Jumat, 24 April 2009

Membaca Tanda-Tanda Kematian

Setiap manusia yang dilahirkan didunia ini, cepat atau lambat pasti akan mengalami suatu proses berpisahnya ruh dengan jasad. Dalam bahasa agama, proses tersebut dinamakan proses kematian. Sedangkan dalam bahasa kaum sufi, proses terbut diistilahkan dengan nama “kebangkitan ruh dari jasad”.

Mayoritas umat Islam di Indonesia sering menamakan peristiwa kematian tersebut dengan istilah “meninggal dunia”, dimana seorang yang meninggal dunia akan meninggalkan segala apa yang dimilikinya, baik istrinya, suaminya, anaknya, orang tuanya, kekasihnya, pekerjaannya, jabatannya, hartanya, maupun keinginan dan cita-citanya serta rencana-rencananya dimasa depan. Dalam ajaran Islam, proses terjadinya kematian ini juga dikategorikan sebagai kiyamat kecil atau Qiyamat Sugro.

Kapan terjadinya dan bagaimana terjadinya proses kematian tersebut, hanya Allah-lah yang mengetahui rahasianya, sesuai dengan firman-Nya dalam Al Qur’an :

Manusia bertanya kepadamu kapan terjadinya hari Kebangkitan (ruh dari jasad), katakanlah :

“Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kebangkitan (ruh dari jasad) itu hanya disisi Allah. Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya”. (QS Al Ahzab 33 : 63)

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang kebangkitan (ruh dari jasad)……….”. (QS Luqman 31 : 34)

“Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu…….. “. (QS An Nahl 16 : 70)

Berdasarkan ayat tersebut sangat terlihat jelas bahwa pengetahuan tentang kapan terjadinya hari kebangkitan ruh dari jasad seseorang (Qiyamat Sugro) hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Oleh sebab itu sebagai seorang muslim diwajibkan untuk mempersiapkan diri baik lahir maupun batin untuk menghadapi dan menyikapi proses kematian tersebut dengan arif dan bijaksana, bahkan Allah telah menganjurkan agar kita selalu berdoa supaya mendapatkan mati yang baik (husnul khotimah) :

“Dan katakanlah : “Ya, Tuhanku, masukkanlah (ruhku ke dalam jasadku) secara benar, dan keluarkanlah aku (ruhku dari jasadku) secara benar dan berikanlah kapadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong”. (QS Al Isra’ 17 : 80)

Dalam Al Qur’an, Allah juga menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman (yang sudah ma’rifatullah) akan diberitahukan tanda-tanda datangnya kematian yang akan menimpa dirinya bahkan tanda-tanda kematian itu sebenarnya dapat juga dibaca oleh saudara-saudara seimannya.

“Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan (melihat atau membaca) tanda-tanda kematian maka berwasiatlah kepada bapak, ibu dan saudara-saudara dekatnya, jika ia meninggalkan harta atau peninggalan yang banyak. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. (QS Al Baqarah 2 : 180)

“Dan orang-orang yang akan meninggalkan dunia diantaramu dan meninggalkan istri-istrinya hendaklah ia berwasiat untuk istri-istrinya ……….. “. (QS Al Baqarah 2 : 240)

Dalam sebuah hadits, juga telah diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw telah mengetahui tanda-tanda kematian yang akan menimpa diri beliau sehingga beliau berwasiat kepada umat Islam tetapi sayangnya wasiat tersebut gagal untuk dicatat oleh sahabat.

“Dari Abi Sa’id Al Khudri , katanya: “ Rasulullah Saw, berkhutbah : “ Sesungguhnya Allah Swt menyuruh pilih kepada hamba-Nya antara dunia dan akhirat. Maka dipilihnya akhirat. Lalu Abu Bakar menangis. Aku berkata pada diriku sendiri, “Kenapa orang tua ini menangis , jika Allah Swt menyuruh pilih kepada salah seorang hamba-Nya antara dunia dan akhirat, lalu dipilih akhirat. Padahal yang dimaksud dengan hamba Allah itu adalah Rasulullah Saw sendiri. Sedangkan Abu Bakar adalah orang yang lebih tahu di antara kami. Sabda Rasulullah Saw : “Hai, Abu Bakar! Jangan menangis! Sesungguhnya orang yang paling dekat kepadaku persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakar. Andai aku boleh memilih teman di antara umatku, maka akan kupilih Abu Bakar. Tetapi persaudaran dan kecintaan dalam Islam cukup memadai. Tidak satupun pintu didalam masjid yang terbuka, melainkan semuanya tertutup, kecuali pintu Abu Bakar”. (HR Bukhari)

“Ibnu Abbas berkata : “Ketika nabi bertambah keras sakitnya, beliau berkata : “Bawalah kemari kertas supaya kamu dapat menuliskan sesuatu agar kamu tidak lupa nanti”. Kata Umar bin Khathab : “Sakit Nabi bertambah keras. Kita telah mempunyai Kitabullah, cukuplah itu!”. Para sahabat yang hadir ketika itu berselisih pendapat dan menyebabkan terjadinya suara gaduh. Berkata Nabi : “Saya harap anda semua pergi! Tidak pantas anda bertengkar di dekatku”. Ibnu Abbas lalu keluar dan berkata : ”Alangkah malangnya, terhalang mencatat sesuatu dari Rasulullah”. (HR Bukhari)

Dari hadits tersebut, terlihat bahwa sebelum Nabi Muhammad Saw wafat, beliau sudah dibertahu oleh Allah kapan beliau akan meninggalkan dunia, bahkan beliau masih diberi kesempatan oleh Allah untuk memilih apakah tetap hidup didunia atau kembali kepada Allah, dan beliau memilih untuk kembali kepada Allah dengan meninggalkan dunia dengan segala isinya. Kemudian beliau juga hendak membacakan wasiatnya kepada umat Islam yang akan ditinggalkannya, akan tetapi pembacaan wasiat beliau tersebut tidak jadi dilaksanakan. Padahal isi wasiat tersebut sangat penting sekali, yang berkaitan dengan masalah suksesi kepemimpinan jika beliau meninggal dunia. Akibat dari gagalnya pembacaan wasiat tersebut akhirnya umat Islam terpecah belah dalam memperebutkan jabatan Khalifah sehingga menyebabkan tiga Khalifah terbunuh dalam perebutan jabatan tersebut. Hal ini sudah diprediksi oleh Nabi Muhammad Saw :

Syaqiq bercerita, katanya : “Aku mendengar Hudzaifah berkata, pada suatu hari ketika kami duduk dekat Umar. Dia berkata : “Siapakah di antara anda semua yang masih ingat sabda Rasulullah Saw tentang fitnah ?”. Jawabku : “Aku! Aku masih ingat, tepat sebagaimana yang beliau sabdakan”. Kata Umar : “Anda tidak sangsi? Betulkah itu?”. Jawabku : “Fitnah (kesalahan) seorang laki-laki dalam keluarganya, hartanya, anaknya dan tetangganya dihapuskan oleh shalat, puasa sedekah dan oleh amar ma’ruf serta nahi mungkar”. Kata Umar : “Bukan itu yang aku maksudkan. Tetapi fitnah yang menggelombang seperti gelombang laut”. Jawab Hudzaifah : “Ya, Amirul Mu’mini ! Anda tidak usah gelisah mengenai hal itu. Karena antara anda dan fitnah itu ada pintu yang terkunci rapat”. Kata Umar : “Apakah pintu itu dipecah atau dibuka orang?”. Jawab Hudzaifah : “Akan pecah”. Kata Umar : “Kalau sudah pecah, tentu tak dapat dikunci lagi untuk selama-lamanya”. Kami (Syaqiq dkk) bertanya kepada Hudzaifah : “Apakah Umar tahu pintu itu?”. Jawab Hudzaifah : “Ya, dia tahu sebagaimana dia tahu bahwa malam ini terjadi sebelum besok pagi. Dan aku telah menceritakan kepadanyta hadits yang tidak mengandung kesalahan”. Kata Syaqiq : “Kami takut akan bertanya lagi kepada Hudzaifah perihal pintu itu, maka kami suruh Masruq bertanya. Jawab Hudzaifah : “Pintu itu adalah Umar sendiri”. (HR Bukhari)

Disinilah pentingnya sebuah wasiat yang harus diwasiatkan oleh orang yang telah melihat datangnya tanda-tanda kematian dirinya, kepada keluarga yang akan ditinggalkannya. Terbacanya tanda-tanda kematian tergantung dari tingkat keimanan seseorang kepada Allah Swt. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang kepada Allah Swt, maka semakin jelas tanda-tanda kematian itu terbaca olehnya. Tetapi sebaliknya, semakin rendah tingkat keimanan seseorang kepada Allah Swt maka semakin tidak jelas bahkan bisa jadi tidak terbaca tanda-tanda kematian yang akan datang kepadanya. Oleh sebab itu kita sebagai orang yang telah beriman diwajibkan untuk memlihara tingkat keimanan kita, agar terus berevolusi mencapai tingkat yang tak terbatas, dengan cara :

1. Membaca ayat-ayat ketuhanan, baik dalam Al Qur’an dan Hadits maupun yang terdapat dalam buku-buku agama.
2. Berdiskusi dengan saudara-saudara seiman, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
3. Banyak berkunjung ke Baitullah untuk bertemu dengan Allah.

Apabila tiga cara tersebut dilaksanakan dengan baik Insya Allah tanda-tanda datangnya kematian pada diri kita, dapat dibaca atau dilihat dengan jelas satu tahun sebelum kita meninggal dunia. Bahkan proses kematian yang akan dialami oleh seorang yang sudah ma’rifatullah dapat ditangguhkan atau ditunda beberapa tahun tergantung dari keinginan orang tersebut yang tentunya hal tersebut terkait dengan ijin Allah Swt, kekuatan jasad dan kesucian ruhani serta bantuan doa dari saudara-saudara seimannya.

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan ijin Allah sebagai ketetapan yang tertentu waktunya. Barang siapa yang menghendaki kebahagiaan dunia niscaya Kami berikan kepadanya. Dan barang siapa menghendaki kebahagiaan Akhirat, niscaya Kami berikan kepadanya. Dan Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS Ali Imran 3 : 145)

Allah memang tidak menjelaskan secara terperinci tentang tanda-tanda datangnya proses kematian serta bagaimana rasa dan pengalaman disaat datangnya kematian. Tetapi para ahli ma’rifatullah telah menyusun berbagai buku dan keterangan yang berkaitan dengan hal tersebut. Dan penyusunan buku-buku dan keterangan tentang tanda-tanda kematian dan pengalaman mati, tentunya berdasarkan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw serta renungan Ilham dan petunjuk dari Allah Swt.

Kyai Ageng Usman Efendi Nitiprayitna DW, adalah pewaris ilmu Tasawuf generasi ke sembilan dari Sunan Kudus. Beliau adalah salah satu Ulama Tasawuf yang berhasil menyusun tanda-tanda kematian yang bisa diketahui satu tahun sebelum seseorang meninggal dunia.

Berikut tanda-tanda kematian yang dapat dikenali satu tahun sebelum berpisahnya Roh dan Jasad (Qiamat Sugro) :

1. 12 Bulan sebelum kematian menjemput, akan mendengar suara-suara aneh yang belum pernah didengar dan suara tersebut lain dengan suara yang ada didunia.

2. 9 Bulan sebelum kematian menjemput, tiba-tiba melihat sinar matahari bersinar hitam.


3. 6 Bulan sebelum kematian menjemput, tiba-tiba melihat air berwarna merah (kemerah-merahan). Sedangkan apai tampaknya berwarna hitam.

4. 100 Hari sebelum kematian menjemput, sekonyong-konyong di depan mata tampak seperti terbentang laut yang luas, dimana seolah-olah ada sesuatu yang berwarna putih terlentang, sehingga kelihatan mayat dipocong-pocong dan dibungkus.


5. 80 Hari sebelum kematian menjemput, apabial menopang tangan di atas kening sendiri lengan tangan dihadapana, ia tidak akan melihat lengan tangannya.

6. 70 Hari sebelum kematian menjemput, tidak dapat menggerakkan jari manisnya dengan leluasa sebagaimana mestinya.


7. 60 Hari sebelum kematian menjemput, tiba-tiba akan melihat bahwa matahari tampaknya seolah-olah kaca cermin yang didalamnya terdapat bayangan diri pribadi sendiri berupa wajahnya sendiri.

8. 50 Hari sebelum kematian menjemput, tiba-tiba melihat sejenis cahaya luar biasa indah gemilang, tetapi sekejap menghilang.


9. 40 Hari sebelum kematian menjemput, kuping akan berdengung terus menerus.

10. 30 Hari sebelum kematian menjemput, perasaan kadang-kadang kosong dan hampir tidak ingat apa-apa.


11. 20 Hari sebelum kematian menjemput, dimata seperti ada yang bergerak terus menerus.

12. 7 Hari sebelum kematian menjemput, langit-langit mulut apabila dijilat dengan ujung lidah tidak terasa geli.


