telah disaksikan oleh setiap orang yang beriman ketika ia bertemu dengan Allah untuk pertamakalinya. Pertemuan dengan Allah itu dapat terjadi lantaran ia melakukan ibadah puasa. Inilah yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. bahwa ibadah puasa dapat digunakan sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah, dan pertemuan tersebut merupakan pengalaman yang sangat menggembirakan bagi para pelaku puasa.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa kegembiraan bertemu dengan Tuhan karena melakukan ibadah puasa, didapatkan nanti ketika kita berada di akhirat kelak, sehingga banyak umat Islam tidak peduli lagi dengan puasanya apakah dapat menghantarkan kepada pertemuan dengan Tuhan atau tidak. Padahal hadits tersebut tidak menjelaskan pertemuan dengan Allah itu nanti. Akan tetapi pertemuan dengan Allah itu terjadi ketika orang itu berpuasa. Maka merugilah orang yang berpuasa tetapi tidak merasakan kegembiraan dan kenikmatan bertemu dengan Tuhannya.
“Berapa banyak orang melakukan puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga semata”. (HR An Nasai dan Ibnu Majah)
Dengan tegas Al Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyaful Mahjub mengatakan : “ Buah lapar adalah menyaksikan Allah (musyahadah), sedangkan caranya adalah penundukan hawa nafsu. (mujahadah). Kenyang yang dipadu dengan menyaksikan Allah (musyahadah) lebih baik daripada lapar yang terpadu dengan mujahadah, karena menyaksikan Allah adalah medan perang manusia sementara mujahadah adalah tempat bermain anak-anak. Kemudian beliau menceritakan bahwa dirinya telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasihat dan Rasulullah Saw. menjawab : Tahanlah lidahmu dan indera-inderamu”.
Menurut Al Hujwiri, menahan indera-indera adalah mujahadat yang sempurna, karena semua pengetahuan diperoleh melalui panca indera : penglihatan,pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan. Empat dari indera-indera itu mempunyai suatu tempat yang khusus, tetapi yang kelima, yakni perabaan, tersebar ke seluruh badan. Segala sesuatu yang diketahui oleh manusia melewati pintu ini, kecuali pengetahuaan intuitif dan ilham Tuhan, dan pada masing-masing terdapat kesucian dan ketidaksucian. Karena, sebagaimana terbuka bagi pengetahuan, akal dan ruh,
Demikian pula mereka terbuka bagi imajinasi dan hawa nafsu yang merupakan organ-organ yang berperan dalam ketaatan dan dosa, juga berperan dalam kebahagiaan dan penderitaan. Karena itu, bagi orang yang melakukan puasa untuk memenjarakan semua indera itu agar mereka biasa berpaling dari ketidaktaatan kepada ketaatan. Berpantang hanya dari makanan dan minuman adalah permainan anak-anak. Orang harus berpantang dari kesenangan-kesenangan yang tidak berguna dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, bukan dari makanan yang halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar