Senin, 23 Maret 2009

Milikilah ... ! Buku Karya Abu Irsyad Jalan Menuju Ma'Rifatullah

Judul Buku : JALAN MENUJU MA’RIFATULLAH AJARAN RAHASIA SUNAN KUDUS TENTANG TANDA-TANDA KEMATIAN

Penulis : Abu Irsyad
Penerbit : Pustaka Aladdin
Harga : Call us



Sesungguhnya banyak amal ibadah tanpa ma'rifatullah sedikit manfaatnya, tetapi sedikit amal ibadah disertai ma'rifatullah akan banyak manfaatnya". (Al Hadits)

"Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu melihat tanda-tanda kematian maka berwasiatlah kepada bapak, ibu dan kerabatnya, jika ia meninggalkan harta. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa". (QS Al Baqarah 2:180)

Salah satu ajaran Sunan Kudus adalah ajaran tentang ma'rifatullah dan kematian. Menurut Sunan Kudus, orang yang akan meninggal dunia harus mengetahui tanda-tanda kematian yang datang pada dirinya. Tanda-tanda kematian itu akan deketahui jika orang tersebut telah mencapai derajat ma'rifatullah. Sudahkah kita mengetahui kapan akan meninggal dunia? Inilah rangkaian pertanyaan yang harus dijawab dengan hati nurani yang penuh kejujuran.

Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan diatas, milikilah buku ini. Inilah sebuah buku yang pertama kali membuka rahasia ajaran Sunan Kudus tentang tanda-tanda kematian yang akan diketahui oleh diri kita. Selamat membaca!


Pemesanan Hubungi :

PUSAT KAJIAN TASAWUF
NURUL KHATAMI


Jl. Delima III/9/179 RT 011/03 Malakasari Perumnas Klender Jakarta - Timur
Telp : 44263370 - 93448685 - 081585246371

Cara Pemesanan :
Kirimkan via sms, nama dan alamat lengkap serta buku yang akan dipesan.
Paket buku akan kami kirim via Pos.
Biaya kirim dan uang buku, dapat ditransfer ke

BCA norek 6330413563 a.n. Kuswanto atau
Bank Mandiri norek 1250006488068 a.n. Kuswanto.

Milikilah .......! Buku Karya ABU IRSYAD : Menyingkap Rahasia Sholat dan Puasa Sebagai Sarana Menemui Allah

Judul : Menyingkap Rahasia Sholat dan Puasa Sebagai Sarana Menemui Allah
Penulis : ABU IRSYAD
Penerbit : Pustaka Aladdin
Harga : Call US



"Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka kerjakanlah amal shalih". (Al Kahfi 18:110)

"Shalat itu Mi'rajnya orang Mu'min". (Al Hadits)

"Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka, dan kegembiraan ketika menemui Tuhannya". (HR Bukhari)

Bagaimana agar keyakinan kita kepada Allah semakin kuat dan semakin kokoh tak tergoyahkan. Hanya dengan pembukitan dalam pengalaman spriritual-lah keyakinan itu tak tergoyahkan. Pengalaman dalam penyaksian, pengalaman untuk bertatapan langsung dengan Allah Yang Maha Indah. Yang menjadi pertanyaan banyak orang saat ini adalah apakah Allah dapat disaksiakn? Apakah umat manusia saat ini mampu bertemu dengan Allah Sang Kekasih? Bagaimanakah caranya? Bagaimanakah peranan shalat dan puasa sebagai sarana untuk menemui Allah? Apakah pertemuan itu terjadi saat di dunia ini ataukah nanti setelah meninggal dunia?

Temukan jawaban semua pertanyaan diatas, pastinya dengan membaca dan menggali buku ini. Insya Allah semua pertanyaan tersebut dengan gamblang terungkap dengan dalil-dalil yang dikupas dalam buku ini. Simak pula ulasan pengalaman spiritual para pendahulu kita, para Nabi dan Salafus Shalih serta para bijak yang tercatat dalam sejarah peradaban manusia. Disertai juga kupasan mengenai teknik efektif untuk mengakses energi Nur Illahi untuk penyembuhan. Selamat membaca!

PEMESANAN HUBUNGI :

PUSAT KAJIAN TASAWUF NURUL KHATAMI

JL. DELIMA II GG 9 NO 179 RT 011/03 PERUMNAS KLENDER JAKARTA TIMUR
TELP : 44263370 - 93448685 - 081585246371

Milikilah ...! Buku Karya Abu Irsyad "Cara Mudah Melihat Allah di Dunia"

Judul Buku : Cara Mudah Melihat Allah di dunia.
Penulis : Abu Irsyad
Penerbit : Pustaka Aladdin
Harga : Call US

Wajah-wajah (orang mu'min) pada hari itu bercahaya. Kepada Tuhannya mereka melihat". (QS Al Qiyamah 75:22-23)

"Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian seperti melihat cahaya bulan purnama. Kalian tidak akan merasa ragu-ragu dalam melihat-Nya. (HR Bukhari dan Jabir bin Abdillah)

Sudahkah kita melihat Allah, ketika ita bersyahadat? ketika kita mengerjakan ibadah shalat? ketika kita mengerjakan ibadah puasa? ketika kita berzakat? ketika kita mengerjakan ibadah haji?

Inilah rangkaian pertanyaan yang harus kita renungkan dan kita jawab sendiri dengan hati nurani yang penuh kejujuran. jika kita selama ini belum pernah melihat Allah, ketika mengerjakan ibadah yang terangkum dalam rukun islam tersebut, dan kita rindu untuk bertemu dengan Allah dan ingin melihat Allah di dunia ini, maka cari tahulah dengan menggali dan memiliki buku ini.

Inilah sebuah buku yang pertama kali membuka rahasia metode yang sangat praktis dan sederhana untuk melihat Allah, selagi kita masih hidup di atas dunia ini, yang selama ini metode tersebut disembunyikan. Simak pula kupasan tentang rahasia hakikat "Poligami" dalam pandangan kaum Sufi. Selamat membaca!


PEMESANAN HUBUNGI :

PUSAT KAJIAN TASAWUF NURUL KHATAMI
NO TELP 44263370 - 93448685 - 081585246371

Teknik Efektif Untuk Meraih Pencerahan Cahaya ILAHI Seketika

DZIKIR KHATAMI

“Dzikir Khatami” adalah sebuah teknik kunci yang terdapat di dalam Al Qur’an. Teknik ini memungkinkan praktisinya mencapai ma’rifatullah dengan seketika. Tidak peduli sebatas apa pengetahuan Anda, dengan mempraktekkan metode yang kami ajarkan, pengalaman menakjubkan yang selama ini hanya bisa anda baca dari buku-buku spiritual akan Anda alami sendiri. Kami jamin!

INSTRUKTUR :
ABU IRSYAD

Setiap hari Sabtu,
14.00 s/d 22.00 WIB

Sekretariat Pusat Kajian Tasawuf Nurul Khatami
Jl Delima III Gg 9 No 179 Rt 011 Rw 03
Kelurahan Malakasari Perumnas Klender Jakarta Timur
Telp. 44263370 – 93448685 - 081585246371

INVESTASI :
Rp. CALL US,- / orang
(termasuk Buku dan hidangan berbuka)


MANFAAT LOKAKARYA :

· Mengalami ma’rifatullah tanpa perlu laku tarikat bertahun-tahun.

· Melejitkan kecerdasan spiritual (SQ) dengan membuka akses langsung ke Cahaya Ilahi yang tidak lain adalah sumber dari kecerdasan spiritual (SQ) manusia.

· Tersingkapnya 70 ribu hijab antara manusia dan Tuhan

· Melatih jiwa menyusuri jalan pulangnya menuju Allah kelak dengan mengenalinya sedari kita masih hidup.

· Dapat mengetahui datangnya tanda-tanda kematian setahun sebelum wafat.

· Menghemat investasi yang perlu anda keluarkan untuk membeli buku-buku spiritual dan “berburu” Guru Ruhani tanpa sebuah kepastian hasil.

Apakah setiap orang bisa mengalami ma’rifatullah, dan setelah berapa lama ?
Tentu setiap orang bisa mengalami. Umumnya peserta akan langsung mengalami ma’rifatullah sejak kali pertama praktek sampai seterusnya kapanpun ia mempraktekkan teknik ini.

Apakah teknik Dzikir Khatami tidak bertentangan dengan syariat agama?
Sama sekali tidak. Teknik ini bersumber dari Al-Qur’an yang didukung temuan sains mutakhir dan tidak mengandung satu unsurpun yang bertentangan dengan syariat agama.


RAIH PENGALAMAN MA’RIFATULLAH ANDA SEKARANG JUGA !

Selasa, 17 Maret 2009

Mengenali Kebeneran Yang Hakiki

Seluruh umat manusia di muka bumi ini telah menyadari bahwa ada Satu Kekuatan Yang Maha Besar, yang telah menciptakan, mengatur dan memelihara Alam semesta ini beserta segala isinya. Tetapi sayangnya, keyakinan itu tidak diteruskan dengan upaya untuk membuktikan sekaligus mengenal kepada Keberadaan Dzat yang mempunyai Kekuatan Yang Maha Besar tersebut, sehingga pada akhirnya keyakinan akan adanya Sang Maha Pencipta itu, hanya sekedar menjadi kepercayaan yang bersifat “lipstick” atau sebatas di mulut saja, tanpa mengakar di dalam Rohani dan aktivitas kehidupan umat manusia.

“Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya….,” (QS Al Hajj 22 : 74)

“….. kecuali hanya menyembah Asma-Nya yang kamu dan nenek moyangmu kamu buat-buat….” (QS Yusuf 12 : 40 ).

“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya sebatas huruf atau tulisan … “. ( QS Al Hajj 22 : 11 )

Ketika terlahir di atas dunia, kita sudah dihadapkan oleh nilai-nilai kemasyarakatan, agama, dan moral yang mau tidak mau kita telah berada di dalamnya dan kita dituntut untuk mengambil sikap, apakah sikap menerima, menolak ataupun sikap netral terhadap nilai-nilai tersebut. Tetapi harus diingat, bahwa kita terlahir di atas dunia ini sebagai salah satu dari suku atau ras bangsa tertentu yang ada di dunia ini, yang yang menentukannya adalah bukan diri kita sendiri. 
 
Begitu pula tentang kelahiran kita sebagai seorang anak bayi di dalam sebuah keluarga, apakah keluarga itu beragama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha ataupun sebuah keluarga yang tidak beragama, proses itu semuanya yang menentukan bukan diri kita sendiri. Setelah kita lahir dan menginjak usia akhil baligh barulah kita secara perlahan-lahan menyadari bahwa kita telah ditakdirkan menjadi apakah itu orang Eropa, Asia, Amerika, Australia atau orang Afrika. Begitu pula dengan agama orang tua kita. Dan biasanya, orang tua kita berusaha untuk menanamkan nilai-nilai agama yang dianutnya kepada kita (anaknya) sendini mungkin, sehingga secara sadar ataupun tidak sadar kita telah memeluk agama yang dianut oleh orang tua kita. Inilah yang disebut bahwa kita beragama karena keturunan.

Setelah menginjak dewasa, barulah kita menggunakan akal dan kehendak yang merdeka untuk mencermati kembali agama yang kita anut sejak kecil, sehingga saat itulah kita memulai proses pencarian terhadap kebenaran yang Absolut. Tetapi sayangnya, sebagian besar manusia sudah puas dengan agama yang dianutnya tanpa mau mencermati kebenaran agama yang dianutnya, bahkan yang lebih parah lagi mereka terjebak dalam sikap fanatik buta terhadap agamanya masing-masing, yang pada gilirannya akan menimbulkan sikap saling membenarkan agamanya masing-masing dan menyalahkan agama orang lain,padahal umat manusia itu sebenarnya adalah umat yang satu.

“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih”. (QS Yunus 10 : 19)

“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan kebenaran, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman tentang hal yang mereka perselisihan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada Jalan yang Lurus”. (QS Al Baqarah 2 : 213)

Beda pendapat diantara manusia tentang kebenaran adalah suatu hal yang manusiawi dan wajar, hal ini sesuai dengan firman Allah, yakni :

Sesungguhnya kamu sekalian selalu dalam keadaan berbeda-beda pendapat”. (QS Adz Azariyaat 51 : 8)

Perbedaan pendapat tentang suatu kebenaran, diantara umat manusia sangat dimaklumi oleh Allah. Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :

“Perbedaan pendapat didalam umatku adalah rahmat”. (Al Hadits)

Tetapi perbedaan pendapat yang menjurus kepada perpecahan dan permusuhan, sangatlah dibenci Allah.

“…janganlah kamu termasuk golongan orang-orang yang mempersekutukan Allah (yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS Ar Ruum 30 : 32 – 32).

Berdasarkan ayat tersebut di atas, dapat simpulkan bahwa salah satu sifat orang yang menyekutukan Allah adalah orang-orang yang suka memecah belah agamanya dan ia merasa paling benar, paling suci dari golongan lainnya. Seluruh golongan di luar golongannya dianggapnya sebagai golongan batil dan ia bangga atas kebenaran golongannya. Padahal, Yang Paling Haq, Yang Paling Suci adalah Allah SWT sajalah sebagai satu-satunya Dzat yang menjadi sesembahan umat manusia.

“….sesungguhnya Allah adalah kebenaran (Al Haq) dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah, itulah yang batil. Sesungguhnya Dia-lah Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (QS Luqman 31 : 30).

“…kebenaran itu datangnya dari Allah….” ( QS Al Baqarah 2 : 147 ).
Ayat-ayat di atas secara tegas mengatakan bahwa Al Haq yang sebenarnya adalah Allah sendiri. Jadi sangatlah keliru apabila ada orang yang mengaku bahwa dirinyalah yang paling benar, atau mereka mengaku bahwa golongannya yang paling benar. Bahkan berdasarkan ayat tersebut di atas, orang atau golongan yang mengklaim atau mengaku paling benar, sebenarnya justru telah menyekutukan Allah, karena ia atau mereka telah mensejajarkan dirinya atau golongannya setara dengan Allah. Padahal Allah telah berfirman dalam Al Qur’an :

“….tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (QS An Najm 53 : 32)

Jadi, janganlah kita mengklaim bahwa diri atau golongan kitalah yang paling benar, haq dan suci, sedangkan orang lain atau golongan lain dianggap batil, salah, tidak suci dan kafir. Sebab, yang paling mengetahui siapa yang haq, benar dan siapa yang termasuk kafir atau batil, adalah hanya Allah SWT sajalah yang dapat mengetahuinya.

“…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”. (QS An Najm 53 : 32)

“Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS Al An’am 6 : 117)

Kembali ke masalah perbedaan di kalangan umat manusia, sebenarnya Allah telah membuatkan solusinya, yaitu agar manusia mengembalikan permasalahan tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia (masalah itu) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS An Nissa 4 : 59)

Sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa apabila kita berbeda pendapat dalam urusan kebenaran, maka perkara itu diselesaikan dengan cara menelaah kembali Al Qur’an dan Al Hadits. Tetapi anehnya setelah mereka sama-sama menelaah permasalahan tersebut ke dalam Al Qur’an dan Al hadits , tetap saja tidak ditemukan kata sepakat, bahkan perbedaan pendapat diantara mereka semakin tajam saja, walaupun dalil yang dipedomaninya sama. Hal ini sering terjadi di kalangan umat Islam dan juga di kalangan umat beragama lainnya, sehingga kita sering melihat di kalangan umat beragama terjadi perpecahan dan bergolongan dalam memahami ajaran agamanya. Khusus untuk umat Islam, perpecahan di antara umatnya sudah diramalkan oleh Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan sabda beliau :

“Sepeninggalku nanti, umat Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka, hanya satu golongan yang benar yaitu yang berpegang teguh kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Al Hadts)

Seruan untuk kembali kepada Al Qur’an dan Al Hadits, apbila di kalangan umat Islam terjadi perbedaan pendapat, tidak akan berhasil dengan baik, jika kita belum mendapatkan Petunjuk dari Allah dalam menelaah dan mengkaji ajara-ajaran-Nya yang tertuang dalam Kitabullah, karena untuk bisa memahami Kalam Allah di dalam Al Qur’an diperlukan Petunjuk atau Wahyu terlebih dahulu, sesuai dengan firman Allah :

‘Dan tidak seorangpun manusia yang dapat memahami Kalimat Allah kecuali dengan bantuan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya siapa yang dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Kitab dan apa iman itu, tetapi Kami jadikan wahyu itu Cahaya, yang dengannya Kami memberi Petunjuk orang-orang yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau menunjuki kepada jalan yang lurus”. (QS Asy Syura 42 51-52)

“Maha Tinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa menyimpulkan isi Al Qur’an sebelum disempurnakan Wahyu kepadamu, dan katakanlah : “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS Thaha 20 114)

“Dan Allah akan menambah Petunjuk kepada mereka yang telah mendapat Petunjuk”. (QS Maryam 19 : 76)

“Dia telah menurunkan para malaikat dan Roh untuk membawa Wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya”. (QS An Nahl 16 : 2)

Berdasarkan ayat tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk membaca wahyu Allah harus dengan wahyu pula, sebab mustahil kita dapat memahami wahyu Allah tanpa menerima petunjuk atau wahyu dari Allah.

“Dan kebanyakan mereka hanyalah mengikuti persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak dapat mengalahkan kebenaran sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS Yunus 10 : 36)

Untuk mendapatkan wahyu dari Allah, dipelukan usaha yang sungguh-sungguh dari setiap umat manusia untuk mengenal dan menemui Allah, dengan bantuan dan bimbingan dari orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut.

“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kamu kepada ahli Dzikir jika kamu tidak mengetahui”. (QS An Nahl 16 : 43)

Nikmatnya Melihat Allah


Rasulullah menegaskan bahwa seseorang yang beribadah / menyembah Allah, seharusnya dirasakan “seakan-akan melihat Tuhan. Lafal hadits itu adalah :

“Ihsan, adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Allah”(HR. Muslim dari ‘Umar r.’a)

Dalam lafal hadits terdapat “Ka-anna” yang terdiri dari dua kata “ka” dan “anna”. Dalam tata bahasa Arab, perkataan “ka” dinamakan “hartfut tamstil” (menunjukan umpama atau contoh). Sedang perkataan “anna” adalah “lit-taukid” (untuk menguatkan), yang dalam bahasa Indonesia umumnya diartikan sesungguhnya. Maka arti yang tepat dari kata “ka-anna” adalah “seperti sesungguh-sungguhnya”. Seorang aktor atau aktris yang baik, harus mampu menunjukan permainannya seperti sungguhan sesuai dengan peran yang dimainkannya. Expresi wajah/mimik, vokal, lagu dan lain-lain harus cenderung kepada keadaan yang sebenarnya.


Maka setiap melakukan ibadah khususnya pada waktu sholat, bila tidak disertai perasaan, “seperti sungguh-sungguh” melihat Tuhan, maka ibadah itu tidak tergolong dalam katagori ibadah yang ihsan (baik) Allah SWT. berfirman :

“Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45)

Dikalangan umat Islam terdapat beberapa pendapat tentang “melihat Tuhan” yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Dapat melihat Tuhan di akhirat
2. Tidak dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat
3. Dapat melihat Tuhan di dunia dengan mata hati, sedang
di akhirat dengan lebih nyata.

Seluruh Ulama di kalangan Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah sepakat bahwa semua orang mukmin akan melihat Allah SWT. di akhirat kelak dengan berpedoman pada firman Allah :

“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri karena memandang kepada Tuhan-Nya”. (QS. Al-Qiyamah : 22-23).

“Untuk orang yang berbuat baik dengan perbuatan yang terbaik, mendapatkan tambahan (melihat TuhanNya)”. (QS. Yunus 10 : 26).

“Ketahuilah, sesungguhnya mereka pada hari itu terdinding untuk memandang Tuhan-Nya” (QS Al-Muthaffifin 83 : 15).

Nabi Muhammad juga pernah bersabda mengenai masalah melihat Allah :

“Dari Abi Hurairah r.a, sesungguhnya orang-orang (Para Sahabat) bertanya : Ya Rosulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat ? Maka Rasulullah menjawab : “Sulitkan kamu melihat bulan di malam bulan purnama ? Para sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Rasulullah berkata lagi : “Apakah kamu sulit melihat matahari diwaktu tanpa awan ?”Pra sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu”. ( HR Bukhari dari Abu Hurairah )

Syeikh Rabi r.a berkata : Saya telah mendengar Imam Syafi’i berkata :

“Kami tahu tentang itu (melihat Tuhan) bahwa ada golongan yang tidak terdinding memandang kepada-Nya, mereka tidak bergerombol melihat-Nya”.

“Sesungguhnya kedudukan sorga yang paling rendah ialah penghuni sorga yang melihat sorganya, isterinya, pembantunya dan pelaminannya dari jarak perjalanan seribu tahun. Dan penghuni sorga yang paling mulia diantara mereka ialah yang melihat Allah setiap pagi dan petang. Di hari itu penuh ceria memandang TuhanNya”. ( HR Turmudzi dari Stuwair r.‘a diterima beliau dari Ibnu ‘Umar r.a )

Adapun golongan Mu’tazilah meyakini bahwa mustahil untuk dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat dengan berpedoman pada firman Allah :

“Tidak ada mata yang dapat melihat Tuhan, tetapi Tuhan dapat melihat mata” (QS Al An’am 6 : 103 )

Demikian pula dengan ayat 22-23 Al-Qiyamah, perkataan n a z h i r a h (melihat) mereka artikan dengan menunggu. Mereka sama sekali tidak menghiraukan apa yang terdapat pada Hadits-hadits Rasulullah SAW. Zamakhsyari, seorang Ulama tafsir di kalangan Mu’tazilah hanya menyatakan “mustahil dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat” tanpa memberikan penjelasan dan dasar alasan yang lebih meyakinkan.

Syeikh ‘Allamah Al-Qori menyindir golongan Mu’tazilah dengan Syi’irnya:

Orang Mukmin melihat Tuhannya,
tanpa bentuk tanpa umpama,
nikmat lain tiada arti,
dibanding melihat Ilahi Rabbi,
kaum Mu’tazilah rugi seribu rugi.

Di kalangan Al-Asy’ari (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) masih dipertanyakan, apakah melihat Tuhan hanya khusus di akhirat saja ?. Dalam membahas hal tersebut terdapat dua pendapat :

1. Melihat Tuhan hanya di akhirat saja.
2. Melihat Tuhan hanya bukan di akhirat saja tetapi juga dapat melihat Tuhan selagi di dunia ini, yaitu dengan “mata batin” (bashirah).

Kedua pendapat tersebut didasari dengan alasan : bahwa Rasulullah SAW pada waktu melakukan Isra Mi’raj benar-benar melihat Tuhan, sehingga Sayidina Hasan bin ‘Ali r.a berani bersumpah sewaktu menerangkan hal itu. Demikian pula dengan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbas r.a, yang oleh Imam Nawawi disimpulkan:

“Kesimpulannya, Sesungguhnya rajih (alasan kuat) menurut sebagian Ulama bahwa Rasulullah SAW. melihat Tuhannya dengan nyata / mata, pada malam Isra berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas dan lain-lain”.

Menurut Syeikh Ibnu Hajar Haitami tentang Rasulullah melihat Tuhan di malam Isra :

“Dikalangan Ahlus Sunnah telah terjadi kesepakatan tentang masalah Rasulullah melihat Tuhan di malam Mi’raj dengan nyata/mata”.

Para Auliya mendapat karunia Allah melihat Allah dengan mata batinnya, sebagai suatu “Karomah” untuk mereka, seperti juga mukjizat untuk Rasulullah SAW. Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengakui hal itu, dan Ulama Shufi umumnya mengemukakan :

“Apabila ruhaniyah dapat menguasai basyariyah (fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata tidak akan melihat, kecuali hanya dengan pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata batin”

Pengertian “ruhaniyah dapat menguasai basyariyat” dapat diambil misal, seorang yang sangat takut dengan hantu. Rasa takut tersebut akan sangat mempengaruhi jiwanya, sehingga apabila ia berjalan pada malam hari, kemudian tiba-tiba ia melihat pohon atau daun pisang yang bergerak tertiup angin, maka ia akan berlari ketakutan karena dikiranya hal itu adalah sosok hantu yang menakutkan.

Bisa juga terjadi melihat Tuhan di dalam mimpi. Dalam kitab Sirajut-Tholibin disebutkan :

“Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian besar Ulama Shufi kemungkinan terjadi melihat Tuhan”.

Diklalangan ulama Shufi terdapat keyakinan bahwa “melihat Tuhan bisa terjadi dengan pandangan mata batin yang mendapat n u r dari Allah SWT, yang oleh Syeikh Junaid disebut Nurul Imtinan. Syeikh Junaid terkenal sebagai seorang yang amat waro’ (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang Shufi besar pada zamannya, yang tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh Shufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain, Abu ‘Ali Ad-Daqaq, Abu Bakar Al-Atthar, Al-Jurairi, ‘Athowi dan lain-lain. Diceritakan saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Qur’an. Beliau wafat pada hari Jum’at tahun 297 Hijriyah, setelah selesai membaca ayat ke 70 Surat. Al-Baqarah.

Sehubungan dengan ucapan beliau tentang Tuhan, murid beliau bertanya :
“Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Tuhan pada waktu engkau menyembah-Nya ? Beliau menjawab : “Kami (Para Arif) tidak akan menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Kami juga tidak akan bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenal-Nya”.

Kesimpulannya adalah, bahwa melihat Tuhan di dunia sepanjang pendapat para ‘Arif bila bisa saja terjadi, dengan Nur Mukhasyafah. Dalam hal iniyang perlu diperhatikan adalah, bahwa yang dimaksud dengan “melihat” bukan berarti melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warnanya dari Zat Tuhan), yang mereka istilahkan “bi ghoiri kaifin wa hashrin wa dhorbin min mistalin”. Selain itu mereka pun mengakui bahwa penglihatan kelak diakhirat jauh lebih jelas dan lebih nyata dibanding apa yang mereka lihat di dunia sekarang.

“Imam Qurthuby berkata : “Melihat Allah SWT di dunia (dengan mata hati) a dapat diterima akal. Kalau sekiranya tidak bisa, tentulah permintaan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Tuhan adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin seorang Nabi tidak mengerti apa yang boleh dan dan apa yang tidak boleh bagi Allah. Bahkan (seandainya) Nabi Musa tidak meminta, hal ini bisa terjadi dan bukan mustahil”.
(Al-Jami’ul Ahkamul-Qur’an)

“Dan firman Allah : “Tatkala Tuhan tajalli /tampak nyata pada gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur” Maka apabila Allah bisa tajalli pada gunung, padahal gunung itu adalah benda padat, kenapa tidak mungkin Allah “tajalli” pada Rasul-Rasul-Nya dan Wali-WaliNya ?”

(Kawasyiful-Jilliyah)

NABI MUSA A.S MEMOHON UNTUK MELIHAT TUHAN

Berbicara tentang permohonan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Allah SWT. Sebaiknya kita perhatikan dahulu firman Allah :

“Dan tatkala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang kami tentukan, dan Tuhan-Nya berbicara kepadanya, maka Musa berkata : Ya Tuhanku, nampakkan (Dirimu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. “Tuhan berfirman: “Kamu tidak akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah bukit itu, bila bukit itu tetap di tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhan tajalli / tampak pada bukit itu, kejadian itu menyebabkan bukit itu hancur dan Musapun pingsan. Setelah Musa sadar kembali dia berkata : “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang pertama yang beriman”. (QS. Al-Araf 7 : 143)

Dalam ayat ini terdapat kata-kata yang perlu di kaji lebih dalam yaitu :

1. Tidak akan melihat Aku
2. Tuhan tajalli pada gunung / bukit.
3. Bukit / gunung hancur, dan
4. Musa a.s pingsan.

Tidak akan melihat Aku, suatu pernyataan dari Allah, bahwa bagaimanapun juga mata kepala yang berbentuk bundar yang terletak pada rongga mata dengan daya lihatnya, tidak akan bisa melihat Tuhan. Tetapi tidak berarti menutup kemungkinan untuk dilihat dengan mata hati. Bila mata hati itu dilengkapi oleh Allah dengan Nur-Nya yang kemudian disebut dengan “nurul bashirah” (Cahaya pandangan batin) dan kemudian terdapat pancaran dan nyala pandangan batin yang disebut (bashar) yang kemudian mata kepala sama sekali tidak berfungsi termasuk tidak berfungsinya daya pikir dan seluruh kemampuan fisikal (jasmani) yang oleh orang Shufi digambarkan dengan “fana-dzauqy”, maka pada kondisi itulah terjadinya melihat Tuhan. Ibnu Taimiyah berkata :

“Banyak orang-orang Shufi berkata : “ Aku melihat Allah’. Diceritakan orang tentang ucapan Ja’far bin Muhammad (As-Shadiq) ketika beliau ditanya : “Apakah anda melihat Allah ?” Ja’far menjawab “Aku melihat Allah dan akupun menyembah-Nya”. Si penanya berkata lagi : Bagaimana anda melihat-Nya ?” Beliau menjawab : Tidak mungkin mata kepala dapat melihat-Nya dengan keterbatasannya itu, tetapi Tuhan dapat dilihat dengan mata hati yang Haqqul Yaqin (keyakinan sebenarnya)”

Tafsir Imam Qurthuby sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah tersebut.

Tuhan tajalli pada gunung / bukit, bukanlah berarti “Allah menampakan diri-Nya mengambil tempat pada bukit / gunung. Allah Yang Maha Esa, Maha Meliputi, mustahil bagi-Nya menempati ruang dan tempat dalam insidentil atau permanen. Saidina ‘Ali berkata :

“Allah tidak bertempat, dialah yang mencipatakan waktu dan tempat”.

(Alqozhul Himam)

Pengertian tajali menurut pandangan Shufi / ‘Arif Billah adalah: DIA MENAMPAKKAN DIRINYA SENDIRI TANPA ADANYA YANG LAIN DARI DIA, DENGAN KESEMPURNAAN SIFAT-SIFATNYA, NURNYA, YANG LAISA KAMISTLIHI SYAI’UN. Laisa kamistlihi syai’un tidak ada sesuatu dan satu pun yang seumpama / menyamai-Nya,- tiada pena yang dapat melukiskan dan tak ada kata yang dapat diucapkan, tak ada pula huruf yang dapat dirangkai. Tajalli Allah pada gunung, merupakan isyarat bahwa Allah bisa saja bertajalli pada benda apapun juga, lebih-lebih kepada Rasul / Nabi-Nabi dan para Wali-Nya atau kepada siapun yang Ia kehendaki. Apabila Allah tajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka Allah akui bahwa tangan, kaki, mata, telinga, hati dan seluruh yang ada pada diri si hamba adalah tangan dan kakinya Allah SWT. Banyak Hadits yang merupakan dalil dan keterangan yang menguatkan hal itu. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abi Umamah dalam Kitab Al-Kabir :

“Hamba-Ku yang selalu merasa dekat pada-Ku dengan melaksanakan amalan-amalan nawafil / sunnat / tambahan, sehingga Aku mencintainya. Akulah yang jadi pendengarannya yang dengan itu ia mendengar, Akulah yang jadi matanya yang dengan itu dia melihat, Akulah yang menjadi lidahnya yang dengan itu ia bicara, Aku pula yang menjadi hatinya yang dengan itu ia bercita-cita. Bila ia meminta / memohon kepada-Ku, Aku perkenankan doanya, dan bila ia meminta tolong kepada-Ku, Aku tolong dia. Aku amat suka kepada hamba-Ku yang mempersembahkan ibadahnya kepada-Ku dengan penuh keikhlasan” (HR. Thobrani dari Umamah r.a.)

Untuk mencapai tajalli, harus melalui beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan dan ketekunan, jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Pada teori lain diistilahkan; takhalli, tahalli, seterusnya sampai tajalli.

Takhalli berarti pengosongan dari segala sifat-sifat yang tercela. Kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji, disebut Tahalli. Jadi tahalli adalah pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya dengan hanya semata-mata “dzikirullah”. Pengosongan dalam arti “fana segala yang fana” akan menyebabkan hati dan pikir itu pun menjadi fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Dalam Istilah kitab kuning hal itu disebut dengan : “rasa yang tiada berasa”.

Semua sudah terbentang, semua sudah jelas, semua sudah nyata, maka itulah “mukasyafah”. Disitulah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa yang sedang pingsan dan gunung yang hancur berantakan. Musa a. s. tidak mampu untuk berbicara, mana Musa ? Mana gunung ? Mana Tuhan ?, akhirnya seperti apa yang dikatakan oleh Syeikh Junaid “Hakikat Tauhid (sebenar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya: kenapa dan bagaimana”.

Allah berfirman:

“Segala sesuatu hilang sirna/hancur tiada arti, kecuali wajah-Nya/Zat-Nya (QS. Al-Qashas 28 : 88)

“semua pasti lenyap sirna, sedang yang kekal abadi hanya wajah Tuhanmu Yang Maha memiliki kebesaran dan kemuliaan” (QS. Rahman 55 : 26-27)

“Apa yang ada padamu akan hancur, dan apa yang ada pada Allah kekal abadi” (S. An-Nahl 16 : 96)

Disinilah makna hancurnya gunung dan pingsannya Musa a.s. Seorang yang berjiwa Shufi, bila merenungkan ayat ini (QS 7 :143) akan bahagia dan meneteskan air mata dan berkata lirih “Betapa bahagia wahai gunung, betapa besar engkau, betapa kerasnya engkau, betapapula tegarnya engkau, wahai gunung batu, namun engkau rela menerima kehancuran, kefanaan, kesirnaan dihadapan Allah. Dikefanaanmu, kau rasakan keindahan dan kenikmatan yang tiada tara.

MENYINGKAP RAHASIA MAKNA “THURSIN” SI GUNUNG SINAI

Firman Allah dalam Al-Qur’an “Demi Tin, Zaitun, dan orang-orang Thursin dan demi negeri yang aman”. (QS. At-Tin : 1-2)

Diriwayatkan orang, dikala Musa a.s. menceritakan kepada pengikut beliau bahwa beliau akan melakukan dialog dengan Tuhan di daerah perbukitan, lalu masing-masing gunung dan bukit menawarkan dirinya untuk dijadikan tempat pertemuan agung dan dialog tingkat maha tinggi itu. Masing-masing menunjukan penampilan bergengsi seraya berkata : “Akulah gunung terbaik dan paling baik”, “Akulah bukit terindah untuk dipandang”, “Akulah yang paling kokoh dan paling tegar diantara jajaran gunung dan bukit di wilayah ini”. Musa a.s. diam seribu bahasa. Sambil memandang dengan penuh perhatian, mengitari dan menyimak suara dan kata, terlihat oleh beliau hanya ada sebuah bukit yang tidak mengeluarkan sepatah kata juapun. Itulah si bukit Sinai (THURSIN). Musa a.s. mendatangi si bukit itu seraya bertanya : Wahai bukit kenapa tiada kata dan suaramu seperti temanmu yang lain ? “Bukit itu menjawab : “Wahai tuanku, Aku mengaku bahwa engkau adalah utusan Allah. Akupun malu untuk bicara. Akupun merasa kerendahan diriku dihadapan Allah. Namun demikian, jika sekiranya Allah berkenan, Aku tentu menyampaikan puji syukurku yang tiada terhingga kehadirat Allah”. Akhirnya, si THURSIN inilah yang mendapat anugerah. Si bukit yang tidak mempunyai kesombongan dan tidak mengagung-agungkan dirinya. Si bukit yang merasa kefanaan dirinya di hadapan Allah. Bukit yang mendapatkan kehormatan dicantumkan namanya di dalam Al-Qur’an.

Adakah makna yang tersembunyi dibalik pengertian bukit yang bernama THURSIN ? Adakah hal-hal yang metaporis dari kenyataan yang terjadi sebenarnya ?. Bukankah Al-Qur’an penuh dengan amtsal dan ibarat ?. Salahkan bila ada yang hendak berimajinasi merenungkan makna hakiki atas bukit yang berbahagia itu sepanjang tidak menyalahi dan bertentangan dengan itikad keimanan yang hak dan benar ? Tentu di dalam diri ini akan menjawab “tidak”. Ini imajinair. Bukan tafsir yang mempunyai kekuatan arti hukum dan hujjah.

Dalam Surat At-Tin, Allah bersumpah atas nama makhluknya, tiga benda yang ditonjolkan adalah Tin, Zaitun, Thursin yang dibawa dengan “Waw lil-qosam” (huruf waw untuk kata sumpah). Sebagian Ulama Tafsir menyebutnya “waw lit-tanbih” (waw untuk diperhatikan).

Buah Tin bila diperas, berintikan minyak sebagai bahan pokok minyak wangi. Demikian pula buah Zaitun jika diperas, berintikan sari minyak untuk bahan makanan. Di dalam masyarakat kita terdapat sebuah perumpamaan tentang buah kelapa : “tempurung adalah syariat, daging kelapa adalah thariqat, bila dikukur/diparut lalu diperas menjadi santan yaitu hakikat, santan dimasak jadi minyak, ialah makrifat.

Bukit THURSIN (Tursina) sebuah bukit di padang pasir. Dari segi bahasa berarti “Puncak Sin”. Thur artinya puncak, dan sin adalah sin.

Siapakah Sin ?

“Ya Sin (Wahai Sin = manusia). Demi Qur’an yang penuh hikmat. Sesungguhnya engkau (Wahai Sin) adalah seorang Rasul”. (QS Ya Sin 36 : 1-5)

Seorang Rasul yang menerima Al-Qur’an adalah Muhammad SAW. Maka panggilan Wahai Sin berarti Wahai Muhammad.

Allah Tajalli Di puncak Sin.

Bukankah nama Muhammad sudah tertulis di pintu gerbang ‘Arasy ?, Bukankah Nabi Adam memohon ampun dengan wasilah Muhammad ?, bukankah Nabi Musa ‘alaihis-salam pernah berdoa kepada Allah; “Ya Allah andaikata aku hidup di zaman Muhammad , aku bersedia jadi pengikutnya ?, bukankah Muhammad SAW. Adalah RAHMATAN LIL’ALAMIN , alam yang lalu, kini yang akan datang ? (madly wal hadlir wal mustaqbal)

Masya Allah ….. betapa mulianya Muhammad di sisi Allah. Tanpa Muhammad tak akan ada rahmat yang dirasakan oleh alam dan isinya. Dalam hadis qudsi Allah berfirman :

“Kalau bukan engkau, kalau bukan engkau (Hai Muhammad) tidak kujadikan semua ini”.

Tidak heran bila Ibnu ‘Araby berkata : “Dia awal kejadian, dia pula akhir kenabian”. Muhammad bukan Tuhan. Bukanpula penjelmaan Tuhan. Dia makhluk yang diciptakan. Tetapi dia awal kejadian :

“Yang mula-mula diciptakan adalah Nur Nabimu Hai Jabir” (Al-Hadits).

Muhammad adalah rahmat bagi alam semesta dan segala isinya. Rahmat selalu ada di mana-mana, waktu lalu, kini dan akan datang. Rahmat datang dari sifat rahmaniyah dan rahimiyah Allah SWT. Sifat tidak berpisah dengan zat.

Di puncak Sin, di sari patinya tin dan zaitun, di sari patinya kelapa itulah dia “baladil amin” (negeri yang aman sentosa). Adakah negeri di muka bumi ini yang benar-benar aman dalam arti hakiki ? Tidak. Tak pernah ada kedamaian hakiki di muka bumi ini.

Lalu dimana ?

Di sana bukan tempat, di sana bukan ruang, tetapi itulah BALADIL AMIN, itulah dia HADRAT KETUHANAN.

“Di sisi Allah Maha Raja Diraja, Maha gagah perkasa“ (Al-Qur’an)

Seuntai bait syi’ir yang terasa amat berkesan :

“Sholawat dan salam untuknya,
manusia yang tiada otak bila tidak begitu,
Cahayanya cemerlang, sumber kejadian segalanya,
lenyap sirna aku dalam Nur-Nya Yang Agung,
tenggelam aku dalam Ke-Esa-an-Mu,
dengan rahasia-Mu, ya Tuhanku yang memiliki kemuliaan, tiada kata tiada huruf hanya kerinduan”.

Kekuatan Doa


Semua agama mengenal doa. Doa adalah salah satu kebiasaan umat beragama yang sudah menjadi pengangan sehari-hari. Tak ada yang begitu mendarah daging seperti doa, untuk semua jenis agama sekalipun. Hampir semua orang yang kita temui pernah menceritakan pengalamannya tentang kekuatan doa, bagaimananya doanya pernah dikabulkan dan bagaimana doa telah menguatkannya dikala susah. 


Apapun warna kulitnya, apapun keturunannya, apapun agamanya, semua orang pasti pernah mengajukan suatu permintaan dan terkabulnya permintaan itu yang dikenal dengan istilah doa. Mungkin ada orang yang berdoa karena membutuhkan uang, dan entah bagaimana caranya tapi ia berhasi mendapatkan uang itu tampak diduga-duganya. Ada seorang wanita yang berdoa untuk meminta makan, kemudian ada yang mengantarkan makanan ke rumahnya. Tetapi sebaliknya tidak kalah drastisnya. Banyak doa yang tak terkabulkan. Orang-orang mati kelaparan, anak kecil yang meninggal dunia meskipun orang tuanya memohon dan berdoa dengan sepenuh hati sepenuh jiwanya.

Kalau ada ilmu yang mempelajari tentang doa, maka akan terungkapkan seribu satu macam kontradiksi, begitu banyak fakta yang menbingungkan dan aneh. Doa yang tak ada artinya dikabulkan, sedangkan permohonan yang sangat penting, tak mendapatkan tanggapan sama sekali. Sakit yang biasa sehari-hari disembuhkan sedangkan doa memohon kesembuhan sesorang yang sangat dicintai tidak didengarkan. Orang yang beriman dan taat akan berkata dengan rendah hati : “Ini adalah kemauan atau takdir Allah” dan ia tak akan berkata dan tak akan bimbang lagi. Tetapi orang yang sudah ma’rifat tak dapat menerima jawaban yang begitu sederhana. Mereka menyadari bahwa dalam doa pun ada hukum-hukum tertentu yang menyebarkan kekuatannya, hukum-hukum yang masih harus ditemukan, diindentifikasikan dan dimengerti.

Marilah kita mulai dengan menganalisa doa seperti yang dialami oleh hampir semua orang di dunia ini. Kata doa itu merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu Adda’a yang berarti memanggil, memohon dan meminta. Kata doa itu dipakai untuk mencakup pelbagai kegiatan dari kesadaran kita. Karena itu doa tidak dapat diteliti seakan-akan merupakan satu jenis kegiatan yang sama semuanya.

Ada doa yang khusus memohon bantuan untuk suatu keperluan fisik atau materi. Kalau kita jelaskan dengan apa yang tampak di dunia ini, maka doa ini bisa disamakan dengan suatu permohonan yang diajukan oleh seseorang pada orang lain yang lebih tinggi kedudukannya dan mempunyai posisi dan kemungkinan untuk mengabulkan permohonan itu. Dalam hal ini terkandung pengertian bahwa orang yang akan mengabulkan permohonan itu sedikit banyak harus mengurbankan diri atau berusaha, mengurbankan tenaga atau pun juga, sedikit atau pun banyak untuk memenuhi permintaan yang diajukan kepadanya. Perhatikan lagi bahwa doa disini didefinisikan sebagai permohonan kepada sesorang yang mempunyai posisi untuk mengabulkannya. Kita tidak menyebutkan bahwa doa adalah suatu petisi yang diajukan kepada Allah. Meskipun mungkin demikian, tetapi tak selalu harus demikian. Sejujurnya kita harus mengakui bahwa doa yang diucapkan di dunia ini sebagian besar meminta bantuan fisik ataupun materi. Karena itu sesungguhnya doa tidak secara langsung ditujukan kepada Allah. Orang biasanya masih tahu diri dan merasa diri tak berhak memohon materi pada Yang Maha Kuasa itu. Lagi pula ajaran agama sejak dulu kala telah mengajar manusia takut pada Allah, sehingga hubungan batin antara manusia dan Allah tidak seakrab hubungan manusia sesama manusia. Allah menjadi sesuatu yang jauh dan dingin, tak terjangkau dan tak terasakan dalam kehidupan sehari-hari di dunia ini. Allah seakan-akan seseorang yang berkuasa dan yang tinggi kedudukannya, seorang presiden direktur atau pemilik perusahaan yang maha besar, mungkin juga pemimpin suatu bank yang ternama. Karena itu kebanyakan orang merasa dirinya tak sanggup berdoa langsung kepada Allah, mereka tak yakin bahwa doa itu bisa sampai dan akan didengarkan oleh Allah. Doanya mereka arahkan kepada sesuatu ataupun orang lain yang lebih dekat jangkauannya, yang terasa lebih akrab dan memahami kesulitan dan penderitaan mereka. Mereka mencari orang atau makhluk lain yang lebih toleran dan dapat memahami kelemahan manusia dibalik petisi yang diajukan itu.

Sejauh ingatan manusia, para nelayan selalu berdoa kepada lautan atau pada sesuatu lain yang dianggapnya seakan-akan Raja lautan. Mereka berdoa memohon keselamatan dan perjalanan yang aman dan cepat dan tampak kesulitan apa-apa, mereka berdoa memohon ikan, mereka berdoa akan terlindung dari badai dan topan. Mereka juga berdoa kepada Sang Angin dan kepada Aeolus Raja Angin.Atau para nelayan yang berada dipesisir selatan berdoa kepada Nyi Roro Kidul agar diberikan kemudahan dalam menangkap ikan. Para nelayan mengurbankan atau mengirim berbagai persembahan kepada Penguasa Laut Selatan. Mereka menyebut acara tersebut dengan nama Labuh Saji. Biasanya setelah acara itu dilaksanakan,mereka mendapatkan hasil tangkapan ikan yang melimpah. Sehingga mereka percaya bahwa dengan memohon kepada Penguasa Laut Kidul itu, maka hasil tangkapan ikan melimpah. Fakta ini bukan menjadi persoalan dan bukan apa yang akan kita singgung dalam pembahasan ini. Tetapi makalah ini ingin mencoba menjelaskan bahwa tindakan yang mereka lakukan itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dengan sepenuh hati dan dengan kepercayaan serta keyakinan, suatu bentuk doa yang sejati.

Contoh tersebut dikemukakan, karena merupakan contoh yang khas, yang sudah mendarah daging pada masyarakat kita. Kadang-kadang kurban dipersembahkan, kadang-kadang pula tidak. Sehingga timbul pertanyaan : Apakah doa-doa tersebut dipersembahkan kepada bentuk suatu intelegensia? Ataukah hanya merupakan suatu alat saja untuk memusatkan perhatian pada tujuan yang dikehendaki tanpa menyadari bahwa dengan pemusatan perhatian itu ada mekanisme mental tertentu yang terangsang dan bekerja secara otomatis? Coba pikirkan dan pertimbangkan kemungkinan ini.

Pada agama-agama tertentu doa ditujukan kepada orang suci dari pada Tuhan sendiri. Pernah terjadi seorang pemuka agama yang tak bermoral sengaja mendorong dan merangsang kecenderungan ini dengan demikian menambah jumlah doa, jumlah kuban, jumlah prestise dan jumlah pendapatannya sendiri. Sejarah telah mengungkapkan bagaimana para imam-imam Mesir telah mendorong umatnya untuk kembali pada dewa-dewa kuno sesudah Amenhotep memproklamasikan adanya satu Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian mereka akan memperoleh kekuasannya kembali. Tetapi ini bukan suatu alat politis saja untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi juga merupakan usaha untuk mendapatkan lebih banyak orang. Kalau Dewa atau Tuhannya diperbanyak, dengan sendirinya jumlah kurban yang dipersembahkan akan menigkat juga. Sekarang ini di India dan Tiongkok orang berdoa pada Buddha, di Rusia orang berdoa pada Santo Sergius, di Italia orang berdoa pada Santo Anthony dan semua orang Kristen berdoa pada keluarga Kudus, Yesus, Santo Yosep dan Bunda Maria. Di sebagian besar negara-negara yang menganut agama Islam biasanya berdoa kepada Nabi Muhammad SAW dan juga kepada para Waliyullah. Sesungguhnya ada beratus-ratus lain lagi, yang menjadi tumpuan doa manusia di dunia ini. Segala bentuk permohonan dan doa diajukan dengan ketulusan hati, dengan mengharapkan bahwa mereka ini akan memahami keadilan dan kebenaran permintaan tersebut, bersimpati dan memahami motivasi ia yang sudah berdoa dan akan mempergunakan kekuatan atau pengaruhnya untuk membantu nmenyediakan keuntungan materi yang diminta itu.

Jadi sudah jelas bahwa bentuk doa yang paling umum, yaitu doa meminta materi ada yang memang langsung ditujukan kepada Tuhan, tetapi lebih banyak doa ditujukan kepada sesuatu atau seseorang yang dianggap mempunyai posisi untuk mengabulkan permohonan itu, dan bisa dibujuk untuk melakukannya..

Kalau kita melihat jauh kedalam hati dan batin orang-orang tersebut kita akan menyadari bahwa doa itu seringkali bersifat kekanak-kanakan sekali. Mungkin dapat kita raba sedikit mengapa ada doa yang dikabulkan dan ada doa yang tak pernah dikabulkan. Doa itu bagaikan anak-anak yang meminta sesuatu pada orang tuanya, sesuatu yang betul-betul mereka inginkan. Kadang-kadang mereka mendapatkan apa yang mereka minta, kadang-kadang juga tidak. Tetapi anak-anak itu tak pernah menyadari sepenuhnya mengapa? Anak-anak itu tak mempunyai pengertian dan keberanian yang cukup untuk berusaha mencari dan mendapatkan sendiri apa yang mereka harapkan itu.

KETUKLAH PINTU GUDANG PERSEDIAAN UNIVERSAL

Salah satu tujuan ajaran Ma’rifatullah adalah: mengajarkan manusia untuk mengangkat dirinya sendiri, keluar dari segala ketergantungan yang kekanak-kanakan itu. Mengajarkan mereka untuk mempergunakan hukum sunatullah itu dengan tenaga dan kemampuan diri sendiri. Murid-muridnya dilatih berkonsentrasi, memusatkan perhatian pada suatu objek tertentu dan tetap mempertahankan perhatian itu. Daya ingatan mereka dilatih dan diusahakan sedapat mungkin membuang segala hambatan dan ide-ide yang salah yang sudah mendarah daging pada diri mereka. Murid-murid ini ajari untuk mengajukan permohonan materi pada Sang Maha Kosmik atau Alam Ketuhanan. Gudang persediaan yang besar sekali. Diajarkan teknik-teknik tertentu yang kalau digunakan dengan cara yang baik akan berhasil mengetuk pintu gudang persediaan yang universal ini. Murid-murid ini diajari bersikap sebagai seorang dewasa menghadapi problema kebutuhan dan persediaan, diberi petunjuk tentang metode doa permuhonan materi yang praktis. Kalau seluruh hakekat problema itu sudah dipahami sedalam-dalamnya maka problema itu dapat diselesaikan dengan baik dan memuaskan.

Metode yang diajarkan itu bukan untung-untungan, lempar saja, siap tahu akan kena. Asalkan permohonan itu tidak terlalu egoistis, atau setidak-tidaknya agak egoistis saja, dan apa bila dikabulkan tidak menggangu atau merugikan orang lain, maka permohonan ini bisa mencapai bidang materi yang diharapkan. Teknik ini akan dibahas dalam makalah ini dalam bentuk sederhana.

PERMINTAAN AKAN TERANG

Dalam dunia kema’rifatan konsep doa yang lebih tinggi tarafnya, yaitu berdoa mengharapkan terang, mengharapkan instruksi dan penerangan yang dapat membantunya mempererat hubungannya dengan Allah Sang Maha Cahaya. Ini adalah aspirasi, dan selalu ditujukan pada Allah sendiri, atau kepada sesuatu bentuk Yang Maha, Maha segala-galanya. Hal ini diisyaratkan dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW :

“Ya Allah jadikanlah Cahaya dalam qalbuku, Chaya dalam kuburku, Cahaya dalam pendengaranku, Cahaya dalam penglihatanku, Cahaya dalam rambutku, Cahaya dalam kulitku, Cahaya dalam dagingku, Cahaya dalam darahku, dan Cahaya dalam tulang-tulangku. Dan Cahaya dihadapanku, Cahaya dibelakangku, Cahaya di sebelah kananku, Cahaya disebelah kiriku, Cahaya diatasku dan Cahaya dibawahku. Ya Allah, tambahkanlah Cahaya kepadaku, berikanlah Cahaya kepadaku dan jadikanlah Cahaya bagiku dan jadikanlah diriku Cahaya”. ( HR Bukhori & Muslim )

Permohonan akan Terang atau Cahaya juga difirmankan oleh Allah dalam Al Qur’an, yaitu :

“ Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami Cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui Segala sesuatu “. ( QS At-Tahrim 66 : 8 )

Banyak orang yang sudah ma’rifatullah berdoa dengan cara ini. Setiap manusia pernah merasakan keinginan, atau kerinduan akan aspirasi, dengan tingkatan pengertian yang berbeda-beda, pada saat dan peristiwa yang berbeda-beda pula. Ada yang memohon bantuan menyelesaikan persoalan moral atau spritual, ada yang memohon dibantu meningkatkan pertumbuhan spritualnya, ada yang memohon dilindungi dan dikuatkan dalam menghadapi godaan, ada yang memohon kebijaksanaan dan demikian seterusnya. Semua ini terus terdengar setiap saat di seluruh dunia bagaikan suatu chorus yang bisa disebutkan sebagai: “doa permohonan dari humanitas”.

Aspirasi inilah, permohonan bantuan spiritual yang tulus, yang akan menghasilkan respons dari Yang Maha Tinggi, dalam bentuk pengajaran yang berupa Wahyu dan Petunjuk. Semakin keras dan semakin kuat teriakan kemanusiaan ini bergema, semakin banyaklah petunjuk dan ungkapan spiritual yang merupakan salah satu wadah yang membantu menyalurkan petunjuk dan bimbingan sebagai respons dari hati dan jiwa yang dengan tulus memohon aspirasi, ribuan orang, jutaan orang diaman pun di dunia ini.

MEDITASI / TAFAKUR – PENYESUAIAN DENGAN ELEMEN-ELEMEN YANG LEBIH TINGGI.

Bentuk ketiga dari doa disebut meditasi atau tafakur. Dengan perantaraan meditasi atau tafakur ini para murid mencari persesuaian nada dengan elemen-elemen dirinya sendiri yang jauh lebih tinggi. Meditasi sesungguhnya juga merupakan doa, doa permohonan meminta bantuan dan petunjuk, sama dengan bentuk pertama dari doa yang kita bahas sebelum ini. Tetapi ada satu perbedaan yang utama. Pada meditasi bantuan yang diminta biasanya tidak ditujukan untuk dirinya sendiri. Kalaupun ia berdoa untuk dirinya sendiri, maka permohonan itu hanyalah permohonan untuk mendapatkan kekuatan atau kebijaksanaan, keahlian sedemikain rupa sehingga ia dapat membantu orang lain, sesama manusia.

Kita bisa memperoleh apa saja yang kita inginkan dalam hidup ini

Sekarang kita sudah mengetahui ketiga jenis doa yang dipanjatkan oleh 99 persen manusia di muka bumi ini. Bukanlah wewenang kita untuk menilai dan menentukan kualitas doa-doa itu dan menentukan doa itu baik atau buruk. Tetapi semua doa itu mempunyai satu elemen yang sama : Semuanya ditujukan kepada yang lain, memohon bantuan. Dengan kata lain: ia yang berdoa mengakui bahwa ia sendiri tak mampu melakukannya. Disinilah letak kesalahan yang utama. Sesungguhnya tak ada yang tak mungkin kita dapatkan, tak ada yang tak mungkin kita lakukan. Terserah pada kita untuk mencari tahu bagaimana caranya untuk mendapatkannya, lalu berkemampuan keras dan teguh untuk berusaha mendapatkannya sampai akhirnya memang berhasil kita dapatkan. Marilah kita bahas konsep doa menurut pandangan orang-orang yang sudah ma’rifatullah.

Untuk memahami doa yang sesungguhnya merupakan suatu kreasi mental, maka kita harus menyadari lebih dahulu bahwa doa itu merupakan proses yang ilmiah. Doa hanya bisa dilakukan kalau semua elemen-elemennya memang disediakan sebagaimana seharusnya. Kalau sampai doa itu gagal, maka berarti satu atau beberapa elemen masih kurang. Mungkin juga prosesnya sendiri yang kurang memenuhi syarat. Dapat diambil contoh misalkan seseorang yang ingin membuat kue. Untuk membuat kue yang baik kita memerlukan tepung dan air, susu dan beberapa butir telur, ditambah mentega dan penyedap. Kalau kita sudah menyediakan bahan-bahan tersebut bukan berarti kita sudah mempunyai kue. Kalau kita sendiri tidak tahu caranya mengolah bahan-bahan itu maka tak akan terbentuk suatu kue. Misalkan kita sudah tahu bagaimana caranya mencampur semua bahan-bahan tersebut dengan perbandingan dan urutan yang tepat. Sekarang adonan itu harus dibakar. Pada saat itu panas yang memegang peranan. Panasnya harus tepat dan lamanya memanaskan pun harus tepat pula. Kalau terlalu panas, kuenya gosong. Kalau kurang panas, kue tak dapat berkembang. Jadi bahan saja belum berarti apa-apa. Dibutuhkan juga pengetahuan yang cukup dan keahlian yang mahir.

Doa seorang yang sudah ma’rifatullah tak kalah kompleksnya. Tetapi kalau kita sudah tahu bagaimana caranya, sesungguhnya hal itu mudah saja. Sesederhana kompleksnya pada pandangan pertama. Tetapi sayangnya tak semua orang berhasil menguasainya. Kalau kita belajar masak kue dan ikut membantu mengocok telur dan mencampur bahan, maka sebentar saja kita sudah akan menguasai teknik memasak kue tanpa melupakan sesuatu bahan atau melewati suatu prosedur. Tetapi kalau kita menghadapi bahan pikiran yang harus disaring dan energi psykhis yang harus dipakai untuk membakar kue itu, maka prosedurnya tampak jauh lebih kompleks dan sulit. Tetapi sekali lagi yang perlu ditekankan, prosedur itu tidak sulit, sungguh-sungguh tidak sulit. Kalau kita sudah menguasainya, maka sama sederhananya, bagaikan orang yang berenang ataupun bersepeda. Bukankah prosedur itu merupakan suatu keajaiban tersendiri bagi mereka yang belum bisa? Mula-mula akan dijelaskan apa saja yang kita butuhkan untuk berdoa, dan sesudahnya akan diceritakan apa yang tak boleh dilakukan. Karena itulah kenyataannya, banyak hal-hal yang dilarang, yang tak boleh dilakukan.


DOA ADALAH VISUALISASI YANG KREATIF.


“ Apabila Rasulullah berdoa, beliau mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya “ Di dalam riwayat lain disebutkan, “Beliau menyuruh para sahabatnya untuk melkukan hal itu dan menganjurkannya “ ( HR Ibnu Majah )

“ Sebutkan petunjukmu sebagai petunjuk jalan dan kelurusan sebagai kelurusan tujuan, karena keterkabulan mengikuti penggambaran. Maka barang siapa yang penggambarannya paling baik kepada Al Haq, doanya akan terkabul “ ( HR Muslim )

“ Keabsahan penggambaran mengikuti ilmu yang benar dan kesaksian ( syuhud) yang sahih. Karena itu Rasulullah SAW bersabda “ Kalau kamu mengenal Allah, niscaya doamu dapat menggerakkan gunung “. ( HR Ibnu As Sunni )

Doa sering juga disebut visualisasi yang kreatip. Semua orang sering, atau setidak-tidaknya pernah memvisualisasi sesuatu, beberapa kali sehari. Ada yang lebih sering, ada yang lebih jelas, ada yang kurang, ada yang samar-samar. Rachmaninoff seorang pianis terkenal, pernah mengatakan bahwa sebelum main di panggung setiap nomor yang harus dimainkannya itu sudah dimainkannya dalam pikiran malam sebelumnya. Ia bisa mendengar setiap not dan tahu dimana setiap jari harus dihentakkan tanpa ada piano atau balok not didepannya. Ini merupakan visualisasi yang luar biasa, teliti dan jelas. Untuk bisa melakukannya dibutuhkan konsentrasi. Hasilnya sungguh-sungguh tak ternilai harganya.

Seorang arsitek yang baik sudah membayangkan rumah yang sedang direncanakannya sebelum ia mulai menggambar segarispun. Setiap kloset, setiap tangga sudah ditempatkan dalam visualisasinya itu, padahal gambarannya juga belum digambar. Tenaga-tenaga profesional, pemusik, arsitek dan perencana lainnya, semuanya pandai membayangkan sesuatu, memvisualisasikan sesuatu didalam pikirannya. Tetapi visualisasi itu terbentuk karena sesuatu kebutuhan, baik emosional ataupun fisik yang memang sudah nyata mereka hadapi. Arsitek akan diberi upah, pemusik sedang menghadapi konser, pengusaha harus menjual barangnya. Yang harus kita pelajari adalah memvisualisasikan sesuatu tanpa ada sesuatu kebutuhan yang memaksamu untuk mengambil tindakan.

Visualisasi tidak mengandung rahasia apapun. Semua orang mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Tetapi kita harus belajar membayangkan sesuatu sedemikian rupa sehingga apa yang kita bayangkan itu cenderung membentuk dirinya sendiri, memperlihatkan diri baik sebegai objek ataupun sebagai peristiwa dalam dunia fisik. Bagi seorang pemusik atau seorang arsitek, prosedur ini sudah merupakan prosedur sehari-hari. Yang satu sedang memainkan piano concerto dan yang lain sedang mendisain rumah. Tetapi kalau kita tak memiliki piano dan tak memiliki meja gambar,dan juga belum memilki keahlian untuk mempergunakannya maka mau tak mau kita harus mencari metode lain. Tekniknya sederhana sekali dan dapat gunakan untuk memecahkan pelbagai macam persoalan.

Tetapi sebelum kita berusaha menguasai proses ini sebaiknya kita mendalami lebih dahulu hukum-hukum yang ada kaitannya dengan proses itu sendiri. Pertama-tama kita harus tahu dengan jelas dan tepat apa sebetulnya yang akan kita manifestasikan. Kinginan kita tidak bisa menjangkau pelbagai kebutuhan sekaligus. Cari dulu kebutuhan yang paling utama, lalu objek yang primer ini kita manifestasikan lebih dahulu, diberi suatu eksistensi fisik. Kalau ini sudah berhasil baru kita melanjutkan proses dengan objek yang berikutnya.

Pikiran semua orang selalu dipenuhi oleh pelbagai pikiran yang tak ada kaitannya satu dengan yang lainnya, tak teratur dan jerat menjerat. Jadi pikiran ini kita bereskan terlebih dahulu, jernihkan pikiran itu sedemikian rupa sehingga hanya ada satu pikiran saja yang dominan, pikiran tentang apa yang kita butuhkan Sekarang kita sudah mempersiapkan diri dan sudah bisa mulai memvisualisasi. Cari dahulu tempat dimana kita tak akan terganggu oleh dunia luar, untuk tiga puluh menit berturut-turut. Memang visualisasinya sendiri tidak memakan waktu begitu lama, tetapi mungkin kita masih membutuhkan banyak waktu untuk menjernihkan dan mengosongkan pikiran dan menenangkan pikiran.

Kalau kita sudah memilih tempat yang sesuai, mulailah dengan rileks. Berusahalah dengan sadar merilekskan fisik. Rilekskan dahulu jari-jari kaki, kemudian bagian tumit, naik lagi ke betis, lutut, otot-otot paha, otot-otot wajah dan otot-otot sekitar mata, otot-otot sekitar telinga dan otot-otot kepala. Semua ini membutuhkan waktu sekitar tiga-empat menit. Sesudah rileks kita akan merasa tenang, dan tenang sekali.

Sekarang tibalah saatnya untuk mengalihkan perhatian ke pikiran. Memang sulit sekali bagi seorang awam untuk memperlambat jalannya pikiran dan menghentikannya begitu saja. Karena itu kita perlu mencari alat bantu. Tutuplah matamu dan melihatlah dengan mata pikiranmu. Apa yang terlihat? Suatu layar yang putih dan polos, bagaikan layar bioskop. Lihat bagaimana layar itu memenuhi seluruh ruang, warnanya putih terang. Sekarang secara sadar dan berhati-hati cobalah melihat dalam kesadaran pikiran gambaran dari apa yang memang ingin di manifestasikan. Lihatlah gambaran itu seakan-akan bendanya memang ada didepan kita. Untuk ini dibutuhkan: tujuan yang tunggal, imajinasi yang baik dan kemampuan berkonsentrasi. Semua ini tak akan datang begitu saja, itu sudah pasti. Tetapi kalau kita rajin berlatih, semakin lama semakin jelaslah apa yang kita inginkan itu.

Semua orang yang hidup, baik lelaki maupun wanita mempunyai kemampuan untuk menciptakan dalam bidang material. Tapi untuk dapat mencipta, kitan harus mau dan dapat mempergunakan alat-alat yang sudah disediakan. Yang pertama adalah kemampuan untuk memvisualisasi dan kedua adalah imajinasi. Kedua alat ini harus bekerja sama. Imajinasi harus menyediakan gambaran-gambaran, mungkin hasil rekoleksi atau ide-ide yang menciptakan kreasi baru. Gambaran-gambaran ini kemudian dilemparkan ke atas layar yang sudah tersedia, yaitu layar kesadaran kita dan tetap dipertahankan di situ. Visualisasi ini harus mempunyai daya tahan, kalau memang ingin terproyeksikan keluar dalam dunia dan peristiwa fisik. Semakin lama kita mampu menahan gambar itu semakin cepat gambar itu akan memanifestasikan dirinya. Disinilah alat ketiga harus digunakan yaitu kemampuan untuk berkonsentrasi.

Kita bisa berhenti sampai disini dan mengatakan: “sudah, hanya itu”. Dan kita memang tidak salah. Kita sudah memiliki semua bahan-bahan dasar yang kita perlukan. Tapi kita tahu bahwa masih banyak pertanyaan menanti, pertanyaan yang belum terjawabkan. Kita akan mencoba memperincinya lebih lanjut.

Bagi beberapa orang teknik ini tampaknya terlalu sederhana. Ada lagi yang lain yang tidak percaya teknik seperti ini akan berhasil. Dengan demikian sukses sudah dimatikan sebelum mempunyai kesempatan untuk berkembang. Karena tanpa kepercayaan memang tak akan tercapai apa-apa. Kepercayaan yang teguh bahwa apa yang akan kita visualisasikan itu benar-benar akan termanifestasikan, ini adalah dasar dari seluruh proses yang diajarkan. Ada lagi yang menganggapnya sebagai suatu proses yang sederhana sekali. Mereka kurang serius dan kurang hati-hati, sehingga segalanya hanya setengah-setengah saja. Seakan-akan mencampurkan semua bahan kue dalam satu loyang tapi tak berusaha mencampurnya dengan baik-baik. Ada yang mengalami kesulitan untuk memvisualisir sesuatu, ada pula yang sulit berkonsentrasi. Jadi nyatanya doa ini sungguh tidak mudah. Tetapi kita dapat menguasainya asalkan kita rajin berlatih, berlatih dengan teratur. Tetapi di dunia ini tak ada satu keahlianpun yang bisa dikuasai dengan sempurna tanpa latihan yang teratur dan rajin.

APA YANG KITA VISUALISASIKAN AKAN MENJADI FAKTA MATERI

Ada beberapa detail penting yang masih harus ditambahkan lagi. Contoh: kalau misalnya tujuan kita adalah perjanjian usaha yang penting atau pembukaan usaha baru, maka cobalah membentuk gambar pada saat transaksi itu akan dilaksanakan. Dengan mempertahankan gambaran itu selama 2 atau 3 menit setiap kali, terlihat terang serta kuat sekali dalam pikiranmu sendiri, maka sesungguhnya engkau sedang menciptakan situasi yang sama dalam keadaan yang nyata. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa situasi yang kita kehendaki itu merupakan situasi yang berkaitan dengan dunia materi. Untuk merubahnya menjadi suatu materi diperlukan energi. Semakin besar perbedaannya semakin besar energi yang diperlukan. Suatu manifestasi yang sederhana mungkin merupakan hasil dari satu meditasi/tafakur yang kreatif. Proyek yang besar mungkin memerlukan meditasi sampai seratus kali. Disini berlaku juga hukum fisik sebagaimana juga seluruh alam semesta ini
.
Menciptakan suatu gambaran bisa mempergunakan berbagai macam teknik. Kita bisa membayangkan diri sendiri sebagai seorang seniman dan layar pikiran adalah kanvasnya. Sekarang gambarlah sesuka hati, dengan warna bercorak ragam apa yang terkandung dalam hati kita. Pergunakanlah seluruh imajinasi, berilah gambar itu suara dan bebauan. Kalau gambaran itu berada di luar ruangan, jangan lupa rasa panas matahari dan hembusan angin yang sejuk. Jadikanlah gambaran itu suatu yang riel, suatu yang sungguh-sungguh ada.

Pada akhir setiap periode visualisasi, putarlah gambaran itu kedalam, proses ini hampir sama dengan proses menelan. Tetapi disini kita tak mempergunakan kerongkongan untuk menelan, tetapi mempergunakan pikiran kita. Lalu lupakan sama sekali. Jangan biarkan pikiran kita kembali lagi menguak-nguak apa yang telah kita lukiskan tadi dan jangan biarkan bayangan lukisan itu mengembara ke dalam imajinasi kita. Ini penting sekali. Kalau kita tetap mempertahankan lukisan itu seakan-akan mengikatnya dengan mental kita sendiri, maka energi yang tersimpan akan terkikis habis, energi yang diperlukan untuk memanifestasikan lukisan tersebut.

Dengan memvisualisasikan objek yang kita inginkan itu secara teratur, berulang kali, maka secara tak langsung kita telah merangsang energi. Sekarang energi itu mulai bekerja. Tetapi kita sendiri harus membantu sedapat mungkin agar lukisan itu termanifestasikan dalam kehidupan yang nyata di dunia ini. Jangan duduk tenang-tenang seakan-akan hendak menantang: “Coba sekarang, manifestasikan dirimu” bantulah sedapat mungkin. Lebih mudah masuk melalui pintu yang terbuka dari pada harus menerobos pintu yang tertutup. Ingat, kita sendiri juga harus yakin seyakin-yakinnya bahwa apa yang kita inginkan itu memang baik dan patut dicita-citakan dan bahwa keinginanmu itu tidak akan merugikan orang lain. Ini bukan persoalan. Allah yang akan bertindak melawan segala perbuatan yang jahat dan berlawanan dengan keinginan-Nya. Memang tampaknya demikian, tetapi sesungguhnya suara hati nuranimulah yang memegang peranan. Suara hati nurani yang merasa diri bersalah akan memutuskan aliran energi. Hanya orang yang betul-betul jahat dan belum berkembang kepribadiannya sajalah yang mempunyai kemampuan untuk melawan suara hati nurani dan hambatan mental ini.

Dalam hal ini kita diperingatkan agar jangan sampai kita merencanakan sesuatu dengan gegabah. Ingat cerita jin dalam botol yang akan mengabulkan tiga buah permintaan, dan ketiga-tiganya gagal total. Setiap orang mempunyai kemungkinan yang luas sekali jangkauannya dan kreasi mental kita sendiri tetap bahagia dan sukses kalau memang sesuai dengan batas-batas nilai-nilai tertentu. Mungkin bagi kita tak ada yang tak mungkin. Memang dalam zaman sekarang ini apa yang di katakan itu hampir benar. Tetapi ini bukan berarti bahwa tak ada yang tak mungkin bagi kita. Setiap orang mempunyai limitnya sendiri. Misalkan saja tiba-tiba kita mempunyai keinginan untuk menjejakkan kaki di bulan. Kita tahu ini memang bukan merupakan sesuatu angan-angan yang tak mungkin terjadi. Tetapi bagi kita itu tak mungkin terjadi. Bukankah kita hanya akan membuang-buang energi hanya utuk memuaskan suatu keinginan yang tak mungkin tercapai ?

Ada sebuah contoh, apa akibatnya kalau hukum kreasi tidak digunakan sebagaimana semestinya. Ini adalah contoh buat kita semua : Ada seorang pekerja pabrik yang ingin mempergunakan hukum kreasi ini untuk mendapatkan uang sebesar 50.000.000 rupiah. Ia mulai memvisualisasikan apa yang diinginkannya itu setiap hari, sampai berbulan-bulan. Makin lama gambaran itu semakin jelas. Tetapi hanya itulah usahanya, ia tak berusaha melakukan tindakan apapun, tak berusaha bekerja lebih keras atau mencari akal untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Suatu hari ia tergelincir dan jatuh di atas mesin sedemikian rupa sehingga kakinya hancur. Untung sesudah dioperasi ia masih dapat berjalan memakai sepatu khusus, tetapi kakinya mulai dari pergelangan kaki telah diamputir. Perusahaan itulah yang membayar rumah sakit, membayar gaji penuh selama ia dirawat dan memperlakukannya dengan baik. Waktu ia kembali kerja ia dipanggil menghadap pimpinan ditawari uang sebanyak 50.000.000 rupiah asalkan ia tak akan menuntut lagi perusahaan itu.






Hikmah Halal Bi Halal






HIKMAH HALAL BI HALAL

Oleh : Abu Irsyad

Setiap tahun tepatnya tanggal 1 Syawal, seluruh umat Islam di dunia merayakan Hari Raya Idul Fithri dengan penuh kegembiraan, karena telah berhasil melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh, dengan penuh keimanan kepada Allah SWT. Setiap umat Islam di seluruh dunia mempunyai tradisi yang berbeda-beda ketika merayakan hari Raya Idul Fithri tersebut, sesuai dengan ciri khas bangsanya masing-masing. Walaupun terjadi perbedaan tradisi dalam merayakannya, tetapi dari segi esensi atau nilai-nilai dasar syariah Islam tidaklah terjadi perbedaan dalam merayakan Hari Raya Idul Fithri tersebut.

Kita sebagai umat Islam yang berdomisili di Indonesia, mempunyai tradisi Halal bi halal yang biasanya dilaksanakan dengan tujuan untuk mempererat tali silaturahmi sesama umat muslim. Dalam acara Halal bi halal tersebut biasanya diselingi dengan acara ceramah keagamaan yang berkaitan dengan Hikmah-hikmah Idul Fithri, yang Insya Allah dapat mempertajam kerohanian dan keimanan kita kepada Allah SWT.