13. 3 Hari sebelum kematian menjemput, mendengar suara gaduh dan kadang-kadang mendengar suara tangis bayi yang baru lahir.

14. 24 Jam sebelum kematian menjemput, nafas yang keluar dari hidung terasa sangat dingin, sedang lidah terasa panas. Hidung menjadi kuncup. Denyut yang ada pada kedua kaki semakin hilang dan denyut bagian dada bergetar hebat.


15. 3 Jam sebelum kematian menjemput, jalan nafas mulai berkurang, karena sebagian nafasnya mulai berkumpul dengan suatu angan-angan untuk dibawa pulang oleh Nur Muhammad ke hadirat Ilahi Rabbi.

Imam Ghazali rahimahullah diriwayatkan memperoleh tanda-tanda ini sehingga beliau menyiapkan dirinya untuk menghadapi datangnya kematian. Beliau menyiapkan dirinya dengan mandi dan berwuduk serta mengkafani tubuhnya, kecuali bagian kepalanya. Kemudian Imam Ghozali meminta kakaknya yaitu Imam Ahmad Ibnu Hambal untuk meneruskan mengkafani kepala beliau. Beliau wafat ketika Imam Ahmad bersedia untuk mengkafani bahagian mukanya.



Wahai Jiwa yang tenang

Kembalilah kepada Tuhanmu

dengan ridho dan diridhoi

Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku

Dan masuklah ke dalam Nurul Jannah-Ku

(QS Al Fajr 89 : 27-30)

Jumat, 10 April 2009

Menemui Allah Melalui Puasa

“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya”. (HR Bukhari)



‘Suatu hari Nabi saw. mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi saw. Segera memanggilnya. Lalu beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini!” Keruan saja, wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.
”Nabi saw. Berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu? Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan banyaknya orang yang lapar”. ( HR Bukhari)

Dengan hadits tersebut, sebenarnya Rasulullah saw. ingin menyadarkan kaum Muslim tentang hakikat puasa yang sebenarnya.

Istilah “shaum” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang mempunyai arti “menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak) sedang istilah puasa adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yang mempunyai arti menyiksa.
Dari pengertian tersebut, terlihat dengan jelas perbedaan arti dari kedua istilah itu. Akan tetapi dalam bahasa Indonesia, kedua istilah itu mempunyai arti yang sama. Yaitu menahan diri atau mengendalikan dari apa saja, termasuk dari aktivitas inderawi, salah satu contohnya adalah puasa berbicara. Hal ini dapat disimak dari ucapan wanita suci, Maryam a.s., tatkala dirinya diberondong pertanyaan perihal kelahiran putranya, ‘Isa al – Masih a.s., yang tanpa ayah itu

“ …. Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini (QS Maryam 19 : 26)

Dalam ayat ini, Maryam a.s. menggunakan kata puasa (shaum) untuk sikap yang diambilnya, yakni tidak mau berbicara dengan siapa pun. Sementara itu, menurut istilah fiqih, puasa berarti “menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri sepanjang hari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.”

Tampaknya puasa dalam pengertian seperti itulah yang dipahami sahabat wanita yang ditegur nabi Saw. Dalam riwayat di awal bab ini. Memang, tidak terlalu salah bila hal itu didasarkan pada ukuran fiqih. Sebab, sebagaimana diketahui, fiqih hanya mengatur persoalan-persoalan lahiriah atau esoteris semata. Menurut fiqih, puasa yang demikian itu sah, sekalipun hanya dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Dengn demikian, kewajiban puasa seseorang pun telah tertunaikan. Namun, ini terang saja tidak memadai bila diukur dengan menggunakan parameter Sunnah Nabi. Oleh karena itu, kaum arif (‘urafa’) membagi puasa dalam beberapa tingkatan, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.

Menurut A. Hajar Sanusi, kaum arif memilah puasa dalam tiga kategori : puasa perut, puasa lisan, dan puasa qalbui. Puasa perut adalah puasa dalam pengertian para ulama fiqih (fuqaha). Puasa jenis ini hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri dan tidak lebih dari itu, sementara mata, telinga, lidah, dan anggota tubuh lainnya tetap bebas tanpa kendali. Dalam terminologi Imam Al Ghazali, puasa seperti ini disebut puasa awam.

Dalam khutbah menjelang bulan Ramadhan, Nabi Saw. dengan jelas mengatakan : “Peliharalah lidahmu, tundukan pandanganmu dari sesuatu yang matamu tidak dihalalkan melihatnya, dan palingkan pendengaran dari sesuatu yang haram untuk didengar telingamu” (HR Bukhari).

Karena itu, puasa tentu saja tidak bernilai di mata Allah dan tidak akan menghasilkan apa pun. Paling banter, yang dihasilkannya hanyalah lapar dan dahaga saja. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad Saw :

“Alangkah banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, selain rasa lapar dan dahaga semata” (HR An Nasa’i dan Ibnu Majah).

Tingkatan puasa yang lebih tinggi dari puasa perut adalah puasa lisan. Imam Abi Thalib menegaskan, “Puasa lisan lebih baik dari pada puasa perut”. Puasa lisan adalah puasa seperti yang didefinisikan para ulama fiqih, dibarengi dengan upaya mengendalikan mata, telinga, lidah, dan dan seluruh anggota tubuh dari segala yang diharamkan Allah. Dalam sebuah riwayat, misalnya disebutkan, bahwa Abu Abdillah r.a. (Imam Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Jika engkau berpuasa, maka puasakan pula pendengaran, penglihatan, san kulitmu. Janganlah samakan hari puasamu dengan hari berbukamu”.

Dalam riwayat lain, Imam Ja’far ash-Shadiq r.a mengatakan, “Jika engkau berpuasa, maka kendalikan pendengaran dan penglihatanmu dari segala sesuatu yang diharamkan. Tahanlah seluruh anggota tubuhmu dari segala keburukan. Tinggalkan perilaku yang dapat melukai perasaan pelayanmu, dan bila mampu, diamlah dari segala pembicaraan, kecuali untuk mengingat Allah (dzikrullah). Jangan jadikan hari-hari puasamu seperti hari-hari fitrahmu”.

Puasa lisan (Imam Al Ghazali menyebutnya puasa khusus) memang bukan pekerjaan mudah. Untuk menjalankan puasa itu, selain niat dan tekat yang kuat, diperlukan juga pertolongan dari Allah. Agaknya, tidak terlalu mengherankan bila mana Imam Ali Zainal ‘Abidin senantiasa memanjatkan permohonan agar Allah berkenan menyertainya dalam menjalankan ibadah yang satu ini setiap menjelang datangnya bulan Ramadhan.

Simak, misalnya doa beliau berikut ini : “Ya Allah, ilhamkan kepada kami untuk mengenal karunianya, mengagungkan kesuciannya, dan menjaga apa yang dilarangnya. Bantulah kami untuk menjalankan puasanya, dengan menahan anggota badan dari maksiat kepada-Mu dan menggunakannya untuk apa yang diridhai-Mu, agar telinga kami tidak kami arahkan kepada kesia-siaan, dan mata kami tidak kami pusatkan pada kealpaan; tangan kami tidak kami ulurkan pada larangan dan kaki kami tidak kami langkahkan pada keburukan, agar perut kami tidak kami isi kecuali yang Kau-halalkan dan lidah kami tidak berbicara kecuali yang Kau contohkan. Demikian rintihan Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin. Beliau yakin betul bahwa, untuk mencapai puasa tingkatan ini, diperlukan bantuan dan pertolongan dari Allah. (A. Hajar Sanusi 2001)

Tingkatan puasa terakhir adalah puasa qalbu. Inilah tingkatan puasa paling tinggi. Sayidina Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Puasa qalbu dari segala pikiran yang menyebabkan terjatuh pada dosa jauh lebih baik dari puasa lisan. Sementara itu, puasa lisan lebih baik daripada puasa perut”. Puasa qalbu dalam pandangan Sayidina Ali identik dengan puasa khushush al-khushush menurut Imam Al Ghazali. Inilah gabungan puasa jenis pertama dan puasa jenis kedua plus “puasa dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri dari segala sesuatu selain Allah: (Ihya’ ‘Ulumiddin, 1 : 277). Dalam tingkatan ini, puasa sudah dianggap batal hanya lantaran pikiran tertuju kepada sesuatu selain Allah seperti, misalnya, memikirkan perihal dunia bila hal itu tidak dimaksudkan sebagai wasilah untuk mencapai kehidupan di kampung akhirat nanti.

Demikianlah tingkatan-tingkatan puasa dalam pandangan kaum arif. Sebuah pertanyaan menarik segera mengemuka : Puasa tingkat manakah yang mempunyai kemungkinan besar mencapai tujuannya seperti dinyatakan Al Qur’an? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan puasa.