Pada acara Halal bi halal kali ini, penulis mencoba untuk membuat suatu makalah yang berkaitan dengan peringatan hari Raya Idul Fitri, yaitu Hikmah Halal bi halal.

PEGERTIAN HIKMAH DAN HALAL BI HALAL

Secara umum, hikmah, yang dalam kamus umum bahasa Indonesia dimengerti sebagai “arti yang mendalam”, biasa dipetik di dalam dua perspektif atau pandangan. Pertama, dalam perspektif yang “aktulistis”. Dan kedua alam perspektif “historis”. Melalui sisi pandang ini, hikmah sebagai “pelajaran” akan dipahami dalam dua “wajah”, yakni hikmah dari sebuah kesuksesan, kebaikan dan kebenaran, maupun hikmah dari sebuah kebenaran, keburukan dan kesalahan. Sedangkan, istilah Halal bi halal secara harfiah mempunyai arti halal dengan halal atau halal atas halal. Tetapi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, Halal bi halal mempunyai makna yang sangat luas, yaitu suatu pola hubungan silaturahmi antar sesama umat muslim yang diwujudkan dalam suatu kegiatan atau acara keagamaan, yang juga disertai dengan saling memaafkan, dan dijiwai oleh nilai-nilai ukhuwah Islamiyah dan nilai-nilai Idul Fithri.

Berkaitan dengan masalah hikmah yang dipandang dari sisi aktualistis, setiap orang diharapkan bisa mengambil arti yang mendalam atau hikmah dari sebuah peristiwa, yang terjadi dalam kehidupan di alam semesta, karena semua yang terjadi bukanlah suatu hal yang sia-sia.

“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau …..“. (QS Ali Imron 3 : 191).

Dengan perspektif seperti tersebut di atas, adanya gejolak krisis ekonomi dan terjadinya bencana yang datang silih berganti, yang berdampak negatif terhadap hampir seluruh sektor kehidupan bangsa Indonesia, layaknya juga memberi hikmah tersendiri bagi kita. Agar dari hikmah itu, kita bisa menyiasati berbagai program yang berhubungan dengan peningkatan fundamental ekonomi dan program mitigasi bencana bangsa kita. Sebaliknya, keberhasilan bangsa kita menjaga dan menumbuhkan rasa kebersamaan, rasa kesetiakawanan sosial, rasa persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi krisis ekonomi dan bencana alam yang melanda bangsa kita, mestinya juga dipahami sebagi peristiwa yang banyak hikmahnya. Setidaknya, ada hikmah khusus yang bisa dipetik dan untuk dicontoh, bahwa di tengah tumbuhnya individualistis, bangsa kita masih sanggup melahirkan dan menumbuhkan orang-orang yang dengan ikhlas menghibahkan dan menginfaqkan sebagian hartanya untuk membantu orang lain yang terkena bencana atau masyarakat miskin. Sebenarnya masih banyak lagi hikmah-hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa terjadinya krisis ekonomi dan bencana alam yang melanda negeri ini, jika kita mau lebih cermat lagi untuk menangkap hikmah-hikmah tersebut.

Adapun pemahaman hikmah historis, bernuansa sejarah, adalah mengambil peristiwa besar yang berpengaruh terhadap nasib umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia dikemudian hari. Sehingga layak direnungkan sebagai pelajaran yang aktual sepanjang hidup bangsa ini.

Mengambil hikmah lewat perspektif historis ini, sesungguhnya merupakan hal yang penting bagi kehidupan umat Islam. Agar kita bisa maju dan tidak terperosok ke dalam kegagalan yang sama. Bahkan di dalam Al-Qur’an-pun kita diperintahkan memahami hikmah dari berbagai peristiwa yang pernah menimpa umat-umat terdahulu.

“Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka sebagian besar dari orang-orang di masa dahulu dan sesungguhnya telah kami utus pemberi peringatan di kalangan mereka. Maka perhatikan (ambillah sebagai pelajaran bagimu) bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu !”. (QS Ash Shaffat 37 : 71,72,73)

Maka tak ada salahnya kalau saat ini kita merenungi akar masalah yang membuat umat Islam di Irak bisa jadi seperti sekarang ini. Mereka hancur lebur dihantam peperangan. Atau boleh juga direnungi akar sejarah yang membuat nasib umat Islam di Palestina, di Pakistan, di Al Jazair, di Sudan, di Mesir, yang tidak habis-habisnya dilanda kerusuhan politik dalam negeri dan perang saudara. Demikian juga patut direnungi runtuhnya negara Federasi Yugoslavia dan negara Uni Sovyet, yang terpecah belah menjadi negara-negara kecil yang kadang terjadi perselisihan diantara mereka. Sebaliknya, kita juga layak mengambil hikmah dari kesuksesan umat Islam di Brunei yang memperlihatkan kemajuan pesat dalam bidang Ukhuwah Islamiyah dan bidang-bidang lainnya.

Dalam setiap jaman, hikmah historis ini memang selalu memberi pelajaran, sebab, tidak semua sejarah berjalan mulus. Ada saat-saat cemerlang, namun ada saat-saat sebaliknya. Tinggal kejelian kita memahami hikmah sejarah, yang menentukannya. Apakah akan berjaya dan terhindar dari kegagalan yang pernah terjadi, atau terpeleset lagi dan jatuh ke lembah yang sama.

Jadi, melalui pemahaman hikmah seperti tersebut di atas, sesorang yang berjumpa dengan peristiwa baik, hikmahnya, dia akan menganjurkan untuk ditiru. Sebaliknya, jika peristiwa itu merugikan, hikmahnya, dia mengajarkan agar hal serupa diwaspadai. Dengan demikian segala peristiwa semestinya bisa menjadi hikmah. Pandangan ini, sayangnya belum merata di masyarakat. Sebab, masih banyak yang membatasi keberadaan hikmah tadi hanya untuk peristiwa yang “Tragis” saja. Sementara untuk berbagai kesuksesan, kebaikan dan kebenaran, hikmah sering dilalaikan. Akibatnya, ungkapan bahwa bahwa semua peristiwa pasti ada hikmahnya, sering dipahami secara pasif. Sehingga anjuran memetik hikmah hanya menjadi muara terakhir dari proses ketidakberdayaan. Padahal Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an, bahwa setiap akhir dari suatu peristiwa, terdapat kebaikan bagi kita, tidak peduli apakah akhir dari peristiwa tersebut baik atau buruk menurut kaca mata kita.

“Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan”. (QS Adh Dhuha 93 :4)

“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikanmu karunia-Nya (hikmah dari peristiwa tersebut) (QS Adh Dhuha 93 : 5)




HUBUNGAN HIKMAH DENGAN HALAL BI HALAL

Apabila uraian tentang hikmah tersebut di atas dikaitkan dengan Halal bi halal, maka hal ini dapat mempunyai minimal dua pengertian tentang hikmah Halal bi halal, yaitu :

Hikmah Halal bi halal yang mengandung pengertian bahwa ada suatu arti yang mendalam dari hakekat pelaksanaan Halal bi halal, apabila ia dikaji dengan penuh rasa keimanan kepada Allah SWT.

Hikmah Halal bi halal yang mengandung pengertian bahwa ada suatu pelajaran atau hikmah yang dapat kita petik dari suatu prosesi pelaksanaan halal bi halal yang selama ini kita laksanakan, baik kelebihan atau manfaat dari pelaksanaan Halal bi halal tersebut, maupun kekurangan-kekurangannya.

Sebelum kita mengkaji hikmah Halal bi halal berdasarkan kepada dua pengertian tersebut diatas, ada baiknya kita mengkaji peristiwa sebelumnya yaitu ibadah Shaum dan Idul Fithri. Selama ± 12 bulan, kita diberi kesempatan oleh Allah untuk melaksanakan segala aktivitas kehidupan ditengah-tengah masyarakat di sekeliling kita. Dalam melakukan kegiatan tersebut kadang terjadi persaingan dan benturan-benturan, serta perselisihan dan permusuhan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, yang kadang menimbulkan kekecewaan, ketidakpuasan, sakit hati, emosi, kesedihan dan lain sebagainya. Hal ini kadang menjadi beban pikiran dan beban rohani bagi orang-orang yang mengalaminya.Oleh sebab itu Allah menurunkan satu bulan yang penuh berkah, yaitu bulan Ramadhan, yang di dalamnya terdapat kewajiban untuk melaksanakan ibadah Shaum, dengan tujuan agar setiap individu melatih dirinya sedemikian rupa untuk menahan dan mengendalikan setiap aktivitas hidupnya agar tidak menjadi budak hawa nafsu dengan segala bentuk dan sifatnya, yang kadang sering mendominasi aktivitas hidup kita, baik di keluarga, maupun di lingkungan masyarakat sekitar kita. Dengan ibadah Shaum, pada akhirnya kita diharapkan agar dapat mudik dari hilir kehidupan menuju ke hulu kehidupan yang fitrah dan penuh ketakwaan kepada Allah SWT

Hubungan sosio spiritual Idul Fithri dan shaum Ramadhan juga dapat dipahami dengan memandangnya sebagai simbolisme perjalanan melingkar hidup keruhanian manusia. Siklus itu dimulai dari saat roh ditiupkan dan ke dalam jasad, kemudian lahir di dunia ini, kemudian berakhir dengan saat kembali (dikembalikan) kepada Tuhan. Siklus itu juga bermula dari Idul Fithri ke Idul Fithri berikutnya. Mula-mula ia adalah seorang makhluk manusia yang suci, bagaikan dalam surga atau “Paradiso”. Ia hidup dengan bimbingan hati kecil yang suci, yang disebut nurani, artinya bersifat terang, karena menerangi jalan hidup manusia menuju kepada baik dan benar. Karena fithrah kesucian yang bersemayam dalam hati nurani itulah manusia bersifat hanif, artinya, secara pembawaan alami cenderung merindukan dan memihak kepada baik dan benar. Karena itu pula fitrah dan kehanifan (hanifiyah) merupakan lokus kesadaran kebenaran dan merupakan titik pusat kesediaan masing-masing pribadi manusia untuk menerima agama penyerahan diri dan ketaatan kepada Allah melalui tindakan hidup berakhlak. Fitrah dan kehanifan itu adalah design ciptaan Allah yang tidak akan berubah sehingga tetap ada selama-lamanya dalam diri manusia

“Maka hadapkanlah dirimu kepada dien yang hanif, fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan bagi fitrah Allah. Itulah dien yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS Ar-Rum 30:30)

Kehanifan menjadi sumber potensi kearifan abadi (al-hikmat, al-khalidah atau Sophia perennis), inti nilai kemanusiaan universal. Dan Nabi pun menegaskan bahwa sebaik-baiknya agama ialah al-hanifiyat al-sambah, yaitu semangat mencari kebenaran dan kebaikan secara wajar, alami, lapang dan manusiawi (HR Ahmad dari Ibn Abbas). Tetapi sekalipun diciptakan dalam kesucian asal, manusia adalah makhluk yang lemah.

“Allah hendak memberikan keringanan kepada kamu, dan manusia dijadikan dalam keadaan lemah” (QS An-Nisa 4 : 28).

Kelemahan manusia yang paling pokok ialah pandangannya yang pendek, dan tidak mampu melihat jauh ke depan. Karena itu manusia mudah tertarik kepada hal-hal yang sepintas lalu menawarkan kesenangan, padahal dalam jangka panjang membawa malapetaka. Adalah hati nurani yang memperingatkan manusia untuk waspada jangan sampai terjebak oleh hal-hal yang pendek yang menyenangkan, sementara melupakan jangka panjang yang lebih besar dan penting. Karena itu Nabi SAW menjelaskan, bahwa kebajikan adalah budi pekerti luhur, dan dosa ialah sesuatu yang terbetik dalam hati yang bersangkutan dan tidak suka jika diketahui oleh orang banyak. Hadits ini menyangkut seorang sahabat Nabi bernama Wabishah al-Asadi :

Berkata Wabishah a-asadi, “Aku datang kepada Rasulullah SAW dan aku tidak akan mengesampingkan barang sedikitpun tentang kebajikan dan dosa melainkan mesti akan kutanyakan kepada beliau, dan beliau saat itu dikelilingi sejumlah kaum muslim untuk meminta nasehat dan aku pun melangkah melewati mereka, dan mereka berkata, “hai Wabishah, jangan mendekati Rasulullah SAW!” Aku katakan, “Biarkanlah aku! Aku akan mendekat kepada beliau. Karena beliau adalah orang yang paling aku cintai untuk saya dekati.” Beliau (Nabi) bersabda, “Biarkanlah Wabishah! Kemari, Wabishah! (dua atau tiga kali)” Kata Wabishah,” Akupun mendekat kepada beliau hingga aku duduk bersimpuh dihadapannya”. Lalu beliau bersabda,” Hai Wabishah, apakah kau mau aku beritahu atau engkau akan bertanya kepadaku?” Aku berkata,”Tidak, melainkan beritahulah aku. Beliau bersabda , “Engkau datang untuk bertanya kepadaku tentang kebajikan dan dosa bukan?” Wabishah menjawab,”Ya!” lalu beliau merapatkan jari-jari beliau, kemudian dengan jari-jari itu beliau menepuk Qalbuku dan bersabda,”Hai Wabishah, mintalah fatwa (bertanyalah, berkonsultasilah) kepada Qalbumu! Mintalah fatwa kepada dirimu! (tiga kali), kebajikan ialah sesuatu yang Qalbu merasa tentram kepadanya dan dosa ialah sesuatu yang terbetik di dalam Qalbumu dan bergejolak dalam Shudur, sekalipun orang banyak memberi fatwa (membenarkan) kepadamu, sekalipun mereka memberi fatwa kepadamu! “. (HR. Bukhori )

Jadi pertimbangan pertama dan utama dalam bertindak ialah nurani. Murni dan terangnya hati nurani akan membisikkan kepada kita tentang apa yang baik dan buruk, yang benar dan yang palsu. Namun karena kelemahan manusia tersebut tadi, kita tidak selalu dapat mendengar Suara nurani kita sendiri. Atau karena Qalbu kita sudah kehilangan cahaya-Nya disebabkan oleh dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan kita. Karena itu dalam istilah Al-Qur’an, dosa disebut zhalim, orang yang melakukan kegelapan. Maka orang yang banyak berbuat dosa, qalbunya tidak lagi bersifat terang (nurani), melainkan menjadi gelap (zhulmani). Dan dalam stadium yang kronis dan parah, perbuatan dosa atau zhalim itu mungkin tidak lagi kita rasakan sebagai dosa atau kejahatan, bahkan terasa baik-baik saja. Inilah yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an bahwa adakalanya kejahatan pada sesorang ‘dihiaskan’ baginya, sehingga nampak indah bagi yang bersangkutan. Dan itulah stadium kebangkrutan ruhani, yang menyeret manusia keluar dari dalam “Paradiso” menuju “inferno”. Dalam Al-Qur’an terbaca isyarat kebangkrutan spiritual itu :

“Apakah (kamu risaukan, wahai Muhammad) orang yang dihiaskan baginya kejahatan amalnya sebagai ia pandang baik? Sebab sesungguhnya Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendak-Nya Oleh karena itu, janganlah engkau menelantarkan dirimu dengan kesedihan tentang mereka itu. Sesungguhnya Allah maha Tahu akan segala sesuatu yang mereka perbuat ”. (QS Al Fathir 35 : 8)

Karena selalu ada bahaya ancaman kebangkrutan spiritual seperti itu, maka setiap pribadi memerlukan proses pembersihan diri. Proses itu yang kita jalani dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Maka bulan puasa adalah bagaikan alam “purgatorio”, alam pensucian dan pembersihan diri. Proses pensucian diri itu ditempuh dengan memperteguh kemampuan kita menahan diri dari godaan, akibat pandangan kita yang cenderung pendek (miyopik) dan gampang tergoda itu. Dengan asumsi bahwa ketika berhasil menjalani proses itu, maka kita akan dapat melepaskan diri dari alam “inferno” kembali menuju ke alam “Paradiso” yang dianugerahkan Tuhan kepada kita melalui kesucian primordial kita. Kembali ke “Paradiso” itulah yang kita rayakan pada akhir bulan Ramadhan, tanggal 1 Syawal, dan perayaan itu dinamakan Idul Fithri, “kembalinya kesucian primordial”, atau “kembali ke kesucian primordial”. Maka, menurut petunjuk Al-Qur’an, kita hendaknya merayakan Idul Fithri dengan bertakbir mengagungkan Allah atas petunjuk yang telah kita terima, dan bersyukur atas segala petunjuk itu

“Bulan Ramadhan, yang yang didalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang dan batil. Karena itu barang siapa diantara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa dan barang siapa sakit, atau dalam perjalanan, maka wajiblah ia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan kamu hendaklah mengagungkan Allah atas Petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS Al Baqarah 2 : 185).

Nabi SAW juga berpesan agar dalam Idul Fitri semua orang keluar rumah menuju tempat sholat Hari Raya, termasuk kaum wanita yang sedang berhalangan. Dan beliau juga membiarkan dan mendukung penuh kegembiraan warga Madinah dalam merayakan Hari Raya Idul Fithri.

Di negara kita, perayaan Hari Raya Idul Fithri biasanya diteruskan dengan pelaksanaan kegiatan Halal bi halal yang sarat dengan hikmah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran yang mendalam untuk mempererat Ukhuwah Islamiyah. Hikmah yang dapat di petik dari suatu prosesi pelaksanaan halal bi halal yang selama ini kita laksanakan adalah sebagai berikut :

1).Bersikap kasih sayang kepada sesama muslim, seperti mengasihi diri sendiri.Jangan mengkhususkan sesuatu untuk diri pribadi tanpa mengindahkan mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Tiada sempurna iman seseorang hingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri “. (HR Bukhori & Muslim )


2). Selalu menebarkan salam, berjabat tangan dan bertutur kata yang manis apabila berjumpa dengan sesama Muslim. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW :

“ Hak seorang muslim kepada muslim lainnya ada enam perkara yaitu apabila kamu berjumpa dengan dia, hendaklah memberi salam kepadanya. Apabila kamu diundangnya, perkenankanlah undangan itu. Apabila ia meminta nasihat kepadamu, nasihatilah ia. Apabila ia bersin dan memuji Allah maka jawablah dengan ucapan “ Yarhamukullah “. Apabila dia sakit, jenguklah dia. Apabila meninggal dunia maka iringilah jenazahnya “. ( HR Muslim )

3). Hendaklah bergaul dengan sesama muslim dengan akhlak yang baik, sayang menyayangi dan tidak lekas marah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dan Hadist Nabi Muhammad SAW :
.
“ Dan sesungguhnya kamu harus benar-benar berbudi pekerti yang tinggi “. ( QS Al Qalam 68 : 4 )

“ Orang mukmin yang paling yang paling sempurna imannya ialah mereka yang paling baik akhlaknya “ ( HR Turmudzi ) .

4). Selalu bersikap tawadhu kepada sesama muslim sebagaimana perintah Allah dengan firman- Nya dan Hadits Nabi SAW :

“ Dan berendah hatilah kamu terhadap orang-orang yang beriman “. ( QS Al Hijr 15 : 88 )

“ Dan barang siapa yang merendahkan hati karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat martabatnya. Pada penglihatannya dia kecil tetapi dimata orang orang banyak dia besar, Dan barang siapa sombong niscaya Allah meletakkannya atau merendahkan martabatnya. Dimata orang banyak dia kecil tetapi dimatanya sendiri dia besar sehingga ia lebih hina bagi kamu daripada anjing atau babi “. ( HR Thabrani )

“ Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu kepadaku : berendah hatilah kamu hingga tiada seorangpun membanggakan diri kepada orang lain dan janganlah berbuat kejahatan seseorang terhadap orang lainnya “. ( HR Muslim )

5). Selalu berusaha mencari kerelaan sesama muslim dan memandang mereka dengan baik, Saling tolong menolong dalam menegakkan kebajikan dan takwa serta mencintai Allah, mendorong mereka supaya berusaha mencapai kerelaan Allah, menunjuki mereka ke jalan yang benar jika anda sudah dewasa dan belajar dari mereka jika anda lebih muda. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dan Hadits Nabi SAW :

“ Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran “. ( QS Al Maidah 5 :2 )

“ Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang raja, dijadikan-Nya seorang wazir atau menteri yang jujur untuknya. Jika Raja lupa, akan diingatkannya, dan jika teringat akan dibantunya. Dan apabila Allah menghendaki tidak demikian atau sebaliknya maka dijadikan-Nya seorang menteri jahat untuknya. Jika Raja lupa, tidak diingatkannya dan jika ingat tidak dibantunya”.

6). Selalu menyayangi sesama umat muslim dengan menghormati orang-orang tua dan menyayangi anak-anak sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Tiadalah termasuk golongan kami , orang-orang yang tidak menghormati orang-orang tua kami dan tidak menyayangi anak-anak kami “.( HR Turmudzi )

“ Orang-orang yang menaruh balas kasihan, dirahmati Allah Yang Maha Pengasih “. ( HR Abu Daud )

“ Jika kamu ingin mendapat Rahmat-Ku maka sayangilah makhluk-Ku “. ( Hadits Qudsi )

“ Barang siapa tidak menyayangi orang niscaya Allah tidak menyayanginya”. (HR Muslim)

7). Selalu saling menasihati dengan lemah lembut apabila melihat atau terdapat kesalahan diantara sesama umat Islam . Sesuai dengan Hadits Nabi SAW :

“Barang siapa menyembunyikan aurat atau aib saudaranya niscaya Allah menyembunyikan aibnya. Dan barang siapa membukakan aurat atau aib saudara niscaya dibukakan Allah aibnya sehingga keaibannya disiar-siarkannya dalam rumahnya”. ( HR Muslim )

8). Selalu berprasangka baik terhadap sesama umat Islam. Apabila nampak aib seseorang katakan pada dirimu :

“ Aib itu adalah pada diriku karena seorang muslim itu adalah cermin bagi muslim lain. Seseorang tidak akan melihat dalam cermin kecuali rupa dirinya”. (HR Muslim )

“ Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian dari kamu menggunjing sebahagian ynag lain. Sukakah salah seorang dianatara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyanyang “. ( QS Al Hujurot 49 : 18 )

9). Saling memaafkan diantara sesama umat Islam. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi SAW dan Firman-Nya :

“ Jadilah engkau seorang yang pemaaf……..”. ( QS Al A’raf 7:199 )

“ Barang siapa didatangi sahabatnya mohon dilepaskan dari kesalahannya hendaklah diterimanya baik sifatnya membenarkan atau membatalkan. Barang siapa tidak berbuat demikian niscaya ia tidak akan dapat mendatangi kolam-Ku pada hari kiamat “.( HR Al Hakim )

10). Selalu mendamaikan sengketa yang terjadi diantara sesama muslim. Janganlah berpihak kepada salah seorang diantara mereka . Tetapi damaikanlah dengan cara yang baik dan lemah lembut . Hal ini sesuai dengan firman-Nya dan Hadits Nabi SAW :

“ Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu”..( QS Al Hujurot 49 : 10 )

“ Sedekah yang paling baik adalah mendamaikan orang yang berselisih “.( HR Thabrani )

“ Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan sesama manusia lalu dikembangkannya kebaikan atau diucapkannya perkataan yang baik-baik “. (HR Bukhori )

11). Selalu bertegur sapa dan beramah tamah diantara sesama muslim. Sesuai dengan Hadits Nabi SAW :

“Apabila salah seorang kamu mengasihi saudaramu pada jalan Allah maka hendaklah ia mengajarinya karena hal itu melebihlamakan keramah-tamahan dan lebih memantapkan kemesraan “. ( HR Bukhari )

“ Bila anda bersahabat dengan seseorang tanyalah namanya dan nama ayahnya atau bertegur sapa . Jika ia tidak ditempat, anda menjaganya , dan jika ia sakit, anda menjenguknya dan jika ian meninggal dunia anda menyaksikannya atau mengiringinya “. ( HR Al Baihaqi )

12). Selalu melapangkan tempat duduk kepada sesama muslim atau orang lain ketika sedang mengikuti suatu majelis sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Sesungguhnya bagi seorang muslim itu ada hak apabila melihat saudaranya datang, ia menjauhkan diri atau menyediakan tempat untuknya “.( HR Al Baihaqi )

13). Selalu menempati janji sesama muslim apabila kita terlibat janji. Karena masa menunggu itu adalah salah satu pemberian yang dikalangan Ahlullah adalah hutang. Dan mungkir janji adalah sebagian tanda-tanda munafik. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW :

“ Tanda-tanda munafik itu ada tiga yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkir dan apabila dipercaya dia berkhianat “. ( HR Bukhari )

Demikianlah beberapa hikmah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran yang sangat mendalam dari sebuah penyelenggaraan kegiatan halal bi halal, semoga kita dapat mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kurang lebihnya mohon maaf, akhirul kalam, wabillahi taufik wal hidayah wassalamu’alaikum Wr. Wb.