Puasa bertujuan untuk manusia yang bertakwa. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya dan juga Hadits :

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS Al Baqarah 2 : 183)

“Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya “. ( HR Bukhari)

“Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badan mu telanjang, mudah-mudahanan qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini”. ( HR Bukhari)

Berdasarkan dalil tersebut, terlihat dengan jelas bahwa puasa yang diwajibkan kepada umat Islam merupakan kewajiban yang juga diperintahkan oleh Allah kepada umat sebelum Nabi Muhammad Saw. menjadi Rasul. Hal ini berarti ada persamaan antara puasa umat Islam dengan puasa umat sebelumnya, tetapi pertanyaannya, puasa yang seperti apa ? Kemudian, dalil tersebut juga menjelaskan bahwa tujuan orang berpuasa adalah untuk menjadi orang yang bertakwa. Apakah yang dimaksud dengan takwa ? Dalam dalil tersebut juga dijelaskan bahwa orang berpuasa akan mendapat kenikmatan yaitu kenikmatan saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya. Puasa yang bagaimanakah yang dapat menghantarkan kita bertemu dengan Tuhan kita ?

Kata takwa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang arti sebenarnya adalah memelihara atau menjaga. Tujuan dari orang yang berpuasa adalah agar ia bisa memelihara iman yang telah ditanam oleh Allah dalam qalbunya agar ketika ia meninggal dunia tetap dalam keadaan beriman kepada Allah. Apakah iman itu ? 
 
Pada hakikatnya iman itu adalah Nur Allah yang telah disaksikan oleh setiap orang yang beriman ketika ia bertemu dengan Allah untuk pertamakalinya. Pertemuan dengan Allah itu dapat terjadi lantaran ia melakukan ibadah puasa. Inilah yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. bahwa ibadah puasa dapat digunakan sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah, dan pertemuan tersebut merupakan pengalaman yang sangat menggembirakan bagi para pelaku puasa.

Banyak ulama yang berpendapat bahwa kegembiraan bertemu dengan Tuhan karena melakukan ibadah puasa, didapatkan nanti ketika kita berada di akhirat kelak, sehingga banyak umat Islam tidak peduli lagi dengan puasanya apakah dapat menghantarkan kepada pertemuan dengan Tuhan atau tidak. Padahal hadits tersebut tidak menjelaskan pertemuan dengan Allah itu nanti. Akan tetapi pertemuan dengan Allah itu terjadi ketika orang itu berpuasa. Maka merugilah orang yang berpuasa tetapi tidak merasakan kegembiraan dan kenikmatan bertemu dengan Tuhannya.

“Berapa banyak orang melakukan puasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga semata”. (HR An Nasai dan Ibnu Majah)

Dengan tegas Al Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyaful Mahjub mengatakan : “ Buah lapar adalah menyaksikan Allah (musyahadah), sedangkan caranya adalah penundukan hawa nafsu. (mujahadah). Kenyang yang dipadu dengan menyaksikan Allah (musyahadah) lebih baik daripada lapar yang terpadu dengan mujahadah, karena menyaksikan Allah adalah medan perang manusia sementara mujahadah adalah tempat bermain anak-anak. Kemudian beliau menceritakan bahwa dirinya telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasihat dan Rasulullah Saw. menjawab : Tahanlah lidahmu dan indera-inderamu”.

Menurut Al Hujwiri, menahan indera-indera adalah mujahadat yang sempurna, karena semua pengetahuan diperoleh melalui panca indera : penglihatan,pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan. Empat dari indera-indera itu mempunyai suatu tempat yang khusus, tetapi yang kelima, yakni perabaan, tersebar ke seluruh badan. 
 
Segala sesuatu yang diketahui oleh manusia melewati pintu ini, kecuali pengetahuaan intuitif dan ilham Tuhan, dan pada masing-masing terdapat kesucian dan ketidaksucian. Karena, sebagaimana terbuka bagi pengetahuan, akal dan ruh, demikaian pula mereka terbuka bagi imajinasi dan hawa nafsu yang merupakan organ-organ yang berperan dalam ketaatan dan dosa, juga berperan dalam kebahagiaan dan penderitaan. 
 
Karena itu, bagi orang yang melakukan puasa untuk memenjarakan semua indera itu agar mereka biasa berpaling dari ketidaktaatan kepada ketaatan. Berpantang hanya dari makanan dan minuman adalah permainan anak-anak. Orang harus berpantang dari kesenangan-kesenangan yang tidak berguna dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, bukan dari makanan yang halal.